Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

RE-START

🇮🇩fitri_wardhani
--
chs / week
--
NOT RATINGS
8.5k
Views
Synopsis
Alvin, seorang pria workaholic yang tidak pernah memikirkan pernikahan karena memiliki trauma masa kecil. Karena traumanya itu, Alvin melepas sahabat sekaligus cinta pertamanya, Jena, dalam pelukan pria lain. Di kala Alvin terus menyesali keputusannya melepas Jena, seorang wanita cantik bernama Feni datang ke kehidupan Alvin. Tidak lama setelah berkenalan, keduanya memutuskan menikah. Namun, karena Alvin dan Jena masih saling mencintai, mereka berdua berselingkuh. Sampai akhirnya Feni memergoki hubungan gelap itu di hari ulang tahun Alvin. Terjadi pertengkaran hebat antara Alvin dan Feni yang berujung pada kecelakaan, Feni pun tewas di tempat. Tragedi itu meninggalkan perasaan bersalah yang begitu besar pada Alvin. Lalu, Alvin pun diberi pilihan untuk memperbaiki masa lalunya dengan memilih antara Jena atau Feni.
VIEW MORE

Chapter 1 - Lamaran Jena

Seorang wanita berpakaian modis sedang duduk gelisah di sebuah restoran mewah yang terletak di pusat Jakarta.

Jemari lentik sang wanita, tak henti menyisir helai-helai rambutnya yang halus dan tebal.

Rambutnya sengaja disibakkan agar tidak menutupi paras cantik sang wanita yang sedari tadi mencuri pandangan pria-pria yang lewat. Tetapi ia tetap bersikap tak acuh walau banyak sorot mata tersemat untuknya.

Wanita itu hanya fokus menatap arloji di pergelangan tangan kanannya. Masih menunggu seseorang yang tak kunjung datang.

Saking gelisahnya, wanita itu menunggu sambil terus menggoyang-goyangkan kedua kakinya dengan tidak sabar. Matanya yang besar nan indah, menatap lekat kursi di hadapannya yang kosong sejak tadi.

"Permisi, Kak. Sudah menentukan ingin pesan apa?" tanya seorang pelayan muda dengan nada ramah dan sopan.

Dengan tidak enak hati, wanita itu menolak pertanyaan sang pelayan yang sudah menghampiri untuk kedua kalinya. "Maaf, Mbak. Saya masih menunggu teman saya. Sebentar lagi datang, kok," jawabnya sambil menarik senyum yang dipaksakan. Pelayan itu pun mengiyakan dan pergi.

Sudah lelah menunggu seseorang yang tidak juga menunjukkan batang hidungnya, wanita itu merogoh ponsel dari dalam tas mewahnya.

Kemudian mencari kontak seseorang sambil menggerutu. "Gila! Alvin lama banget. Padahal dia udah janji bakal datang tepat waktu. Gue udah nunggu sejam lebih ini. Alvin gue telepon aja, deh."

Dari ponsel yang ditempelkan di telinga kirinya hanya terdengar nada sambung telepon, tanpa tanda-tanda panggilan akan diangkat. Tidak menyerah, wanita itu mencoba menelepon beberapa kali.

Setelah menelepon untuk yang keempat kalinya, akhirnya panggilan dijawab juga. Tanpa pikir panjang, wanita itu langsung mencerca lawan bicaranya.

"Vin! Lo sampe mana, sih? Gue udah nunggu sejam lebih. Lo lagi di mana??? Jangan bilang lo lupa kalau kita ada janji malem ini?!" tanyanya dengan nada tinggi. Sontak mengundang perhatian seisi restoran.

"Jena, gue udah mau sampai," jawab Alvin dengan suara beratnya yang khas. Terdengar sangat tenang tanpa peduli dicerca oleh Jena seolah-olah cercaan itu sudah biasa menjadi makanannya sehari-hari.

Mendengar jawaban Alvin, Jena reflek memalingkan kepalanya ke segala arah. Mencoba mencari sosok yang ia kenal.

