Chereads / RE-START / Chapter 11 - Praduga

Chapter 11 - Praduga

Ada gejolak rasa tidak terima pada diri Miran ketika melihat Alvin yang mengakui kekalahannya dari Eri dengan lesu. "Pak Alvin enggak boleh gitu! Masa langsung nyerah gitu aja sama Pak Eri?" paksa Miran.

Lama-kelamaan Alvin mulai risih dan kesal. "Udah! Kalian pikir emang gue enggak usaha apa? Tapi kenyataannya Pak Bayu emang udah depak gue dan milih Eri! Gue enggak ada pilihan lain! Ngerti? Udah, enggak usah paksa gue ini-itu lagi."

Kemudian Alvin berbalik, hendak melangkah masuk ke ruangannya. Miran kembali memanggil Alvin supaya mau makan siang bersama-sama. Sayangnya Alvin menolaknya dengan tegas dan masuk ke ruangannya.

Brak!

Terdengar Alvin menutup pintu ruangannya dengan kasar, entah sengaja atau tidak. Melihat itu, Miran dan teman-temannya saling menyikut satu sama lain. Saling menyalahkan karena sudah membuat Alvin tambah kesal.

"Ya, udah mau gimana lagi. Kita makan aja, deh. Porsi makan punya Pak Alvin buat lo aja, Der," ujar Miran kepada Deri, staff magang di divisi pemasaran yang terkenal gemar makan. Deri pun mengangguk antusias.

Karena perasaan kesal yang meluap-luap, begitu memasuki ruang kerjanya, Alvin langsung meninju meja kerjanya. "Kenapa hidup gue selalu sial!"

Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan otot di lehernya kembali menegang. Tanda-tanda kalau tubih Alvin mengalami stres.

Di saat-saat seperti ini biasanya Alvin akan segera mengirim pesan pada Jena. Mengajak sahabatnya itu makan bersama selepas kerja. Tapi karena lamaran Jena semalam, Alvin menahan diri untuk menghubungi Jena.

Alvin tidak bermaksud menghindar, hanya saja ia masih belum bisa memberi keputusan pada Jena. Semua rentetan kejadian yang menimpanya baru-baru ini bagaikan mimpi buruk.

Akhirnya Alvin mencoba menghubungi Dustin, sahabat dekatnya sejak bangku kuliah. Biasanya ketika sedang stres, Alvin mengajak Dustin makan-makan, merokok, dan mengobrol hingga dini hari. Untungnya Dustin langsung menerima ajakan Alvin kerena kebetulan malam ini sedang senggang.

Seketika perasaan Alvin jadi sedikit ringan. Alvin secara tak sadar merekahkan senyum tipisnya yang manis. "Seenggaknya hari ini ada satu kebaikan. Nanti malem gue mau ketemu Dustin."

Semangat kerjanya pun kembali membara. Alvin memutuskan mematikan ponselnya untuk sementara supaya bisa fokus menyelesaikan pekerjaan supaya bisa cepat-cepat pulang.

***

Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Artinya jam kerja Jena masih tersisa dua jam lagi. Ia sudah tidak sabar ingin cepat pulang.

Sedari pagi Jena tidak bisa fokus bekerja. Entah mengapa hari ini Jena merasa harinya sangat panjang. Tubuhnya juga terasa jauh lebih lelah dari biasanya.

Konsentrasinya terpecah karena setiap setengah jam sekali Jena selalu memeriksa ponselnya. Berharap ada pesan dari Alvin yang sudah ia tunggu sejak pagi.

Alvin dan Jena memang intens berkomunikasi. Setiap hari mereka pasti berbalas pesan, bahkan di jam kerja. Membicarakan bermacam-macam hal. Entah curhat mengenai masalah kantor, rekan kerja yang mengesalkan, atau sesepele menu makan siang yang baru saja mereka pesan rasanya tidak enak.

Jena merasa hubungannya dengan Alvin sudah bagaikan sepasang kekasih. Mereka sudah saling nyaman dan menjadi tempat sandaran satu sama lain karena terbiasa bersama sejak masa SMA.

Semalaman tak berhubungan dengan Alvin sudah membuat perasaan Jena hampa. Makanya ia tak bisa konsentrasi selama bekerja karena merindukan Alvin.

