Chereads / RE-START / Chapter 3 - Kembali ke 17 Tahun

Chapter 3 - Kembali ke 17 Tahun

Bukannya lekas pulang, Alvin masih berdiam diri di dalam mobilnya yang masih terparkir rapi. Kembali memikirkan lamaran sahabat perempuannya yang tak pernah ia duga.

Saat ini Alvin sedang mengalami perang batin. Bimbang memilih antara melawan trauma masa kecilnya dan menerima ajakan Jena ataukah harus merelakan sahabat dekatnya dalam pelukan laki-laki lain.

Dalam lubuk hatinya yang terdalam, sebetulnya Alvin menyimpan perasaan pada Jena. Perasaan yang telah dipendamnya sejak masa SMA. Perasaan Alvin mulai tumbuh karena suatu kejadian di masa lalu. Salah satu memori masa remaja Alvin yang tak bisa dilupakan.

***

Alvin sedang bersiap-siap ke sekolah. Suasana hatinya sedang baik karena hari itu adalah hari ulang tahunnya. Pagi-pagi sekali Ike, ibu Alvin, mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan hadiah.

Hal yang istimewa di ulang tahunnya kali ini bukanlah hadiah, karena setiap tahun Ike selalu memberikan Alvin baju jahitannya sendiri.

Tapi Ike mengatakan akan membuat pesta ulang tahun kecil-kecilan untuknya. Ike menyuruh Alvin mengundang teman-teman sekelas datang ke rumahnya dan menyajikan nasi kuning andalannya sebagai sajian untuk perayaan ulang tahun anaknya yang ke-17.

Alvin merasakan kebahagiaan yang membuncah karena akhirnya bisa merasakan perayaan ulang tahun untuk pertama kalinya. Lantas Alvin mengumumkan perayaan ulang tahun kecil-kecilan itu pada teman-teman satu kelas.

Untungnya teman-teman satu kelas serempak mengiyakan ajakan Alvin dengan penuh semangat. Mereka membayangkan sedang melahap sajian nasi kuning dengan berbagai lauk-pauk yang menggoyang lidah. Mereka juga sepakat akan datang beramai-ramai pukul empat sore.

Kemudian sepulang sekolah, dengan rasa gembira Alvin memberitahukan Ike jika teman-temannya akan datang nanti sore.

Untung saja saat itu Ike sudah hampir selesai memasak. Dengan sigap Alvin membantu sang ibu menyiapkan peralatan makan. Tidak lupa, ia juga menyiapkan tambahan camilan demi meramaikan jamuan untuk tamu-tamu istimewa di sore itu.

Saat jarum jam menunjukkan pukul tiga sore, Alvin dan Ike baru selesai menyiapkan semuanya. Selepas itu, Alvin langsung mandi dan bersiap-siap. Ia sengaja memakai baju terbaiknya dan memacak serapi mungkin.

Alvin sangat senang sekaligus tersentuh pada hari itu. Sebab ibunya mau membuat pesta kecil-kecilan untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-17.

Pesta di hari itu menjadi momen bersejarah di hidupnya, karena keluarganya yang pas-pasan tidak mampu mengadakan pesta ulang tahun mewah seperti anak-anak lain seusianya.

Bagi keluarga Alvin, membeli sebuah kue ulang tahun sama saja menghamburkan uang makan untuk tiga hari. Makanya pesta ulang tahun tidak pernah ada di kamus keluarganya. Alvin pun sangat terenyuh dan tidak berhenti berterima kasih pada Ike.

Tidak terasa jam dinding di rumah Alvin sudah menunjukkan pukul empat sore. Alvin dan Ike yang sudah berdandan rapi pun menunggu tamu-tamu istimewa mereka di teras depan rumah.

"Gimana perasaanmu, Vin? Maaf, ya, Ibu enggak punya banyak uang kaya orang tua temen-temenmu buat ngerayain ulang tahun di restoran," ucap Ike lembut pada Alvin. "Tapi seenggaknya ini yang bisa Ibu lakuin. Biar kamu punya kenangan manis di hari ulang tahunmu yang ke-17."

"Sebenernya Ibu enggak usah sampai repot-repot bikinin pesta kaya gini buat Alvin. Doa dari Ibu udah cukup banget, kok, buat Alvin," balas Alvin.

"Setiap orang tua pasti pengin ngasih yang terbaik buat anaknya. Tapi karena ibumu ini cuma janda yang penghasilannya pas-pasan… Ibu enggak bisa—" Ike tidak kuat melanjutkan kata-katanya lagi dan mulai menangis.

