Saking fokusnya bekerja, Alvin tidak tahu kalau jarum jam sudah menunjukkan waktu pulang kantor. Ia terus berkutat dengan pekerjaannya sampai mendapat interupsi dari seseorang yang tiba-tiba mengetuk pintu ruang kerjanya.
Alvin pun memperbolehkan orang itu masuk ke dalam ruangannya karena kebetulan pekerjaannya sudah hampir selesai.
Wajah Miran pun muncul dari balik pintu. Sambil memamerkan senyum manisnya yang khas, Miran berkata, "Pak Alvin… Saya minta maaf kalau tadi saya sempet lancang. Saya enggak ada maksud kaya gitu. Saya cuma khawatir aja sama Pak Alvin."
"Udah, enggak perlu khawatir. Lagian gue enggak bakal mati cuma karena Eri naik pangkat. Gue juga mau minta maaf tadi sempet kelepasan emosi dan marah-marah sama kalian semua," balas Alvin yang akal sehatnya mulai kembali. Ikut merasa bersalah.
"Kami enggak tersinggung sama sekali. Justru karena Pak Alvin marah-marah, kami semua, terutama saya jadi khawatir sama Pak Alvin." Miran tersenyum simpul. "Pak Alvin pemimpin yang baik dan pekerja keras. Kami semua seneng pas denger berita Pak Alvin dapet promosi jadi general manager dan mati-matian ngerjain project sama Kak Bian sampai malem. Menurut kami Pak Alvin yang jauh lebih pantes buat dapet general manager."
"Gue tahu kalian semua kecewa. Jujur, gue juga kecewa, kok. Banget malah. Tapi setelah akal sehat gue balik, apa yang dibilang Eri ada benernya. Mungkin juga Pak Bayu punya pertimbangan lain makanya lebih milih Eri. Jadi gue udah ikhlas enggak jadi naik jabatan, kalian juga harus gitu," papar Alvin bijak hingga Miran kehabisan kata-kata.
Meskipun masih tertinggal sedikit perasaan mengganjal, tapi mulai sore ini Alvin sudah merelakan jabatan general manager diberikan pada Eri. Ia tidak ingin jadi orang yang terlalu emosional dan berambisi hanya karena sebuah jabatan. Ike selalu berpesan padanya untuk jadi orang yang sabar. 'Ini semua demi Ibu,' batinnya.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di hari itu, Alvin bergegas pulang. Miran menunggu Alvin selesai membereskan semuanya supaya bisa keluar kantor bersama dan mengobrol sebentar.
Ketika mereka berdua sudah sampai di pintu keluar kantor, barulah Alvin teringat kalau mobilnya masih ada di bengkel. Miran yang kebetulan juga menyetir mobil sendiri menawarkan tumpangan, tetapi Alvin menolaknya dengan halus.
Tak disangka, datanglah sebuah mobil yang sangat Alvin kenal. Sang pengemudi membuka jendela dan menyahut tanpa tahu malu, "Vin! Ayo kita makan ramen!"
'Aduh, ada Jena! Maaf, Jen, karena gue hari ini belum bisa kasih jawaban, gue jaga jarak sama lo dulu,' batin Alvin. Karena Alvin sudah ada janji dengan Dustin sepulang kerja, Alvin terpaksa menolak ajakan Jena dengan beralasan sedang tidak enak badan.
Saat mendapat penolakan, wajah Jena yang semula riang seketika langsung cemberut. Jena langsung melajukan mobil tanpa pamit, meninggalkan Alvin dan Miran.
Jena semula sangat bersemangat memberikan kejutan pada Alvin dengan menghampirinya di kantor. Tapi suasana hatinya langsung anjlok begitu Alvin menolak ajakannya. Ditambah lagi orang yang tadi bersanding di samping Alvin adalah Miran.
Perasaan Jena campur aduk dan pikirannya sudah ke mana-mana. "Jangan-jangan Alvin semalem berubah jadi dingin dan enggak bales chat gue gara-gara bingung sama perasaannya? Jangan-jangan ini jawaban Alvin secara enggak langsung? Atau bisa juga dia mau yakinin perasaannya sama Miran baru ngasih jawabannya ke gue besok?" kata Jena sambil menyetir.
Karena terus memikirkan hubungan Alvin dan Miran, Jena jadi tidak bisa berpikir jernih lagi. Lalu tiba-tiba Dustin terlintas di otaknya. Jena kenal dekat dengan Dustin karena ia juga berkawan dekat dengan sahabat Alvin itu.
