Kali ini kesabaran Alvin sudah benar-benar habis setelah mengetahui kabar kalau Eri akan segera diangkat jadi general manager pada hari Senin besok. Alvin yang merasa dicurangi, bergegas turun ke lantai dasar untuk mengejar Eri.
Miran dan staff lainnya yang mengetahui akan ada potensi keributan besar pun saling berpandangan. Hanya berkomunikasi melalui pandangan mata, mereka mengangguk kompak. Sepakat diam-diam mengikuti langkah Alvin ke kantin.
"Permainan apa yang lagi direncakan si Eri gila itu? Gue tahu dia enggak suka sama gue. Padahal selama ini gue udah berusaha baik-baikin dia. Pertahanin dia di tim gue padahal kerja enggak pernah becus. Sialan emang!" rutuk Alvin marah ketika dirinya sedang berada di dalam lift sendirian.
Namun karena sudah memasuki jam makan siang, banyak karyawan menggunakan lift yang sama dengan Alvin. Karena sedang tergesa-gesa, Alvin pun jadi tersulut emosinya saat lift yang dinaikinya kerap berhenti di hampir setiap lantai. Sangat menghambat waktunya yang ingin cepat-cepat berada di lantai dasar.
'AH SIAL! Gue lupa kalau sekarang udah jam makan siang. Tahu gini gue mending naik tangga darurat ajalah!' Alvin terus mengomel di dalam hati.
Akhirnya karena sudah tidak tahan terus berjejalan dengan staff lainnya di dalam elevator yang padat, Alvin pun memutuskan keluar dari lift ketika sudah berhenti di lantai empat.
Alvin melangkah cepat menuju tangga darurat supaya segera sampai ke lantai dasar. Berharap suasana kantin belum terlalu ramai. Namun, ketika sedang menuruni tangga, Alvin mendengar sebuah suara yang tak asing di telinganya. Benar saja saat Alvin sampai di tangga lantai tiga, ia bertemu dengan Miran dan staff lainnya.
"Kalian ngapain di sini? Bukannya kalian kalau makan siang enggak pernah di kantin lantai bawah, ya?" tembak Alvin pada anak buahnya yang sebagian besar wanita.
"Eh… Anu… Kami lagi bosen aja, Pak. Jadi pengen coba suasana baru makan di kantin lantai bawah," jawab Miran canggung. Diikuti oleh anggukan setuju dari karyawan lainnya.
Meski tidak begitu yakin dengan kebenaran jawaban Miran, tapi Alvin langsung mengangguk cepat. Tidak ingin membuang lebih banyak waktu lagi.
"Ya, sudah kalau gitu. Tapi mentang-mentang makan di kantin bawah, jangan sampai kalian juga ikut terlambat absen kaya Eri, ya," kata Alvin memperingatkan anak buahnya. Miran dan yang lainnya langsung mengangguk patuh. Lalu Alvin melanjutkan langkahnya menuruni tangga, mendahului Miran dan kawan-kawan.
Tak beberapa lama setelahnya, Alvin sudah berdiri di lantai dasar. Alvin mengedarkan pandangan matanya yang penuh waspada ke sekeliling. Berharap segera menemukan seseorang yang dicarinya sejak tadi, Eri.
Gotcha!
Penglihatan tajam Alvin tak pernah salah. Cuma membutuhkan waktu sebentar saja Alvin sudah bisa menemukan punggung Eri dari kejauhan. Ya, Alvin memang sangat hafal perawakan tubuh Eri karena mereka sudah berteman sejak pertama kali bergabung di perusahaann sekitar sepuluh tahun lalu.
Tanpa berpikir panjang, tangan Alvin langsung mencengkeram bahu lebar Eri yang tengah sibuk menyantap makan siangnya bersama beberapa staff dari divisi lain.
Cengkeraman kuat dari tangan Alvin tentunya membuat Eri tersentak kaget. Ia reflek langsung menoleh ke belakang dan mendapati Alvin sudah menatapnya penuh dendam.
'Akhirnya dateng juga dia,' batin Eri senang. Bukannya takut pada Alvin yang terus memberikan tatapan intimidasi, Eri malah balik memamerkan senyum penuh kemenangan. "Ada apa? Mau ngomongin sesuatu yang penting?" Eri sengaja memancing.
"Jelasin ke gue sekarang. Lo ngerencanain apa sama Pak Bayu?!" Alvin bertanya dengan nada setengah berteriak. "Kenapa lo bisa tiba-tiba langsung diangkat jadi general manager mulai besok Senin?"
Karena nada bicaranya yang sangat keras bisa didengar siapa saja. kata-kata Alvin barusan berhasil menyita perhatian seluruh orang yang ada di kantin, Suasana mendadak jadi sangat tegang.
Alvin dan Eri langsung menjadi sorotan semua orang. Mereka menyiapkan pendengaran baik-baik supaya bisa menangkap seluruh pembicaraan Alvin dan Eri yang sedang berseteru.
