Chereads / Temui Aku di Masa Depan / Chapter 4 - Teman Lama

Chapter 4 - Teman Lama

Jalan menuju RT 2 tidak sebagus jalan raya. Beberapa kali Maura harus menahan agar posisi duduknya di atas motor tidak miring.

"Mau ke mana, Neng?" tanya ojek yang membonceng Maura dengan nada ramah.

"Mau ke rumah temen, Pak," jawab Maura tak kalah ramah.

"Neng dari mana emangnya? Bukan asli Kampung sini, ya?" tanyanya lagi mencoba mencairkan suasana di atas motor.

"Hehe, bukan, Pak. Saya tinggal di Kampung Bhayangkara." Maura menjawab dengan jujur.

"Oh, pantes atuh, Neng, saya belum pernah ngeliat Eneng ada di sini," ujar ojek tersebut sambil masih fokus mengendarai sepeda motornya.

Maura tidak menjawab lagi, ia hanya terkekeh kecil menanggapi ucapan Abang ojek itu.

Dilihatnya satu persatu rumah yang ia lewati di kanan dan kiri. Ia tidak menyangka bisa berada di sini sekarang.

Ibunya pernah bilang kalau ia sebenarnya pindah dari Lampung dan kembali ke kota kelahirannya--Bandung, untuk kembali melanjutkan sekolah di sini saat kuliah. Kini ia telah selesai kuliah, tetapi ia tidak mengingat kenangan yang pernah ada di kota Lampung.

Meski berusaha untuk mengingat, tetap saja hasilnya nihil. Masa lalu di kehidupan Maura saat di Lampung tidak bisa ia ingat meski hanya satu memori yang terlintas.

Maura menghembuskan nafasnya pelan, menerka-nerka siapakah dirinya di Lampung? Apa ia memiliki teman di sana? Apa ia memiliki banyak kenangan yang malah ia lupakan?

Kejadian beberapa tahun lalu membuat ingatannya berkurang. Kecelakaan yang terjadi saat dirinya sedang berangkat menuju kampus membuat sebagian memori yang ada di otaknya hilang tidak berbekas.

"Yang mana, Neng, rumahnya?" tanya ojek itu setelah motornya sudah memasuki kawasan RT 2 Kampung Rajawali.

Maura yang sedang melamun segera tersadar dari lamunannya, melihat ke depan untuk memastikan kalau ini sudah sampai di RT 2.

"Langsung berhenti aja, Pak. Teman saya bilang rumahnya yang warna kuning waktu pertama kali sampe di RT 2," ujar Maura memberi tahu.

Abang ojek itu pun segera mengerem laju kendaraannya dan berhenti di depan sebuah rumah berwarna putih, bukan kuning.

Maura turun dan melepas helmnya, lalu memperhatikan rumah-rumah yang berada di dekatnya. Matanya terhenti menatap sebuah rumah berwarna kuning, berjarak tiga rumah dari rumah putih yang ada di dekatnya.

"Oh, itu, Pak, rumahnya," ujar Maura dengan senang. Ia merogoh tas dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk diserahkan kepada ojek tersebut.

Abang ojek mengucapkan terima kasih kemudian memutar balikkan motornya untuk kembali ke pangkalan ojek.

Maura berjalan perlahan mendekati rumah kuning itu dengan perasaan gembira, rindunya pada teman yang sudah lama tidak ia jumpai akan terbalaskan sebentar lagi.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum," seru Maura mengucap salam sambil mengetuk pintu rumah.

"Waalaikumsalam." Terdengar jawaban dari dalam. Seutas senyum tercetak di bibir Maura saat mengetahui siapa pemilik suara tersebut.

"Maura!"

"Zulfa!"

Teriak mereka berbarengan saat pintu telah terbuka dan memperlihatkan diri mereka masing-masing.

"Aku kangen, ih!" seru Zulfa sambil merentangkan kedua tangannya untuk mendekap tubuh Maura.

Maura pun membalas dekapan Zulfa dengan perasaan gembira. Rindu mereka berdua sudah terbalaskan kini.

"Kamu makin cantik aja sekarang," ucap Zulfa saat sudah melepaskan dekapannya.

