"Kapan-kapan main lagi, ya, ke sini," ujar Zulfa ketika Maura pamit untuk pulang. Jam sudah menunjukkan pukul empat, Maura tidak mungkin terus berlama-lama main di rumah Zulfa, terlebih karena mereka beda Kampung.
"Enggak! Pokoknya kalo ada waktu luang lagi harus kamu yang main ke rumah aku!" titah Maura tidak menyetujui ucapan Zulfa.
Zulfa terkekeh kecil melihat temannya yang tak terima jika di suruh main lagi ke sini, "hehe, iya kapan-kapan aku, deh, yang ke sana, kangen juga sama para tetangga di sana, haha," ucap Zulfa bergurau.
Ia memang sebenarnya adalah warga Kampung Bhayangkara--tempat Maura tinggal, tapi sekarang sudah pindah ke Kampung Rajawali--tempatnya tinggal saat ini.
"Awas aja bohong!" kata Maura memberi ancaman.
"Iya, Maura yang cantik," jawabnya agar Maura tidak terus mengomeli dirinya.
"Itu, Gojek-nya!" seru Zulfa sambil menunjuk pada pengendara sepeda motor yang memakai jaket berwarna hijau.
Maura ikut melihat arah telunjuk Zulfa dan tersenyum karena yang ditunggu akhirnya datang dengan cepat.
"Aku pulang dulu, ya, makasih waktunya, kapan-kapan kita harus ketemu lagi," ucap Maura sambil merengkuh tubuh sahabatnya itu sebagai tanda perpisahan.
"Aku yang terima kasih ke kamu, udah jauh-jauh mau datang ke sini sampai buat Raka marah karena janjinya batal," jawab Zulfa tersenyum haru.
Zulfa membalas dekapan sahabatnya dan merasa sedih karena mereka akan kembali berpisah. Walau bisa kapan saja bertemu kembali, tetap saja kesibukan di antara mereka berdua menyulitkan untuk sekedar main bersama.
"Hati-hati di jalan!" teriak Zulfa saat melihat Maura sudah memakai helmnya dan telah duduk di atas motor.
Maura mengangguk dan melambaikan tangannya dengan perasaan sedih, kemudian Gojek melaju karena merasa penumpangnya sudah siap untuk pergi dari sana.
***
Maura tidak langsung menaiki bus dan pulang ke rumah. Ia berniat ingin mampir dulu ke toko kosmetik yang berada di depan jalan untuk masuk ke rumah Zulfa.
Ia langkahkan kaki untuk masuk ke dalam toko itu. Sangat indah! Matanya berbinar memandangi setiap alat kosmetik dengan merk yang berbeda-beda terpajang di dalam situ.
"Mau cari apa, Teh?" ucap seorang karyawan menyadarkan Maura.
Maura tersenyum kepada karyawan itu. "Nanti, Teh, masih mau lihat-lihat dulu," jawabnya ramah.
Karyawan itu pun balas tersenyum dan berjalan untuk mendatangi pengunjung yang lain, membiarkan Maura bebas mencari apa yang akan dia beli.
Mata Maura sibuk menyapu seisi toko kosmetik, mencari barang yang ia cari tetapi dengan merk yang berbeda, ia ingin mengoleksi yang lain.
Pandangannya terhenti pada benda di salah satu rak, ia pun berjalan untuk melihat lebih dekat dan memilih mana yang akan ia ambil. Sebuah pelembab wajah terpampang di hadapannya, membuat ia ingin sekali membeli semuanya.
"Kamu mau beli apa, sih?"
Maura menengok, tangannya yang tadi ingin meraih satu pelembab pilihannya kini terurungkan. Ia beralih melihat sepasang kekasih yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Wanita yang bersamanya masih sibuk mencari apa yang dia ingin tetapi tidak juga dapat, lelaki yang bersamanya pun hanya menunggu dengan sabar. Membiarkan pacarnya melakukan apa yang dia suka, tanpa menuntut atau mengeluh sama sekali.
Ah, Maura jadi teringat dengan pacarnya sendiri, Raka. Maura jadi berangan-angan, andai saja Raka seperti lelaki itu, pasti ia akan sangat senang diperlakukan dengan sabar dan tidak selalu harus menuruti apa kemauan dari Raka.
"Ini bagus, Yang!" seru lelaki itu sambil mengambil dua blush on berwarna merah muda. Ia letakkan di depan matanya sebagai mata, wanitanya hanya terkekeh geli melihat tingkah lucu sang kekasih.
