Glek!
Alvin menelan ludahnya secara paksa. Tiba-tiba kerongkongannya terasa sangat kering. Firasatnya mulai tidak enak saat melihat mimik wajah Bayu yang sangat serius.
Atasannya itu memang selalu memasang wajah serius, tapi tatapan Bayu saat ini seperti kilatan mata hewan buas yang siap menerkam mangsanya. Padahal baru beberapa saat lalu Alvin melihat Bayu memberikan tatapan puas kepada Eri.
'Iya, gue tahu kesalahan gue cukup fatal. Tapi gue enggak menyangka Pak Bayu bakal semarah ini. Semoga semprotannya enggak parah-parah amatlah,' harap Alvin yang agak sedikit cemas.
Miran dan Bian hanya bisa berdiri kaku dan saling melempar pandang. Ikut merasakan aura kengerian yang dipancarkan Bayu. Seakan tahu sesuatu yang buruk akan terjadi pada Alvin.
Sedangkan Eri yang sedang berdiri tak jauh dari Miran dan Bian, diam-diam tengah tersenyum puas. 'Biar tahu rasa, lo! Enggak semua orang bisa suka sama lo, Vin!' batinnya.
Kali ini ia merasa menang karena akhirnya bisa melengserkan Alvin yang selama ini dianggapnya hanya sebagai penghalang.
Dalam kondisi kemeja dan rambut yang masih basah oleh keringat, kaki Alvin tetap patuh mengikuti langkah Bayu memasuki lift dan turun ke lantai lima.
Alvin sama sekali tidak punya nyali untuk membuka suara. Bahkan untuk sekadar bertanya pada Bayu pun ia takut.
Berselang beberapa menit, Alvin dan Bayu pun sampai di lantai lima. Mereka berdua pun menyusuri koridor dan berhenti tepat di depan ruang kantor Bayu yang berukuran hampir sepertiga dari luas seluruh lantai lima.
Alvin langsung membukakan pintu untuk Bayu dan mempersilakannya masuk. Setelah itu barulah ia masuk dan kembali menutup pintu.
Begitu memasuki ruangan, Bayu lekas duduk ke kursi putarnya yang nyaman. Alvin dapat melihat jelas dari raut wajah Bayu yang masih nampak keruh. Alvin lagi-lagi reflek menelan ludahnya.
"Coba jelasin kenapa kamu sebagai ketua tim malah terlambat di rapat sepenting ini? Dan walaupun dateng kenapa penampilanmu bisa lusuh sekali? Kamu bikin saya malu, tahu enggak?" Bayu mulai mengeluarkan kata-kata tajamnya.
Alvin sedikit lega karena ucapan yang keluar dari mulut Bayu tidak seseram yang ia duga, sebab sebelumnya Bayu pernah mengucapkan kalimat yang lebih pedas dari ini padanya.
"Ah, itu… Ada alasan personal yang bikin saya terlambat. Terus mobil saya juga sedang ada di bengkel karena semalam saya kecelakaan," jawab Alvin terus terang.
"Kamu kecelakaan? Tapi saya lihat kamu sehat-sehat aja sekarang. Jangan kaya anak kecil kamu bikin banyak alasan! Kamu itu kepala tim, enggak bisa seenaknya dan harus profesional! Jangan bikin alasan enggak masuk akal!"
"Saya sudah bicara sejujur-jujurnya, Pak." Alvin menjawab dengan nada sedikit keras. Ada sedikit amarah mulai bergejolak dalam hati Alvin karena dituduh tidak jujur.
"Ya, sudah. Katakanlah yang kamu bilang itu bener. Lagian udah berlalu juga," tukas Bayu malas. "Omong-omong gimana menurutmu presentasi Eri tadi?"
Alvin tahu kalau Bayu sedang mencoba mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin memperpanjang perdebatan dengannya. Gejolak emosi Alvin pun seketika menurun.
"Menurut saya sudah baik, Pak. Eri ada peningkatan signifikan sekarang. Sebagai atasannya, saya cukup senang." Alvin berusaha menutupi rasa kesalnya dengan menjaga nada bicaranya sebaik mungkin dan menyelipkan senyum kecil pada Bayu.
"Tapi mulai sekarang Eri sudah bukan jadi bagian tim staff pemasaran lagi."
Ekspresi Alvin langsung berubah sesaat setelah mendengar kata-kata Bayu. Ia tidak bisa menutupi rasa terkejutnya.
"Ma-maksud Bapak? Apa Eri tiba-tiba ditransfer ke tim lain tanpa sepengetahuan saya?"
Bayu menggeleng dan berucap dengan tegas, "Bukan ditransfer. Tapi Eri mulai minggu depan jadi general manager menggantikan kamu."
