Chereads / Temui Aku di Masa Depan / Chapter 5 - Kesedihan

Chapter 5 - Kesedihan

"Ya, ampun!"

Zulfa menyebutkan nama seseorang yang membuat Maura jadi ingat akan sesuatu.

Raka, pria yang resmi menjadi pacarnya sejak lima bulan yang lalu. Mereka kenal karena berasal dari satu SMA yang sama. Raka berkata sudah menyukai Maura sejak duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas, tetapi baru berani mengungkapkannya beberapa tahun kemudian, saat mereka sudah lulus SMA bahkan telah wisuda di kampus yang berbeda.

Tadi malam, Raka mengajak Maura untuk jalan-jalan ke Floating market yang terkenal di kota Lembang.

Karena Maura sudah memiliki janji dengan Zulfa hari ini, ia jadi harus membagi waktu untuk kedua orang yang ia sayangi. Berangkat pagi hari untuk bermain ke kediaman Zulfa yang sudah pindah ke Kampung Rajawali. Mereka sudah tidak bertemu semenjak lulus SMA dan Zulfa pindah rumah, jadi tak mungkin Maura mengulur waktu lagi saat ada kesempatan untuk bertemu dengan teman lamanya itu.

Dan Raka, ia ada janji dengan Raka untuk pergi hari ini di pagi hari, tetapi saat akan ke rumah Zulfa ia sudah mengabari Raka untuk mengundur waktu menjadi main di siang hari.

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah dua tanpa Maura sadari, harusnya ia sudah pulang menuju rumah untuk menepati janjinya kepada Raka. Membagi waktu sangatlah tidak mudah, batin Maura dalam hati.

"Kenapa kaget gitu, Ra?" tanya Zulfa yang heran dengan reaksi Maura saat mendengar nama Raka.

Maura menepuk jidatnya pelan, dan mengembuskan napasnya kasar. "Aku ada janji sama Raka untuk main berdua siang ini, Zul. Tapi aku belum lama sampai di sini, masa harus pulang, sih. Aku kan masih kangen Zulfa," ucap Maura mendramatisir keadaan.

Zulfa yang mendengar ucapan sahabatnya langsung memasang wajah seolah-olah ingin mengeluarkan sesuatu dari dalam perutnya, lalu terkekeh menanggapi ucapan sahabatnya itu.

"Kamu, sih, pake acara janjian main sama dia segala! Harusnya hari ini teh full time aja main di rumah aku," usul Zulfa berharap Maura membatalkan janjinya dengan Raka.

Maura masih memasang wajah sedih, mendengarkan ucapan sahabatnya itu. "Tapi nanti Aa' Raka marah, Zulfa!" ucapnya memberi tahu.

Maura jadi bingung, tetap pulang dan memenuhi janjinya dengan Raka, atau membatalkan dan tetap berada di rumah temannya itu?

"Kenapa, sih, Ra, kamu sayang banget sama cowok kaya gitu?" tanya Zulfa tiba-tiba.

Alis Maura bertaut, tidak mengerti dengan pertanyaan Zulfa. "Kenapa kamu nanyanya kaya gitu?"

"Kamu tau, kan, Raka itu pemalas! Kerjaan dia kan maen game mulu, terus sering nongkrong nggak jelas malam-malam, dan minum-minuman keras yang dilarang," jawab Zulfa jadi kesal sendiri mengingat kelakuan Raka yang sebenarnya.

Maura menghela nafas panjang, apa yang diucapkan Zulfa memang benar. Tetapi entahlah, Maura selalu berharap dan yakin kalau Raka bisa berubah. Sikap baiknya yang tidak orang lain lihat dari diri Raka membuat Maura masih mau bertahan untuknya. Raka yang suka sekali membantu orang yang sedang dalam kesusahan.

"Pasti alasannya, dia bisa jadi lebih baik kok," cibir Zulfa dengan suara meremehkan.

"Zulfa nggak boleh gitu! Kamu, tuh, harusnya bantuin aku biar bisa buat Raka berubah," jawab Maura kesal dengan tanggapan Zulfa.

Zulfa mendekati temannya itu, menatap wajahnya dengan sendu. "Udah lima bulan, Ra, dia masih juga belum berubah, mau sampai kapan? Mending kamu lepasin aja dia, dan mulai untuk cari cowok yang lebih baik dari dia, bukan terus-terusan berusaha buat dia berubah tapi nyatanya masih sama aja," ucap Zulfa memberikan Maura nasihat.

Maura terdiam sejenak, memikirkan ucapan Zulfa yang sangat menyentuh ke dalam hati. Tetap saja, rasanya sangat sulit melepaskan Raka begitu saja.

"Aku telpon dia dulu," ucap Maura tersadar dari pikirannya.

Ia mengambil benda pipihnya yang tergeletak di atas meja, lalu mulai membuka menu utama, dan mencari sebuah nama di kontak ponselnya.

Didekatkannya speaker ponsel ke telinga, menunggu seseorang yang dihubungi segera mengangkat. Tetapi, sudah beberapa kali Maura melakukan panggilan, tetap saja tidak ada jawaban, entah ke mana pemilik handphone yang sedang dihubunginya itu.

"Nggak di angkat, Zul," keluh Maura sambil masih terus mencoba melakukan panggilan meski sudah ke tiga kali.

[Halo.]

Akhirnya seseorang di ujung sana yang sedari tadi ditunggu jawabannya mengangkat telepon Maura, membuat kepanikan di wajah Maura berubah menjadi perasaan lega.

