Sudah sekitar tiga puluh menit waktu Maura terhabiskan untuk membaca sebuah novel bergenre romance yang ia beli sekitar beberapa minggu lalu di sebuah toko buku.
Ia sudah membaca sampai ke pertengahan buku, membaca hanya menjadi kegiatan untuk mengisi waktu luangnya saja.
Ekspresi wajah Maura kerap kali berubah-ubah saat tengah membaca isi dari novel itu. Wajahnya terlihat kesal ketika membaca potongan cerita yang membuat dirinya naik darah, dan terkadang sedih saat membaca pada bagian romantis.
Aneh, bukan? Jika para wanita akan senyum-senyum sendiri saat membaca sebuah buku tentang kisah percintaan dan pada adegan romantisnya, Maura malah sedih saat sampai pada bagian itu.
"Coba aku sama Raka kaya gini."
"Romantis banget, sih. Aku juga mau kaya gini."
Beberapa keluh kesah yang terlontar dari mulut Maura untuk mewakili perasaan hatinya. Ia selalu ingin merasakan bagaimana romantisnya sebuah hubungan seperti yang sering ia lihat di luar sana ataupun seperti pada kisah yang sedang ia baca saat ini.
Berbicara tentang Raka, Maura baru ingat kalau kekasihnya tersebut tidak lagi memberi kabar setelah marah karena janjiannya dibatalkan melalui telpon di rumah Zulfa tadi.
Maura menutup novelnya setelah ia tandai dengan sebuah lipatan untuk tanda bahwa ia sudah membaca sampai di halaman itu.
Ia raih benda pipih yang terlentang di atas kasur. Mengambil duduk di sisi ranjang untuk mulai memainkan gawainya tersebut.
'Raka'. Sebuah nama pada kontak ponselnya yang segera ia hubungi.
Sejak pulang dari rumah Zulfa tadi, ia tidak langsung menelpon Raka seperti yang biasa ia lakukan untuk membujuk pacarnya itu. Mencoba untuk membiarkan Raka menghubungi dirinya lebih dulu. Tetapi, sama sekali tidak ada panggilan masuk dari lelaki itu, ia sepertinya benar-benar marah, atau, tidak lagi peduli dengan Maura?
"Raka ke mana, sih!" resah Maura karena panggilan telpon darinya tak kunjung mendapat jawaban. Seperti saat di rumah Zulfa tadi, Maura terus berusaha untuk menghubungi nomor Raka meski tak juga ada jawaban.
Maura kesal, sepuluh panggilan suara dan puluhan spam chat yang ia kirimkan tidak juga mendapat respon apa-apa dari Raka. Raka tidak online, pesannya masih centang dua berwarna abu-abu, tak kunjung berubah warna menjadi biru.
Dilemparnya handphone pintar itu ke sembarang arah di atas kasur, kesal karena Raka selalu saja membuat dirinya resah seperti ini.
Drrtt ... drrtt ....
Layar ponsel Maura yang tadinya gelap kini menyala dengan terang, bergetar kecil tetapi tak bisa dirasakan karena berada di atas ranjang yang empuk.
Diambilnya kembali ponsel yang tersembunyi di balik selimutnya itu, lalu menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan dari seseorang yang dari tadi sore tidak ada kabar.
[Kenapa?] ucap seseorang dengan nada dingin.
Tentu saja seseorang itu adalah Raka, ia terdengar tidak semangat untuk berbicara dengan Maura.
[Kamu ke mana aja, sih?] kesal Maura sedikit teriak untuk melontarkan perasaannya yang sedari tadi tertahan.
Raka yang berada di seberang sana tidak menjawab, ia hanya diam tanpa mengeluarkan suara. Hanya terdengar suara musik yang menggema membuat Maura mengerutkan keningnya bingung.
[Kamu lagi di mana?]
Tidak ada jawaban, Raka masih diam tidak menjawab. Malah terdengar suara musik yang samar-samar, sepertinya ponsel Raka ia letakkan sehingga suara yang terdengar menjadi teredam.
Maura yang semakin kesal karena tidak mendapatkan jawaban apa-apa dari Raka pun langsung menjauhkan ponsel dari telinganya, menekan tombol berwarna merah untuk mengakhiri panggilan.
Ia tidak peduli jika nanti Raka akan bertambah marah, salah sendiri malah diam saat di ajak bicara.
Maura merasa gusar dengan respon dari Raka barusan. Hatinya tiba-tiba menjadi tidak tenang, ada di mana Raka dan sedang apa dia? Pertanyaan yang kini berputar-putar di kepalanya.