Jena berpikir bila Alvin tidak terbuka soal perasaan dan percintaan pada dirinya, seharusnya Alvin terbuka pada Dustin. Sebab, Alvin hanya dekat dengan dirinya dan Dustin. Tanpa berpikir dua kali, Jena langsung mencari kafe terdekat dan berniat segera mengontak Dustin.
Di saat yang bersamaan, Dustin sedang bersama Alvin. Mereka sedang dalam perjalanan menuju warung nasi goreng langganan mereka waktu masih kuliah.
"Cewek tadi siapa, Vin? Pacar lo? Akhirnya seorang Alvin punya pacar!" ledek Dustin di sela-sela kesibukannya menyetir.
"Dih! Bukan! Miran namanya, salah satu staff marketing gue. Dia belum lama masuk kerja, tapi karena aktif dan lumayan rajin, gue sering tarik dia bantuin gue project," respon Alvin. Sebelum Dustin meledek lagi, Alvin membahas topik baru. "Tadi lo datengnya pas banget abis Jena pergi."
"Jena abis nyamperin lo? Kok tumben enggak nebeng Jena aja? Kalian lagi marahan emangnya?"
"Enggak. Cuman gue lagi ngerasa enggak nyaman ada di deket dia."
Dustin sangat kaget mendengar pernyataan Alvin barusan. "Maksud lo?! Padahal kalian udah kaya amplop sama perangko, loh! Apa lo baru sadar kalau Jena punya sifat jelek makanya mulai enggak betah temenan sama dia?"
"Semalem Jena abis ngelamar gue karena ayah dia mau jodohin sama anak partner bisnisnya."
Kali ini pernyataan Alvin berhasil membuat Dustin jauh lebih kaget dari sebelumnya. Mata Dustin sampai terbelalak saking terkejutnya. "Kok bisa Jena lamar lo? Apa dia sebenernya ada perasaan sama lo?! Terus lo gimana? Kok bisa tenang-tenang aja gue lihat?"
"Ya, menurut lo aja! Gue semalem juga syok! Saking syoknya gue enggak bisa konsentrasi nyetir, terus mobil gue nabrak trotoar. Makanya sekarang di bengkel," jelas Alvin. Nada bicaranya tidak santai.
"Dan gara-gara itu juga gue sampai rumah lewat tengah malem, bangun kesiangan, telat rapat, dan enggak jadi naik jabatan! Bisa gila gue!" Alvin memukul pelan dasbor mobil Dustin akibat frustasi.
"Gila, bro. Efek lamaran Jena bisa sampai separah itu ternyata." Dustin menunjukkan sedikit rasa simpati. "Berarti lo belum kasih jawaban?"
Alvin memberikan jawaban dengan menggelengkan kepalanya. Lalu, Dustin memberikan sedikit saran pada Alvin agar memberikan keputusan dalam kondisi hati yang tenang dan pikiran yang jernih. Cari jawaban dari isi hati supaya tidak ada penyesalan di masa depan.
Akan tetapi, Alvin tidak merespon kata-kata Dustin. Sekarang ia sedang mencoba menggali isi hatinya. Mencari jawaban untuk Jena karena tenggat waktu semakin menipis.
Tak beberapa lama setelah itu, mobil Dustin berhenti di depan sebuah warung kaki lima yang menjajakan nasi goreng dan berbagai chinnese food.
Keduanya pun memesan dua porsi nasi goreng spesial lengkap dengan ekstra kerupuk serta dua gelas soda gembira. Menu sederhana yang membangkitkan memori masa muda mereka.
Sembari menunggu pesanan datang, Alvin menceritakan seluruh rentetan mimpi buruk yang membebani pikirannya. Saat Dustin asyik menyimak, mendadak ponsel pintarnya berdering.
Kedua alis Dustin langsung terangkat sewaktu melihat nama orang yang meneleponnya. Dustin pun menunjukkan layar ponselnya pada Alvin. Di sana terpampang nama Jena.
"Gimana, nih? Harus gue angkat atau diemin aja?" tanya Dustin pada Alvin. Tangan Alvin memberi isyarat agar Dustin mengangkat panggilan itu.
"Tapi jangan bilang-bilang Jena kalau lo lagi sama gue," bisik Alvin lalu dijjawab anggukan mengerti oleh Dustin.
Setelah menelan ludah dengan paksa, Dustin pun mengangkat telepon Jena. Belum sempat membuka dengan salam, Jena langsung memberondong Dustin dengan pertanyaan.
"Tin, lo tahu enggak Alvin suka sama siapa?"