[Halo, Ka. Maaf ya Maura baru sempet nelpon. Kita jadi jalan-jalan nggak?] tanya Maura hati-hati. Ia telah lambat sekitar satu jam. Yang ada di pikirannya saat ini adalah 'semoga Raka tidak marah'.

[Kamu main aja di tempat temen kamu. Maen sama Raka mah bisa kapan-kapan lagi.] Raka menjawab dengan nada datar, Maura bisa memastikan kalau Raka sedang marah saat ini.

[Raka marah, ya? Maura nggak liat jam dari tadi, Maura nggak sadar kalo udah jam segini. Ya, udah, kalo mau maen mah ini Maura udah mau pulang.]

Maura berusaha membujuk kekasihnya tersebut agar tidak marah. Zulfa yang melihat hal itu pun merasa kasihan dan kesal. Kasihan karena Maura yang selalu mau mengalah untuk Raka dan juga kesal kepada Raka yang selalu menuntut Maura untuk memenuhi keinginannya. Dasar lelaki egois!

[Enggak, Raka mau tidur siang dulu, ya, nanti lagi kalo mau telpon.]

Tut.

Sambungan telepon terputus sepihak, Raka mematikan begitu saja sebelum Maura menjawab ucapannya.

"Tuh, kan, marah!" kesal Maura ketika melihat panggilannya terputus begitu saja.

"Dasar Raka! Nggak bisa ngertiin ceweknya banget. Kok, jadi aku yang kesel, sih, Ra," gerutu Zulfa tidak suka dengan sifat Raka.

Maura menaruh kembali ponselnya ke atas meja, dan memeluk bantal yang ada di kursi dalam-dalam. "Kenapa, sih, dia marah mulu?" ucapnya seakan memikirkan apa yang salah dari dirinya.

"Kamu, tuh, nggak salah, Ra. Raka aja yang nggak pernah bisa ngertiin diri kamu, selalu menuntut untuk kamu nurut sama semua keinginan dia," ujar Zulfa menyimpulkan sikap Raka yang sebenarnya.

Maura membenarkan ucapan Zulfa. Memang selama ini yang selalu mengalah dalam hubungan mereka berdua adalah Maura. Sedangkan Raka? Ia tidak akan mengalah dan malah marah jika Maura tidak membujuknya duluan.

Apa ini yang dinamakan budak cinta seperti yang dikatakan para remaja jaman sekarang? Jika iya itu adalah definisinya, ternyata Maura sudah terjebak dalam zona bucin.

"Ra, dengerin aku, mending kamu putusin aja dia," titah Zulfa menyarankan.

"Setiap aku kecewa kaya gini, nanti dia bakal jadi baik banget yang membuat aku jadi susah untuk melepaskannya," jawab Maura mulai mengeluh pada sahabatnya.

"Ya, udah, kalo kamu masih mau bertahan. Tapi kalo beberapa bulan ke depan dia masih seperti itu dan nggak berubah, aku mau kamu putusin dia!" titah Zulfa sekali lagi, kali ini dengan nada serius.

Maura yang melihat kepedulian dari wajah sahabatnya itu pun mengangguk setuju, menerima saran dari Zulfa agar dirinya tidak terus-terusan makan hati menjalin hubungan dengan Raka.

"Zul, aku jadi kepikiran sama cowok yang di bus tadi, deh," ucap Maura tiba-tiba, melupakan masalahnya dengan Raka, dan malah mengingat lelaki yang ia jumpai di bus tadi.

Zulfa menoel pipi Maura sambil tersenyum menggoda. "Bilang aja kamu suka, kan, sama dia? Ngaku, Ra! Haha."

Maura mengerucutkan bibirnya kesal, melihat ekspresi teman lamanya yang sudah sangat lama tidak ia lihat saat sedang menggoda dirinya.

"Bukan gitu, ih, kamu, mah. Suara cowok itu waktu lagi ngasih nasihat, teh, buat aku jadi inget sama seseorang, tapi nggak tau siapa," ucap Maura kembali mengingat suara pemuda itu.

Zulfa terdiam, memasang muka serius karena merasa cerita Maura bukan candaan.

"Kamu pernah tinggal di Lampung, kan, Ra? Mungkin dia orang yang pernah hadir di hidup kamu," jawab Zulfa sekenanya.

Maura tampak berpikir. Suara, wajah, bahkan lirikan lelaki tadi memang sangat mirip dengan seseorang yang ada di ingatan Maura, tetapi sampai detik ini Maura tidak tahu siapa orang yang selalu ada di ingatannya tersebut.

"Aku nggak pernah bisa inget tentang kenangan aku di Lampung, Zul. Cuma kenangan selama di kota ini yang mulai aku ingat semua. Padahal aku pengen banget tau, gimana sih kehidupan aku waktu di sana?" curhat Maura kembali merasa sedih.

Zulfa yang mengerti perasaan sahabatnya itu merangkul pundak Maura untuk menyalurkan kekuatan, menyuruh Maura untuk bersabar dengan apa yang harus terjadi dalam hidupnya.

"Sabar, ya, aku yakin suatu saat nanti kamu bisa ingat semua memori yang ada di otak kamu," ujar Zulfa sambil tersenyum meyakinkan, membuat Maura ikut tersenyum dan menghilangkan kesedihan di hatinya kini.

Bersambung ....