Maura yang mendengar pujian dari sahabatnya jadi tersenyum malu-malu. "Kamu juga makin cantik, ih," ujarnya balik memuji temannya itu.

"Ah, kamu mah bisa aja," jawab Zulfa dengan senyum yang mengembang.

"Hayuk, atuh, masuk!" ajak Zulfa mempersilahkan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.

Maura mengangguk dan melepaskan sepatu sneakers yang ia pakai. Melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah milik sahabatnya.

"Ayah sama Ibu kamu nggak ada, Zul?" tanya Maura sembari melihat ke ruang tengah untuk mencari keberadaan orang tua Zulfa.

"Ayah sama Ibu lagi pergi, Ra. Aku sendirian, deh, di rumah, hehe," jawab Zulfa. Maura mengangguk mengerti.

"Sebentar, ya, aku ke dapur dulu ambil makanan, kamu duduk aja dulu," kata Zulfa menyuruh Maura duduk untuk melepaskan penatnya.

"Nggak usah repot-repot, Zul. Minum Starbucks aja nggak apa-apa, kok, haha," ucap Maura bergurau.

"Aduh, mending nggak usah minum aja, deh, kalo gitu, haha," canda Zulfa menanggapi gurauan Maura.

Zulfa segera melangkahkan kakinya menuju dapur, membiarkan Maura sendirian di ruang tamu untuk duduk dan mengistirahatkan dirinya sejenak.

Sambil menunggu Zulfa, Maura berniat untuk membuka aplikasi berwarna merah muda dalam ponselnya.

Ia pun segera mengeluarkan benda pipih itu, membuka menu untuk masuk ke dunia maya.

Beberapa postingan yang berisikan video-video lucu lewat di beranda akun merah mudanya, membuat Maura beberapa kali tertawa kecil dibuatnya.

Setelah merasa cukup untuk memainkan sebuah aplikasi berwarna merah muda itu, Maura pun beralih untuk membuka aplikasi lainnya, masih menunggu Zulfa yang belum juga muncul.

Saat sedang menggeser menu utama, jarinya terhenti untuk membuka sebuah aplikasi yang sudah sangat lama tidak pernah ia buka. Aplikasi berwarna biru, yang tidak pernah ia buka sejak tiga tahun lalu. Entah kenapa setiap kali ingin membuka, dirinya tidak tertarik sama sekali.

"Ra!" panggil Zulfa mengejutkan Maura. Ia yang tadinya ingin membuka aplikasi berwarna biru itu kembali mengurungkan niatnya, tidak jadi membuka aplikasi itu entah untuk yang ke berapa kali.

"Lama, ya? Hehe," tanya Zulfa sambil terkekeh tidak enak.

"Nggak apa-apa, Zul."

"Ini es batunya susah banget diambil, jadi aku lama ngambilnya," celoteh Zulfa menceritakan apa yang terjadi sehingga mengakibatkan ia lama berada di dapur.

Ditaruhnya dua gelas es teh manis dan setoples kue coklat yang sepertinya memang telah Zulfa sediakan sebelumnya.

Maura kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas dan meraih es teh manis yang disuguhkan oleh Zulfa.

"Gimana? Nggak nyasar kan tadi?" tanya Zulfa membuka suara.

Maura meneguk minumannya dan kembali meletakkan ke atas meja seperti semula. "Enggak, kok, cuma tadi ada sedikit kejadian aja."

Alis Zulfa bertaut bingung dengan jawaban Maura. "Kejadian apa, Ra?"

"Enak, Zul, kuenya. Ini kamu buat? Cie, udah pinter buat kue," ujar Maura memuji rasa kue yang terletak di dalam toples. Ia mengambilnya lalu mengunyah beberapa, tidak sadar dengan pertanyaan Zulfa barusan.

"Hehe, iya, dong. Ibu yang ngajarin," jawab Zulfa sambil beralih untuk ikut meneguk es teh manisnya.

Diletakkan kembali minumannya lalu teringat akan pertanyaannya yang belum terjawab oleh Maura. "Kejadian apa, Ra? Jawab dulu!"

"Oh, itu. Bukan apa-apa, sih. Waktu di halte aku nggak sadar kalo bus udah dateng, untung ada cowok yang negur aku. Kalo enggak, mungkin aku bakal lebih lama lagi sampe ke sini," jawab Maura mengingat kejadian saat di halte.