Mendadak Maura ingat kalau ia memiliki nomor handphone salah satu teman tongkrongan Raka. Ia buka kembali layar ponselnya dan mulai mencari nama yang akan dia hubungi.
[Raka ada di mana, Bim?]
Satu pesan yang ia kirim pada orang bernama Bima. Ia mengurungkan niatnya untuk melakukan panggilan suara karena ia tidak begitu kenal dengan Bima--teman Raka.
Sama seperti pesan yang terkirim pada Raka. Pesan yang dikirimkan pada Bima juga ceklis dua berwarna abu-abu.
Sekitar lima menit menunggu dengan perasaan gundah, Bima akhirnya mengirimkan sebuah balasan yang membuat Maura sedikit lega.
Lebih tepatnya Bima tidak membalas pesan Maura, ia hanya mengirimkan Maura sebuah foto yang membuatnya berhasil menganga karena terkejut.
[Gua yakin itu bukan Raka!]
Hati Maura terasa sakit kini, foto yang Bima kirim membuat hatinya semakin terasa teriris-iris.
Satu pesan kembali masuk pada aplikasi berwarna hijaunya, menampilkan nama Bima di urutan chat paling teratas. Ia tidak lagi mengirimkan foto, melainkan sebuah video berdurasi pendek yang membuat Maura segera membuka dan menontonnya.
"Raka!" ucap Maura reflek sambil menutup mulutnya dengan satu telapak tangan karena sangat terkejut dengan apa yang ia tonton. Bima mengirimkan sebuah video untuk membuat Maura lebih percaya dengan foto yang dikirimkan oleh ia sebelumnya.
Air mata Maura perlahan turun membasahi pipi. Rasa khawatir yang tadi tertuju untuk Raka kini berganti dengan perasaan kecewa yang sangat melukai hati.
Dalam foto yang pertama kali Bima kirim menampakkan seorang lelaki yang sedang tertawa dengan sebotol minuman keras yang ia pegang.
Lalu di video dengan durasi sekitar lima detik menampilkan Raka yang sedang tidak sadar dan berjoget bahagia sambil tertawa-tawa sendiri, tentu masih dengan sebuah botol minuman keras yang ia pegang di tangan kanannya.
Ingin rasanya Maura memaki-maki wajah Raka detik ini juga, ingin rasanya ia mencubit dan memukul tubuh Raka saat ini juga.
Bagaimana tidak? Raka yang selama lima bulan menjalin hubungan pacaran dengan Maura terlihat sudah mulai berubah hari ke hari. Nyatanya, tepat di malam ini, kepercayaan yang sudah Maura beri pada lelaki itu hilang seketika.
Bukti dari foto dan video yang Bima kirim sangat membuat dirinya tidak menyangka. Maura berpikir kalau sebenarnya Raka tidak pernah berubah selama ini.
Maura yakin ia hanya terlihat berubah dan lebih baik jika di depan Maura. Jika di belakangnya, pasti Raka sudah melakukan hal yang ia suka sesuka hati.
Tanpa membalas dua pesan yang dikirimkan oleh Bima, Maura langsung mematikan data handphonenya dan melemparkan kembali benda pipih itu ke sembarang arah di atas kasur.
Maura benar-benar kecewa saat ini, ia peluk guling yang berada di dekatnya kuat-kuat, menumpahkan tangisnya yang semakin turun dengan deras.
"Raka jahat! Dia udah bohong selama ini, dia nggak pernah berubah!" racau Maura dengan suara yang tertahan di balik guling.
Memang benar kata Zulfa, kalau lelaki seperti Raka akan sangat susah untuk berubah. Maura menyesali dirinya sendiri yang selalu saja percaya dengan ucapan manis yang terlontar dari bibir Raka.
Berbagai ucapan maaf dan harapan yang sering Raka ucapkan selalu membuat Maura luluh dan mau menerima lelaki itu lagi.
Maura masih menumpahkan sedihnya karena kebohongan Raka, ia merasa menjadi wanita bodoh saat ini, yang mau saja bertahan dengan seorang lelaki seperti itu.
Maura memang bukanlah wanita yang sempurna dan jauh dari kata Sholehah, tetapi ia juga tidak suka dan tidak ingin memiliki kekasih yang gemar meminum minuman haram.
Tangisnya kini membasahi guling yang masih ia dekap, meracau tidak jelas untuk mengungkapkan segala isi hati.
"Kapan, sih, Raka bisa berubah?" Satu dari ucapan Maura yang ambigu.
Di satu sisi ia sangat marah karena Raka yang ternyata masih tidak pernah berubah. Satu sisi pula, ucapan Maura seperti harapan bahwa ia masih menunggu Raka untuk berubah.
Bersambung ....