Tidak sampai sepuluh detik, mata Jena langsung bisa menangkap sosok Alvin. Pria tampan yang memakai setelan jas warna hitam, sekarang sedang berjalan ke arah Jena.

Jena memperhatikan Alvin dengan seksama dan diam-diam merasa terpukau. Mata Jena sampai terbelalak karena terpesona oleh ketampanan Alvin malam ini.

Jas itu sukses memamerkan postur tubuh Alvin yang jangkung, atletis, dengan bahu yang lebar. Penampilan bak selebriti tampan yang bisa mencuri pandangan siapa saja yang melihatnya, terutama para wanita.

Alvin berjalan menghampiri Jena sambil tersenyum tengil. Tangan kanannya terlihat terus memegangi ponsel yang masih tersambung dengan Jena.

"Nih, gue udah sampai. Jangan marah-marah mulu napa," tukas Alvin yang sekarang sudah berdiri di hadapan Jena. Sambungan telepon langsung dimatikan dan Alvin memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

Namun Jena tak merespon apa-apa. Ia malah tersipu malu setelah melihat sahabat laki-lakinya berpakaian serapi ini hingga tak sadar pipinya sudah memerah.

Selama persahabatan mereka bertahun-tahun, baru malam ini Jena melihat Alvin memakai setelan jas lengkap seperti hendak menghadiri acara formal kenegaraan. Alvin sangat karismatik di mata Jena.

Tidak ingin Alvin sampai tahu hatinya kini sedang berdesir, Jena buru-buru menutupi pipinya yang memerah dengan mendundukkan kepala. Berpura-pura membetulkan kerah gaun berpotongan rendah yang dikenakannya.

Melihat wanita cantik di depannya mulai bersikap aneh, memancing Alvin berujar jahil. "Enggak usah salting gitu, deh, Jen. Kaya lo baru nyadar aja sama kegantengan gue," tukas Alvin sambil mengusap rambutnya yang sudah dioles pomade. Gerakannya sengaja dilebih-lebihkan supaya Jena kesal.

Sikap iseng Alvin berhasil membuat Jena buru-buru menyingkirkan perasaan kagumnya. Ia lantas mencerca Alvin untuk kedua kali. "Apaan, sih, lo! Gue masih marah sama lo, ya! Kita janjian jam tujuh padahal. Bisa-bisanya jam delapan lewat lo baru dateng. Udah enggak usah duduk aja!"

Sama sekali tidak mengindahkan kata-kata Jena, justru sebaliknya Alvin langsung menggeret kursi yang ada di depan Jena dan duduk.

Alvin memasang tatapan memohon yang sedikit dibuat-buat, berusaha merajuk. "Maaf, gue tadi ada meeting dadakan. Soalnya mau ada project gede buat akhir tahun nanti. Lo tahu sendiri, kan, segimana pentingnya project ini buat gue."

Kepala Jena mengangguk pelan. Paham dengan maksud pembicaraan Alvin, sahabat laki-laki yang selalu bersama dengannya sejak bangku SMA.

Keduanya memang tidak pernah sedetik pun terpisahkan. Mereka menjadi dekat satu sama lain secara alami karena keadaan.

Pada waktu SMA, Jena adalah seorang murid pindahan dari luar Jawa. Logat bicaranya yang dinilai tak biasa di telinga orang-orang Jakarta, membuat Jena jadi bahan ledekan satu kelas.

Terus-terusan menjadi bahan ledekan, Jena jadi lebih banyak diam dan memilih tidak berbicara jika tidak ditanya. Tingkahnya yang seperti itu membuatnya jadi tak punya teman.

Hanya ada seorang anak laki-laki yang mau berbicara dengannya tanpa menertawakan logat Jena yang unik. Selain itu, ia juga tidak keberatan menjadi guru les Jena. Membantu Jena agar bisa mengejar ketertinggalan materi pelajaran. Sosok anak laki-laki itu ialah Alvin.