"Haha, makanya kamu jangan main hp mulu, sampe nggak sadar ada bus dateng," ucap Zulfa menertawai tingkah sahabatnya yang sudah tidak aneh itu.

Maura hanya menyengir tanpa dosa. "Hehe, lain kali enggak mau gitu lagi, ah, malu. Cowok itu juga ngasih aku nasehat tau," lanjut Maura bercerita.

Zulfa terlihat semakin penasaran dengan cerita Maura, ia kini duduk dengan rapi dan siap untuk mendengarkan curhatan sahabatnya itu.

"Kepo, ya? Haha," tawa Maura melihat ekspresi sahabatnya yang seketika menjadi serius. Zulfa melempar sebuah bantal kursi ke arah Maura, kesal karena keseriusannya malah diejek.

"Lanjutin ceritanya, Ra, aku penasaran," titah Zulfa tidak sabar.

"Iya, iya, sebentar," jawab Maura malah meraih minumannya untuk kembali diteguk. Ia merasa sangat kehausan saat ini.

"Waktu di dalem bus ternyata aku duduk sama dia dan dia cuma bilang untuk aku jangan maen hp berlebihan, nggak baik katanya," ucap Maura masih mengingat pertanyaan lelaki tadi.

"Ganteng nggak, Ra?" Reflek Maura meluncurkan bantal yang tadi dilempar oleh Zulfa.

Temannya yang satu ini memang seperti itu, sudah punya pacar tetapi masih semangat jika membicarakan soal lelaki lain, apalagi pria tampan.

"Udah ada Rendi masih aja ngelirik cowok laen!" sanggah Maura sambil menggeleng pelan.

Zulfa merapihkan rambutnya yang habis terkena lemparan bantal dari Maura. "Nggak apa-apa kali! Yang penting kan nggak berpaling," jawab Zulfa sambil menjulurkan lidahnya.

Tut! Tut! Tut!

Sebuah suara membuat mereka berdua terdiam. Bukan merinding, tetapi bingung dari mana asal suara tersebut?

Maura yang sadar kalau suara itu berasal dari dalam tasnya segera merogoh isi tasnya. Rupanya sebuah jam gold misterius itu yang berbunyi.

"Dari siapa itu, Ra?" tanya Zulfa saat melihat jam cantik itu.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar!" Terdengar seruan azan dari masjid dekat rumah Zulfa. Jam misterius itu masih saja berbunyi sampai azan telah selesai berkumandang.

"Lah? Kaya alarm gitu, ya?" ucap Zulfa sambil melirik sekilas jam itu.

"Iya juga, ya, Zul. Ini tuh aku dapet waktu bangun tidur di bus. Tiba-tiba udah ada aja di dalem tas," cerita Maura dengan raut wajah masih bingung.

"Dari cowok di bus itu mungkin, Ra. Dia kan nyuruh kamu untuk jangan berlebihan maen hp. Jam itu juga bunyi waktu azan, mungkin dia pengen kamu inget sama waktu," ujar Zulfa memberi pendapat dan menyimpulkan dari cerita yang tadi Maura jelaskan mengenai lelaki itu.

Maura berpikir sejenak, membenarkan ucapan Zulfa yang tidak sempat terpikirkan di otaknya.

"Aku yakin pasti dia cowok yang ganteng dan baik hati. Sering-sering aja ke sini biar kamu bisa ketemu cowok itu lagi, haha," ucap Zulfa sambil menatap langit-langit rumahnya untuk membayangkan sosok pria yang telah memberi sahabatnya jam itu.

"Ngasal kamu kalo ngomong! Belum tentu ini dari dia, siapa tau Ibu yang beliin tapi nggak bilang dan langsung ditaro di dalam tasku," sergah Maura membatalkan pembenaran dirinya atas pendapat Zulfa.

"Iya, deh, terserah, Ra. Tapi kalo sampe orang yang ngasih memang beneran cowok di dalem bus itu, kamu mending gebet dia aja, deh, tinggalin Raka!" titah Zulfa memberi saran. Menyebut nama seorang pria yang membuat Maura tersadar akan sesuatu.

"Ya, ampun!"

Bersambung ....