"Maksud lo? Gue enggak ada rencana apa-apa. Apalagi buat jatuhin lo. Tiba-tiba aja Pak Bayu sendiri yang nunjuk gue jadi general manager. Gue harus apa coba selain nerima dengan senang hati?" ucap Eri culas.
"Lo harusnya enggak perlu marah sama gue. Tapi lihat dulu diri lo sendiri gimana. Baru nyalahin orang." Kemudian Eri menepis cengkeraman tangan Alvin yang mulai melonggar. Eri pun berdiri dan berhadapan dengan Alvin yang dari awal tak melepaskan pandangannya dari Eri.
Kening Alvin berkerut, tidak paham dengan arah pembicaraan Eri. Alvin mulai sangat emosional. "Apa yang lo bicarain? Jelas-jelas gue butuh waktu bertahun-tahun sampai bisa jadi ketua tim pemasaran. Dan butuh waktu bertahun-tahun juga buat gue biar bisa dapet promosi jadi general manager."
"Terus gue selama ini tahan-tahanin lo tetep ada di divisi gue. Padahal semua staff minta lo dipindahin ke divisi lain biar engga ngerepotin. Tahu enggak kenapa? Lo enggak pernah mau kerja!" ungkap Alvin. Masih menumpahkan seluruh kekecewaannya.
Eri mendengus kesal. "Iya, iya. Gue tahu lo si paling pekerja keras selama bertahun-tahun. Tapi lo kebayang enggak udah ngelakuin kesalahan fatal yang malu-maluin perusahaan?"
"Lo dateng telat pas rapat bareng investor. Udah gitu penampilan lo enggak banget di investor. Keringetan, kemeja basah, berantakan. Bikin malu Pak Bayu tahu enggak?" tambah Eri lagi sambil menunjuk-nunjuk muka Alvin.
"Seharusnya lo berterima kasih sama gue. Bisa gantiin lo sama Bian presentasi di depan investor. Perusahaan kita bakal tambah besar setelah ini berkat gue bisa ngeyakinin investor," tutup Eri. 'Bener. Eri enggak salah,' batin Alvin mengakui kekalahannya.
Setelah Eri menjelantahkan semuanya, Alvin hanya terdiam. Tatapannya kosong. Semua orang yang melihat perseteruan itu mulai berbisik-bisik. Sebagian membela Alvin tapi tidak sedikit juga yang berada di pihak Eri.
"Okelah. Gue anggep labrakan lo tadi sebagai ucapan terima kasih karena gue udah nyelametin perusahaan dan tim pemasaran. Tapi inget, ya, kalau lo mulai cari gara-gara lagi ke gue…," Eri memberi jeda sedikit, "gue enggak tinggal diem. Gue bisa aja depak lo."
Perkataan Eri bagaikan bom peringatan untuk Alvin. Berhasil membuat Alvin bertekuk lutut, tidak bisa membalas apa-apa karena semua omongan Eri tidak ada yang salah.
Setelah selesai bicara, Eri kembali duduk di kursinya semula untuk melanjutkan makan siangnya. Perlahan-lahan orang-orang yang berkerumun pun juga mulai membubarkan diri meski mereka diam-diam masih membicarakan perseteruan antara Alvin dan Eri.
Tubuh Alvin seketika terasa lunglai seusai berseteru dengan Eri. Namun tiba-tiba tangan seorang wanita menepuk punggung Alvin pelan.
Alvin reflek menengok ke belakang dan mendapati Miran tersenyum manis padanya. Tangan satunya menyodorkan sebotol jus dingin. "Pak Alvin! Yuk, makan siang sama kami," ajak Miran tanpa ragu.
Sebenarnya Alvin sudah kehilangan nafsu makan, tetapi Miran langsung menarik tangan Alvin. Memaksa Alvin mengikuti kemauannya. Akan tetapi, karena Alvin benar-benar lelah, ia tidak ada tenaga untuk menolak dan akhirnya mengikuti langkah Miran dan beberapa staff pemasaran lainnya.
Mereka semua naik kembali ke lantai sepuluh. Dan sesampainya di sana, ternyata dua orang staff lain sudah menata meja untuk makan siang bersama. Lalu, beberapa staff lain sudah memesan makan siang dari aplikasi layanan pesan antar.
"Pak Alvin enggak usah khawatir. Kami semua dukung Pak Alvin, kok. Saya waktu pertama kali denger kabar itu juga enggak percaya. Masa Pak Eri bisa jadi general manager? Kayanya nalar Pak Bayu agak-agak," kata Miran ceplas-ceplos yang langsung ditegur oleh staff lain.
Namun Miran tetap bersikeras pada pendapatnya. Ia sangat tidak suka Bayu lebih memilih Eri daripada Alvin yang selama ini selalu bekerja keras. Angka penjualan perusahaan jadi meroket berkat usaha dan ide-ide brilian dari Alvin. Jadi Miran berpendapat kalau Alvin jauh lebih pantas naik jabatan daripada Eri yang pemalas.
"Bukannya mau ngecewain kalian. Tapi kata-kata Eri tadi ada benernya. Gue udah kalah." Alvin tertunduk lesu.