Chereads / RE-START / Chapter 5 - Malam yang Panjang

Chapter 5 - Malam yang Panjang

Alvin melihat layar ponselnya selepas memutuskan sambungan teleponnya dengan Jena secara sepihak. Ia reflek menutup telepon karena kadung terbawa emosi padahal ia bukanlah tipe orang yang emosional.

Namun, yang membuat Alvin bersikap seperti itu karena tidak nyaman dengan sikap Jena yang biasa saja. Seolah pembicaraan penting mereka di restoran beberapa waktu lalu tidak pernah terjadi.

Ditambah lagi Alvin juga masih belum siap membahas soal lamaran Jena yang terlalu mendadak. Ia tidak ingin membahas topik itu dulu, karena perasaannya masih berantakan.

Otak Alvin juga masih berusaha mencerna semua kejadian luar biasa yang datang padanya secara bertubi-tubi, lamaran dan kecelakaan tunggal.

Saking pusingnya memikirkan dua kejadian itu, Alvin merasakan otot di tengkuknya jadi mengencang. Sinyal bahwa tubuhnya sedang stres.

Akan tetapi, beberapa saat kemudian, di hati kecil Alvin mendadak terselip sekelebat perasaan bersalah pada Jena. Sebab, ia telah bersikap terlalu kasar pada sang sahabat untuk pertama kalinya.

'Maafkan gue, Jen. Lo pasti kaget reaksi gue yang tiba-tiba dingin. Gue enggak maksud kaya gitu. Tapi gue masih bingung aja. Berusaha mencerna semuanya. Gue harap lo ngerti.' Alvin membatin seakan-akan Jena bisa mendengar seluruh perkataannya.

Setelah urusannya di kantor polisi selesai, Alvin segera pulang dengan menaiki taksi. Jarak kantor polisi dan rumahnya yang masih cukup jauh, memberikan Alvin kesempatan untuk beristirahat sejenak di kursi belakang.

Alvin mencoba meregangkan tubuh jangkungnya di dalam kabin taksi yang terlalu kecil untuk ukuran tubuhnya. Meski begitu, Alvin mencoba mencari posisi senyaman mungkin dan kemudian memejamkan matanya.

Alvin pun berusaha mencuri-curi waktu untuk merileksan tubuhnya yang letih. Terutama di bagian tengkuknya yang sedari tadi terasa tidak nyaman. 'Seenggaknya gue bisa istirahat sebentar tanpa mikir apapun. Hari ini berat banget,' batinnya.

Dua puluh menit kemudian, sopir taksi yang membawa Alvin sudah berhenti di depan sebuah rumah sederhana berpagar warna hijau.

Menyadari kalau penumpangnya tidak kunjung turun meski mobil telah dibiarkan berhenti selama lima menit, sopir taksi itu lantas menoleh ke belakang.

"Oalah, ternyata penumpangnya malah ketiduran. Pantes lama bener," gerutu si Sopir Taksi. "Mas… Mas… Bangun. Udah sampai ini di depan rumah." Bapak Sopir Taksi membangunkan sambil menepuk-nepuk lutut Alvin yang tengah tertidur pulas.

Terkaget-kaget dengan tepukan sang sopir taksi, Alvin langsung terbangun dengan mata terbelalak. "Hah! Ya ampun. Maaf, Pak, saya malah ketiduran."

Dengan gelagapan, Alvin bersusah payah mencari-cari dompet di tas kerjanya. Setelah mendapatkan barang yang ia cari, Alvin mengambil selembar uang warna merah dan menyerahkannya pada sopir taksi.

"Ini uangnya, ya, Pak," ucap Alvin yang belum benar-benar mendapatkan kesadarannya kembali. Setelah membayar, Alvin buru-buru keluar taksi.

"Eh, Mas. Bentar, masih ada kembaliannya," sergah sopir taksi. Namun Alvin mengibaskan tangannya. Mengisyaratkan tidak memerlukan uang kembaliannya lagi.

Melihat itu, tersungging senyum senang dari wajah sopir taksi. "Wah, makasih, ya, Mas. Semoga cepet dapet jodoh kalau belum menikah. Kalau udah nikah, semoga lancar gajinya."

Namun perkataan sopir taksi itu tidak direspon oleh Alvin. Ia langsung menutup pintu taksi dan membuka pagar rumahnya yang sudah berdecit akibat engsel-engselnya mulai keropos termakan usia.

Setelah memasuki pekarangan depan rumahnya yang berukuran kecil, Alvin mendudukkan diri di kursi yang ada di teras. Lalu melonggarkan tali-tali sepatunya sedikit agar bisa dilepaskan dari kedua kakinya dengan nyaman.

Untuk sesaat Alvin melihat ke arah jalanan kampungnya yang sangat sepi. Barulah ia menyadari kalau sudah pulang terlalu larut.

Benar saja, ketika melihat arloji di pergelangan tangan kirinya, Alvin cukup terkejut. Jarum jam menunjukkan nyaris pukul satu dini hari. "Gila hari gue panjang banget," ujar Alvin pelan nyaris berbisik.

Tapi karena sudah kadung lelah, Alvin seperti tidak punya tenaga untuk mengangkat tubuhnya dari kursi. Ia malah menghirup napas dalam-dalam dan memejamkan mata barang sebentar di kursi teras.

Tubuhnya dibiarkan bersandar pada sandaran kursi dengan punggung tangan kanan yang menutupi kedua matanya. Alvin benar-benar merasa lunglai tidak ada tenaga. "Gue harus apa sekarang," katanya pada dirinya sendiri dengan nada lirih.