Alvin sudah terlahir dengan sifat yang supel, asik, dan sedikit jahil, sehingga siapapun yang berkenalan dengannya akan cepat akrab. Begitu pula dengan Jena.

Alvin juga terhitung sebagai anak yang berprestasi. Ia tidak pernah keberatan berbagi ilmu pada teman-temannya. Bahkan, ia sering mengajak teman-teman sekelasnya belajar bersama sepulang sekolah atau saat menjelang ujian. Teman-teman sekelasnya pun sering meminjam catatan Alvin dan menanyakan PR padanya.

Sewaktu Jena dijauhi oleh teman-teman sekelasnya, hanya Alvin-lah yang selalu menemani dan mengajari Jena materi pelajaran sekolah. Mereka berdua belajar bersama hampir setiap pulang sekolah.

Berkat rutin belajar bersama Alvin, Jena mampu meraih ranking dua persis di bawah Alvin yang tidak pernah geser dari ranking satu. Ranking Alvin dan Jena selalu berada di urutan teratas ranking parallel di sekolah.

Keduanya pun terkenal dengan sebutan King and Queen di sekolahnya. Tak pelak Jena mampu menyusul Alvin sebagai murid teladan kesayangan guru-guru.

Jena juga selalu ditunjuk menjadi perwakilan sekolah di berbagai lomba bersama Alvin, sehingga keduanya tampak tak pernah terpisahkan bagai perangko dan amplop.

Alvin sehari-hari memang selalu memperlihatkan sisi yang periang, gigih, baik hati, dan pintar. Tapi di balik semua itu, kehidupan Alvin cukup keras.

Selama ini Alvin hanya hidup berdua dengan sang ibu dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan. Membuatnya harus bekerja giat sebagai tulang punggung keluarga tanpa mengeluh.

Latar belakang keluarganya yang sederhana, ditambah memiliki sifat-sifat yang positif, membuat Jena sangat menyukai Alvin.

Namun, Jena hanya menyimpan perasaan itu sendiri karena tidak ingin merusak pertemanan yang telah terjalin bertahun-tahun.

'Tapi kali ini gue harus coba jujur sama Alvin apapun yang terjadi,' tekad Jena dalam hati.

"Omong-omong, lo kenapa tiba-tiba ngajakin gue makan di resto mewah gini? Gue jadi berasa punya pacar," ledek Alvin asal ceplos.

"Ada hal penting yang mau gue omongin. Tapi entaran aja, sekarang kita pesen makan dulu, deh. Pasti lo laper, kan," balas Jena singkat. Mimik wajahnya mulai tampak serius. Sama sekali tidak terpancing ledekan Alvin.

Alvin menyadari ada perubahan pada raut muka Jena, tetapi memilih tidak bertanya dan hanya menyimpannya dalam hati.

Kemudian Jena memanggil pelayan wanita yang tadi menghampirinya untuk memesan menu makan malamnya dengan Alvin.

Sembari menunggu pesanan datang, Alvin dan Jena mengobrol soal keseharian mereka di kantor masing-masing. Alvin diam-diam memperhatikan gerak-gerik Jena yang sedikit berbeda dari biasanya.

Biasanya Jena sangat cerewet dan selalu tertawa riang tanpa beban. Tapi malam ini Jena hanya mendengarkan ocehan Alvin tanpa banyak menanggapi.

Alvin juga menyadari saat mengobrol, Jena tidak menatap matanya seperti biasa. Kali ini Jena lebih sering melempar pandangannya ke arah lain seakan-akan Alvin hanya patung yang membosankan.

'Ada apa sama Jena? Apa dia lagi ada masalah?' Alvin bertanya-tanya dalam hati.

Beberapa saat kemudian, pesanan makan malam mereka pun sudah datang. Tanpa perlu permisi lagi Alvin langsung menyambar peralatan makannya dan mengiris daging steak di hadapannya dengan antusias akibat perutnya yang sudah keroncongan.

"Jen? Enggak dimakan steak-nya? Keburu dingin sama alot, lho!" kata Alvin pada Jena yang matanya sedang memandangi luar jendela dengan tatapan kosong.