Tangan Alvin langsung merengkuh bahu Ike. "Bu… Udah, enggak usah dibahas lagi. Hari ini, kan, niatnya buat seneng-seneng. Enggak usah bahas soal Bapak lagi. Aku suatu saat bakal bahagiain Ibu, kok. Alvin janji."

Ike yang tengah sesenggukan pun perlahan-lahan mulai menghentikan tangisannya setelah mendengar kata-kata Alvin. "Iya, Vin. Maafin Ibu, ya. Walaupun kejadiannya udah bertahun-tahun lalu tapi masih belum bisa ngerelain Bapakmu pergi."

"Udah, Bu. Lagian Bapak pasti udah hidup sendiri. Buktinya dia enggak balik-balik lagi ke rumah," hibur Alvin sambil menatap Ike dengan wajah teduh, "lagian Ibu juga masih punya Alvin. Enggak usah khawatir. Alvin bakal jadi anak laki-laki yang bisa Ibu andalin."

"Terima kasih, Vin. Ibu emang cuma punya kamu." Ike mengelus kepala Alvin dengan sedikit memamerkan senyum bangga.

Di dalam hati, Ike mengingatkan dirinya sendiri untuk berhenti menangis. Ia tidak boleh sampai terlihat kuyu dan sedih di depan teman-teman Alvin. Buru-buru disekanya air mata yang sudah mengalir di pipi.

'Enggak boleh nangis lagi. Jangan cengeng. Paling enggak untuk sore ini. Jangan malu-maluin Alvin di depan temen-temennya,' tegur Ike untuk dirinya sendiri di dalam batin. Kemudian Ike mengajak Alvin membicarakan hal-hal lucu. Berusaha melupakan pembahasan sensitif beberapa saat lalu.

Menit demi menit telah berlalu. Waktu berlalu dengan cepat. Namun tamu yang mereka tunggu masih belum sampai.

Saat ini perasaan Alvin dan Ike yang semula senang tiba-tiba berubah gelisah. Mereka berdua sudah menunggu terlalu lama tapi belum ada satu pun teman Alvin yang muncul.

Ike pun melongok ke jam dinding dan terkejut saat melihat kalau sekarang sudah pukul 17.45. Ia mengungkapkan kegelisahannya pada Alvin. "Vin, temen kamu kenapa belum pada dateng? Nasi kuningnya keburu dingin. Mereka enggak nyasar, kan?"

Alvin menggelengkan kepalanya yakin. "Enggak, Bu. Reyhan dan Tio udah pernah ke sini beberapa kali, kan, buat belajar bareng. Lagian jalan ke rumah kita juga gampang diinget. Enggak mungkin sampai nyasar."

"Coba kamu telepon ke rumah Reyhan atau Tio. Jangan-jangan belum pada berangkat," usul Ike.

Segera saja Alvin meraih telepon rumahnya yang sudah butut dan menelepon ke rumah Reyhan, salah satu teman dekatnya di sekolah.

Tidak lama telepon Alvin diangkat oleh Yanti, ibu Reyhan. Dengan sopan Alvin menanyakan posisi Reyhan pada Yanti. Setelah mendengar jawaban Yanti, raut muka Alvin langsung berubah keruh.

Ketika Alvin sudah menutup teleponnya Ike langsung menghampiri anaknya. "Gimana? Mereka baru aja berangkat?"

"Tadi Ibu Reyhan bilang Reyhan barusan pamit pergi mau main ke pasar malem," jawab Alvin sedih.

"Tapi itu cuma dia, kan? Temen-temen sekelasmu yang lain gimana? Pada dateng, kan?" Ike memastikan. Tapi Alvin menggelengkan kepalanya dengan wajah murung.

"Kata Tante Yanti, Reyhan berangkat sama temen-temen lain," ungkap Alvin lirih, "kayanya mereka enggak jadi ke sini, Bu."

Ike menghela napas panjang. Daripada merasa marah, sekarang perasaan Ike lebih pada sedih dan kecewa. Sudah lama ia merencakan pesta ulang tahun kecil-kecilan khusus untuk Alvin, tapi kenyataan berakhir tidak sesuai yang diharapkan.

Selama ini Ike sudah mengorbankan waktu istirahatnya dan menambah pesanan jahitan, demi mengumpulkan uang untuk mempersiapkan pesta ulang tahun Alvin. Namun kenyataan pahit harus menghempas harapannya. Rasanya Ike ingin menangis sekeras mungkin.