"Apa gue mulai chat duluan aja, ya? Tapi semalem Alvin dingin banget," gumam Jena yang sedang berada di ambang kebingungan. "Tapi, kalau sengaja didiemin kaya gini terus, gue yang enggak betah. Udah lah, nekat aja chat duluan. Ajak makan ramen aja. Pasti dia bakal bales!"

Tanpa pikir panjang, tangan Jena langsung mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Lalu mengetikkan pesan ajakan pada Alvin.

Setelah menekan tombol kirim, mendadak jantung Jena berdebar-debar tanpa sebab. "Loh? Kenapa gue jadi deg-degan gini? Padahal udah tiap hari ngirim chat gini ke Alvin. Kayanya ada yang enggak beres sama otak gue. Udah lah, balik kerja aja."

Lima menit berlalu. Bertambah menjadi lima belas menit. Kemudian setengah jam tak terasa menjadi satu jam.

Selama menunggu balasan dari Alvin, Jena tak henti curi-curi pandang ke layar ponselnya sembari bekerja. Sayang sekali hasilnya tetap nihil, Alvin tidak juga membalas pesannya.

Ketika Jena melihat arloji kesayangan yang tersemat di tangan sebelah kanannya, jarum jam sudah menunjukkan jam dua siang. Jena tahu betul sekitar jam dua siang, pekerjaan Alvin sudah agak santai sehingga biasanya bisa membalas pesan dengan cepat.

Jena jadi heran sendiri. "Udah jam dua padahal. Biasanya kerjaan Alvin udah banyak yang selesai jam segini. Kalau dia sampai sekarang belum balas, bisa jadi ada tambahan kerjaan. Iya, pasti gitu. Enggak usah khawatir, Jen."

Setelah bersusah payah meyakinkan dirinya, Jena kembali menggumam karena tiba-tiba teringat sesuatu. "Ah, iya! Kan, hari ini Alvin udah presentasi project-nya. Seharusnya kerjaannya enggak terlalu banyak dong. Berarti… Alvin sengaja enggak mau balas chat, ya?"

Mendadak Jena dihinggapi rasa khawatir. Otaknya langsung dipenuhi oleh bermacam-macam skenario yang dibuat otaknya sendiri.

Imajinasi liar Jena berpikir kalau Alvin saat ini sengaja mengabaikan chat darinya karena asyik bermain bersama teman kantor yang paling dekat dengannya, Miran. Hanya membayangkannya saja sudah membuat dada Jena panas.

"Enggak! Enggak boleh!" Jena reflek berteriak nyaring sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat.

Begitu tersadar kalau pekikannya terlalu nyaring dan menganggu teman-teman kerjanya, Jena buru-buru meminta maaf. Wajahnya jadi semerah tomat karena malu.Saking malunya, Jena menutupi wajahnya dan berlari ke toilet.

"Emang udah gila lo, Jen! Mana mikir yang enggak-enggak soal Alvin lagi! Mana mungkin dia kaya gitu. Lagi pula Alvin enggak pernah bilang suka sama Miran atau cewek manapun! Udahlah enggak usah mikir macem-macem!" Jena berbicara dengan pantulan dirinya sendiri di depan cermin toilet.

Akan tetapi, Jena kembali teringat dengan kata-kata salah satu teman kerjanya. Laki-laki tuh enggak bakal terus terang sama perasaannya. Bisa jadi dia sok cool di depan, padahal hatinya udah dag-dig-dug enggak karuan. Mereka suka nyembunyiin rasa sukanya sampai siap buat nembak.

"Apa jangan-jangan Alvin juga kaya gitu, ya? Soalnya kalau dipikir-pikir, sejak awal kita temenan Alvin enggak pernah ngaku suka sama cewek. Dia cuma bilang enggak mau nikah karena trauma. Bukan berarti dia enggak pernah suka sama cewek, kan?" ujar Jena yang sedang sibuk berdebat dengan dirinya sendiri.

"Ish! Bener-bener, ya! Alvin awas lo!" Perasaan kesal tiba-tiba datang ke hati Jena, entah muncul dari mana. "Pokoknya kalau semisal emang Alvin nolak gue, seenggaknya gue tahu siapa yang dia suka. Tapi jangan sampai itu Miran! Itu cewek emang cantik, tapi gue enggak pernah suka sama dia!"