Jena yang lamunannya dibuat buyar langsung meresponnya dengan gugup, "E-eh. Iya, Vin. Gue baru aja mau makan, kok."

Jena lantas mengambil pisau dan garpu yang sudah tersedia berdampingan dengan sepiring steak daging sapi di depannya.

Pikiran Jena yang masih ruwet membuatnya jadi tidak fokus. Pisau yang digenggam Jena tidak sengaja terlepas dan terpelanting ke lantai.

"Eh, so-sori. Gue lagi enggak fokus," ucap Jena terbata-bata. Kepalanya ditundukkan karena gelisah dan malu.

Tanpa diduga-duga Alvin langsung menukar piringnya dengan milik Jena. Sambil menatap Jena dengan tatapan teduh, Alvin berkata, "Lo makan punya gue aja, udah gue potongin kecil-kecil dagingnya. Pesenan kita, kan, selalu sama."

Jena dibuat tidak bisa berkata-kata. Jantungnya berdebar-debar dan pipinya kembali memerah. Selalu terenyuh dengan sikap Alvin yang sangat mengayominya.

Meski tidak hanya sekali-dua kali Jena diperlakukan manis bak putri kerajaan saat bersama Alvin, ia selalu dibuat terkejut oleh perlakuan manis sahabat lelakinya itu.

Jena kembali teringat akan sesuatu yang sejak tadi sangat menganggu pikirannya. Membuatnya gelisah setengah mati sampai membuat selera makannya hilang. Namun, Jena masih menahannya di bibir.

Alvin yang mulai melahap makanannya pun menyadari kalau Jena tidak menyentuh santapan malamnya sama sekali. Ia hanya diam menatap daging steak yang mulai mendingin dengan tatapan kosong.

Perasaan Alvin mengatakan ada yang tidak beres dengan Jena melihat sikapnya yang tidak seperti biasa. Malam ini Jena jadi jauh lebih pendiam. Nampak juga raut kebingungan dalam wajahnya.

Alvin yang sudah tidak tahan lagi melihat tingkah tak biasa dari Jena, lantas meletakkan pisau dan garpunya.

Sambil menatap Jena yang masih sibuk dalam lamunannya, Alvin berkata, "Jen, kalau lo ada masalah cerita ke gue. Kita udah jadi sahabat lo belasan tahun. Lo bisa andelin gue kapanpun lo butuh."

Mendengar itu, Jena langsung memandangi Alvin dengan pandangan yang tidak bisa ditebak. Ia masih berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan isi pikirannya.

"Ada apa? Lagi mikirin apa? Bagi ke gue coba, siapa tahu bisa ringanin beban lo," pancing Alvin lagi.

Walau masih sedikit ragu, Jena memberanikan diri untuk jujur. Ia menatap wajah Alvin dengan tatapan sangat serius. "Vin… Sejujurnya gue udah lama cinta sama lo. Dan bahkan perasaan gue ini udah lebih dari rasa sayang sebagai sahabat."

Alvin tidak menyangka akan mendapat pernyataan cinta mendadak dari Jena malam ini. Tapi di sisi lain, ia juga tak terkejut karena sudah mengira pasti akan ada momen seperti ini dalam hubungan persahabatannya dengan Jena.

Meski begitu, Alvin memilih tetap bungkam. Masih menunggu kata-kata yang akan meluncur dari bibir cantik Jena.

"Gu-gue mau minta tolong ke lo. Ma-maaf kalau gue terkesan enggak tahu diri buat minta ini. Tapi… Gue udah kepepet banget dan enggak bisa berpikir jernih lagi. Dan yang bisa nolong gue cuma lo," tambah Jena.

Kali ini Alvin tidak dapat memahami kata-kata Jena. "Maksud lo apa, Jen?"

"Anu…" Jena tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Kepalanya tertunduk dan mukanya semerah kepiting rebus. Dimulai dengan dehaman, Jena kembali berbicara, "Vin… Lo mau nikah sama gue enggak?"