Tapi ketika Ike melihat Alvin terus tertunduk dengan wajah yang murung dan penuh penyesalan, Ike pun menahan perasaannya.

Alvin menyembunyikan wajah murungnya. Kedua matanya sudah merah dan berkaca-kaca. Ia berusaha kuat menahan air mata agar tidak membanjiri pipi. Merasa kecewa pada teman-temannya.

Tapi lebih dari itu, Alvin sekarang merasa sangat bersalah pada ibunya yang sudah bersusah payah bekerja dan menabung demi bisa mewujudkan pesta kecil-kecilan untuknya yang akhirnya berakhir sia-sia.

"Maaf, ya, Bu," ucap Alvin sambil terisak. "Ibu udah capek masak seharian tapi temen Alvin enggak ada yang dateng. Maafin Alvin. Gara-gara Alvin hidup Ibu jadi sial. Gara-gara Alvin Ibu jadi harus kerja keras. Gara-gara Alvin—"

Kedua tangan Ike memegangi bahu Alvin. Meskipun getir tapi Ike berusaha mengembangkan senyum sebaik mungkin pada Alvin. "Enggak. Alvin itu hadiah terbaik bagi Ibu. Udah, enggak usah bicara yang aneh-aneh gitu. Berhenti nyalahin diri sendiri, Alvin enggak salah."

Alvin masih terus menunduk. Ada perasaan malu untuk menatap wajah Ike. "Tapi gara-gara mau rayain ulang tahun Alvin, Ibu sampai capek masak. Nyatanya temen-temen Alvin enggak ada yang dateng. Kayanya Alvin emang pembawa sial buat Ibu."

"Vin… Kita enggak bisa ngatur sikap orang lain sama kita. Yang penting kita udah berusaha selalu bersikap baik sama orang lain. Mau sejahat apapun sikap orang lain ke kita, itu biar Tuhan yang bales," tukas Ike lembut.

"Tapi—" Kata-kata Alvin langsung disela Ike. "Udah. Sekarang biar nasi kuningnya enggak mubazir dibagiin ke tetangga aja. Kita bungkus satu-satu, yuk."

Meskipun hati Alvin masih sakit, kecewa, dan merasa bersalah pada ibunya, tapi ia tetap menuruti Ike yang sudah lebih dulu masuk ke rumah. Siap-siap membungkus nasi kuning yang mulai dingin.

Baik Ike maupun Alvin memasukkan nasi kuning beserta lauk-pauknya ke dalam kotak dus satu-persatu dengan telaten.

Namun, keduanya tidak ada yang membuka mulut. Mereka sibuk membungkus nasi kuning dalam keheningan. Hari yang begitu mengecewakan membuat keduanya tidak punya tenaga untuk membuka mulut.

Alvin masih merasa kecewa, sedih, kesal, dan sakit hati pada teman-temannya. Sekarang otaknya terus bertanya-tanya kesalahan apa yang sudah ia lakukan. Mengapa ia diperlakukan seenaknya oleh teman-temannya.

Saking sedihnya, Alvin sempat ingin mengeluarkan air mata lagi. Tapi saat Alvin diam-diam melihat wajah Ike yang tampak tenang, niat itu diurungkan.

'Ibu aja bisa kuat ngehadepin yang lebih parah dari hari ini. Aku kudunya juga kuat. Kalau bukan aku yang ngelindungin Ibu, siapa lagi? Vin, kamu enggak boleh nangis lagi apapun yang terjadi. Janji.' Tekad Alvin dalam batinnya.

Alvin berusaha menyingkirkan seluruh perasaan kesal, kecewa, dan sakitnya walau matanya sudah terasa pedih akibat air mata yang mulai menyeruak. Tapi karena ia sudah bertekad agar tetap kuat, ia mati-matian menahan semuanya.

Ketika Alvin dan Ike masih sibuk membungkus nasi kuning, sayup-sayup terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Meski mendengar suara itu, keduanya memilih untuk mengabaikan dan tetap melanjutkan aktivitasnya.

Tapi aktivitas Alvin dan Ike terdistraksi saat mendengar suara pagar rumah mereka dibuka oleh seseorang. Alvin pun segera bangkit dari duduknya dan beranjak ke teras rumah untuk memeriksa orang yang datang membuka pagar.

Kedua mata Alvin terbelalak kaget saat melihat sosok yang tiba-tiba datang ke rumahnya. Anak perempuan berwajah cantik dan berpakaian sederhana tapi tidak bisa menyembunyikan keanggunannya.

"Kamu… Dateng ke sini?" tanya Alvin tidak percaya.