"Ke-kenapa bisa gitu, Pak? Kenapa tiba-tiba Eri yang Cuma staff bisa langsung naik jabatan jadi general manager??" Emosi Alvin yang semula sudah mulai turun kini kembali berkobar-kobar. Saking terbawa emosi, tanpa sadar Alvin membalas dengan nada tinggi.
Namun Bayu sama sekali tidak tersulut oleh balasan Alvin, ia malah mendengus. Dalam dengusannya ada kesan meremehkan. "Ya, karena kamu enggak bisa disiplin padahal peranmu ketua tim. Lagi pula ternyata kerja Eri juga bagus, kok."
Gigi Alvin bergemeletuk karena menahan luapan emosi dalam dirinya. "Tapi kalau caranya seperti itu tidak adil. Saya butuh waktu tiga tahun supaya bisa dapat promosi jadi general manager. Sedangkan Eri dari staff bisa langsung jadi general manager cuma karena satu rapat saja?!"
Bayu mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Awalnya saya juga tidak menaruh harapan besar sama Eri. Malah sempat takut kalau Eri menghancurkan rapat penting hari ini. Tapi ternyata dugaan saya malah salah. Jadi, saya pikir enggak ada salahnya kasih Eri kesempatan naik jabatan."
"Saya cuma melakukan satu kesalahan saja selama bertahun-tahun bekerja di bawah Bapak. Saya selalu melakukan yang terbaik. Tapi kesempatan saya langsung hilang dan dialihkan ke Eri hanya karena saya terlambat. Itu enggak adil, Pak," tolak Alvin dengan kedua tangan yang sudah mengepal kuat.
"Hanya terlambat katamu? Kamu tahu pentingnya rapat hari ini, kan?" Bayu sedikit menyeringai. "Rapat hari ini penting buat masa depan perusahaan. Para investor juga langsung setuju berinvestasi di sini berkat Eri. Setelah rapat hari ini juga saya baru tahu kemampuan Eri bernegosiasi enggak kalah bagusnya sama kamu. Jadi saya kasih dia kesempatan."
"Kalau kemampuan Eri sama bagusnya dengan saya kenapa Bapak bisa langsung angkat dia jadi general manager? Setidaknya berikan kami kesempatan untuk berkompetisi supaya adil. Saya akui kekalahan kalau memang kemampuan Eri lebih baik dari saya. Tapi cara mainnya jangan seperti ini."
Namun, Bayu tetap bersikukuh dengan pendapatnya. Ia menggelengkan kepalanya mantap, tanda permintaan Alvin ditolak. Tangan Alvin yang sudah terkepal sempurna siap memukul wajah Bayu kapan saja.
Semula Alvin berniat ingin menghantam wajah Bayu dengan tangannya. Tapi tiba-tiba akalnya kembali mengambil alih, ia jadi teringat oleh kata-kata Ike yang selalu memintanya untuk terus bersabar agar kebaikan selalu menyertai.
Setelah mengingat nasihat ibunya, seketika emosi Alvin langsung lenyap dan kepalan tangannya langsung melonggar. Meski wajahnya masih menunjukkan kekesalan, tapi Alvin memilih untuk meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun.
Tentu saja Alvin masih sangat marah jika mengingat kembali kata-kata Bayu, tapi ia sadar tidak ada gunanya berdebat dengan atasannya yang super keras kepala itu. Pilihan terbaik adalah mengalah dan berbicara empat mata dengan Eri.
Lalu Alvin memutuskan pergi ke tempat kerjanya yang ada di lantai sepuluh, karena Eri juga pasti sedang ada di sana.
Saat Alvin sedang berjalan di koridor lantai lima, seluruh staff yang berpapasan dengannya memasang tatapan penuh penilaian. Mereka melihat Alvin dari atas kepala hingga mata kaki dengan keheranan, kaget, sebagian lagi tidak menyembunyikan ekspresi jijik.
Mereka semua cukup terkejut karena baru pertama kali melihat Alvin berpenampilan lusuh—kemeja basah penuh keringat dan wajah kusut dengan mata panda yang terlihat jelas.
Selama ini Alvin memiliki popularitas terutama di kalangan staf wanita sebagai ketua tim pemasaran yang tampan dan selalu tampil rapi nan wangi. Namun, karena rentetan kejadian yang tak menyenangkan, Alvin sekarang jadi terlihat kuyu tak terawat.
Sadar dirinya telah menjadi pusat perhatian, akhirnya Alvin naik ke lantai sepuluh dengan tenang melalui tangga darurat yang jarang dilalui oleh staff lain.
Sembari meniti anak tangga satu demi satu, Alvin bergumam kesal, "Awas aja kalau ternyata Eri dan Bayu sialan itu sengaja kerja sama buat depak gue."