Maura yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua hanya bisa iri di dalam hati. Kapan Raka dan dirinya bisa seperti itu? Menikmati kebahagiaan yang sederhana, dan saling menghibur tanpa ada rasa egois.
"Teteh kenapa, Teh?" Maura terkesiap, ia yang sedang melamun jadi tersadar oleh sebuah suara yang tiba-tiba terdengar di telinga.
Pemilik suara tersebut ternyata adalah wanita yang sedari tadi sedang Maura perhatikan, Maura pun merasa malu sendiri dibuatnya.
"Eh, ng-nggak apa-apa, Teh, saya cuma lagi bingung ini mau beli yang mana," jawab Maura mencari alasan agar wanita itu tidak curiga.
Pacar dari wanita itu maju untuk mendekat ke arah mereka berdua. "Sama, nih, Teh, kaya pacar saya, dari tadi muter-muter aja nggak tau mau beli apa. Padahal mah borong aja atuh semua, nanti biar saya yang bayar."
Wanita itu reflek mencubit pinggang pacarnya yang berbicara dengan enteng. "Bohong aja kamu, mah! Padahal punya duit aja enggak!" ucapnya dengan nada meledek. Pacarnya itu pun hanya cengengesan dan tersenyum genit pada pacarnya.
Maura yang melihat sepasang kekasih sedang bercanda di hadapannya pun ikut terkekeh kecil, lucu melihat lelaki yang humoris dan wanita yang menyeimbangkan sifat pacarnya.
Hatinya makin terenyuh, selama lima bulan menjalani hubungan dengan Raka, ia tidak pernah melakukan hal romantis atau saling bertukar cerita bersama. Mungkin pernah, saat awal-awal mereka pacaran, tetapi bisa dihitung pakai hitungan jari, sehingga Maura sudah lupa kapan terakhir kali Raka melakukan hal romantis untuk dirinya.
Main bersama pun hanya sebulan dua kali mungkin, ditambah tadi yang tidak jadi main. Hubungannya jadi semakin renggang seiring berjalannya waktu, bukan malah semakin erat.
Maura teringat kalau sekarang ia sedang ada di Kampung orang, ia harus segera pulang ke rumah sebelum hari semakin sore dan gelap. Ia pun segera mengambil apa yang tadi ingin di ambilnya tetapi tertunda.
"Saya duluan, ya," ucap Maura pada wanita dan lelaki yang masih berada di depannya. Mereka berdua tersenyum dan mengangguk, mempersilahkan Maura untuk jalan menuju kasir dan melakukan pembayaran.
"Kayanya dia dari tadi ngeliatin kita," ucap wanita itu masih memperhatikan kepergian Maura.
Pacarnya malah memasang wajah bahagia, "wajar, dong, orang aku ganteng, jadi dia terpesona," ucapnya menanggapi ucapan sang kekasih.
Wanita itu pun mencubit pinggang pacarnya untuk kedua kali, kesal dengan pacarnya itu yang merasa seolah paling tampan. Kalaupun ia, wanita itu hanya membolehkan ketampanan itu untuk menjadi objek pandangannya, bukan untuk wanita selain dirinya.
"Berapa, Teh?" tanya Maura pada penjaga kasir.
Wanita yang bertugas menjaga kasir itu pun mengeluarkan struk yang menampakkan jumlah uang yang harus Maura bayar.
Maura segera merogoh tas kecilnya yang masih setia berada di pundak, mengambil selembar uang kertas berwarna merah untuk dibayarkan. Penjaga kasir itu menerima dan mengambil beberapa lembar uang receh untuk diberikan kepada Maura sebagai kembalian.
Maura menengok sekilas barang belanjaannya lalu melangkahkan kaki untuk keluar dari dalam toko itu.
Harinya cukup melelahkan, seharian berada di Kampung orang untuk pertama kali. Meski pikirannya masih teringat akan Raka, ia mencoba untuk menepisnya agar tidak datang keresahan di dalam hati.
Segera ia menuju halte untuk kembali menunggu bus jurusan Kampung Bhayangkara, dan kembali ke rumah tercinta.
Sepulangnya nanti, baru ia akan memikirkan bagaimana cara membujuk Raka. Maura mengembuskan nafas pasrah, ia tidak tahu sudah berapa kali selalu berusaha mengerti sikap Raka tanpa dimengerti juga oleh Raka.
Bersambung ....