Baru beberapa saat setelah Alvin merebahkan diri di kursi teras, terdengar pintu rumah yang dibuka, "Vin? Kok enggak masuk?" tanya Ike yang ternyata masih terjaga.

Tidak menyangka kalau ibunya masih belum tidur, tubuh Alvin tersentak kaget. "Loh? Kenapa Ibu masih bangun? Kirain udah tidur. Udah jam segini, lho, Bu."

"Iya, hati Ibu enggak bisa tenang dari tadi. Walaupun kamu udah izin pulang telat, tapi enggak tahu kenapa perasaan Ibu masih belum tenang. Makanya Ibu nungguin kamu pulang."

"Maafin Alvin, Bu, udah bikin Ibu sampai begadang gini. Tapi sekarang Alvin, kan, udah sampai rumah dengan selamat, jadi Ibu enggak usah khawatir lagi. Udah yuk, masuk. Di luar dingin banget, Bu." Energi Alvin yang semula habis, mendadak terisi kembali setelah Ike datang. Alvin pun bangkit dari kursi dan mengajak ibunya kembali ke dalam rumah.

Setelah masuk ke dalam rumah, Ike bisa melihat raut wajah Alvin dengan lebih jelas karena penerangan yang memadai. "Hari ini kayanya capek banget, Vin? Istirahat gih. Udah makan, kan?" ucap Ike.

"Bu…," kata Alvin pelan. Memilih tidak menjawab pertanyaan ibunya.

"Apa, Nak?" Ike menatap wajah anak semata wayangnya lamat-lamat. Walau hanya melihat dari ekpresi wajahnya sekilas, Ike langsung paham jika Alvin ingin mengatakan sesuatu yang penting.

Meski Ike sudah menunggu dengan sabar, Alvin masih tetap bergeming. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, dan kini kepalanya malah menunduk.

"Kalau belum siap cerita, masih bisa besok-besok, kok. Sekarang udah malem. Mending tidur, yuk? Besok berangkat kerja pagi-pagi, kan," ucap Ike dengan penuh pengertian. Alvin yang semula menunduk pun kembali menatap wajah ibunya. Diikuti dengan anggukan patuh.

Keduanya pun langsung masuk ke kamar masing-masing. Ike yang sebetulnya memang sudah menahan kantuk langsung mematikan lampu kamar dan tidak lama tertidur pulas.

Sementara itu, begitu memasuki kamarnya, Alvin lekas melepas setelan jasnya yang mulai kusut dan basah karena keringat. Meski matanya sudah terasa berat, Alvin yang kegerahan dan mulai merasakan gatal di kulitnya memutuskan untuk mandi.

Tidak butuh waktu lama bagi Alvin untuk membersihkan diri. Sepuluh menit kemudian Alvin sudah keluar dari kamar mandi. Tubuhnya jadi terasa segar dan lelahnya juga jadi sedikit berkurang. "Nah, gini lebih enak. Semoga bisa langsung tidur nyenyak malem ini," tutur Alvin yang suasana hatinya perlahan mulai membaik.

Segera saja Alvin merebahkan tubuh atletisnya ke kasur. Menutupi hampir seluruh tubuhnya dengan selimut lembut bikinan Ike.

Sentuhan selimut lembut buatan tangan Ike memiliki kekuatan ajaib bagi Alvin. Meskipun ia mengalami hari yang berat, satu-satunya obat yang bisa menghiburnya adalah dengan membungkus diri di dalam selimut jahitan sang ibu.

Seperti biasanya, ketika sudah nyaman di dalam dekapan selimut buatan tangan ibunya, tidak membutuhkan waktu lama Alvin pun langsung tertidur pulas.

Keesokan paginya, Alvin terbangun kaget setelah mendengar ketukan pintu bertubi-tubi. Ike sekuat tenaga mengetuk-ngetuk pintu kamar Alvin tanpa ampun yang diselingi dengan omelan. "Alvin! Bangun! Udah jam berapa ini, nanti kamu telat ke kantor, lho! Harus berapa kali Ibu bangunin?!"

Langsung saja Alvin terbangun dengan gelagapan. Tanpa melihat jam, Alvin lekas menuju kamar mandi untuk cuci muka dan kumur-kumur. Setelah itu, memakai setelan baju kerjanya dan bergegas berangkat ke kantor.

"Kamu naik apa ke kantor, Vin? Naik ojek atau taksi?" tanya Ike berturut-turut.

"Naik ojek biar cepet sampai kantor," sergah Alvin tak sabar. Lalu menjejalkan kotak bekal yang diberikan Ike ke dalam tas kerjanya.

"Ya, udah. Ibu telfon Mang Edi, yah biar ke sini. Kamu jadi enggak usah nyari-nyari ojek ke depan gang. Sambil makan roti tuh yang kemarin Ibu beli."

Lalu Ike pun menelepon Edi, tetangganya yang bekerja jadi ojek pangkalan. Di saat yang sama, Alvin tengah menyumpal mulutnya dengan roti sambil menunggu kedatangan Mang Edi.

Sekarang Alvin jadi gelisah setengah mati akibat bangun kesiangan. Alvin lantas mengecek arloji kesayangannya, menghitung waktu yang masih tersisa sebelum jam masuk kantor.

'Gawat, udah jam segini. Gue pasti bakal kena semprot Pak Bayu, nih! Enggak mungkin gue sampai kantor jam sembilan tepat!' jerit Alvin dalam hati, panik.