Pagi ini Alvin harus memimpin timnya untuk presentasi proyek miliknya di depan kepala perusahaan beserta para investor. Jadi Alvin harus segera tiba di kantor sebelum rapat dimulai pada jam sembilan tepat.
Alvin sudah bisa merasakan keringat dingin mengalir deras di tubuhnya. Lama-kelamaan kemejanya yang semula rapi dan wangi jadi basah oleh keringat.
Seolah memastikan penglihatannya tidak salah, berkali-kali Alvin mengecek jam tangannya yang tetap menunjukkan pukul 08.37.
'Rumah gue sama kantor jauh, pasti bakal telat gue. Kalau sampai terlambat rapat, gimana nasib tim gue. Mana yang ngerti ide rencana pemasarannya cuma gue sama Bian. Duh, Bian juga enggak pinter ngomong lagi, kalau sampai presentasinya ancur. matilah gue,' ujar Alvin dalam hati.
Bayangan skenario buruk terus berkecamuk di pikiran Alvin. Ia tidak bisa membayangkan presentasi hari ini jadi kacau begitu saja akibat ketidakhadirannya.
Padahal proyek yang akan dipresentasikannya hari ini, sudah dikerjakan dengan sungguh-sungguh selama sebulan penuh. Tidak mungkin ia membiarkan presentasinya hancur begitu saja. Kerja kerasnya akan menjadi sia-sia.
'Plislah gimana nasib gue. Padahal kalau presentasi hari ini berhasil, jabatan gue bisa naik jadi general manager.' Alvin tidak henti-hentinya merutuk di dalam hati.
Sambil menunggu Edi yang tidak kunjung datang, Alvin tidak berhenti merutuki dirinya sendiri karena bangun kesiangan.
Roti yang sedang ia kunyah bahkan jadi terasa tidak nikmat lagi di lidah karena perasaan gelisah yang menyelimutinya sekarang.
Alvin sudah tidak tahan menunggu lebih lama karena hanya membuang waktunya yang berharga. Tanpa berpamitan terlebih dulu pada ibunya, Alvin langsung keluar rumah menuju depan gang dengan berlari kencang.
Tidak peduli meski kemejanya akan jadi basah kuyup akibat mandi keringat, Alvin terus berlari secepat yang ia bisa.
Setelah sampai di depan gang rumahnya, tanpa membuang waktu, Alvin langsung duduk di jok salah satu ojek pangkalan yang pertama kali ada di depan matanya.
Alvin meminta tukang ojek itu mengantarnya ke kantor yang berjarak 45 menit dari rumahnya dengan kecepatan tinggi.
Lalu, di tengah perjalanan menuju kantor, ponsel yang terselip di saku Alvin terus bergetar. Alvin sudah menduga kalau yang meneleponnya berkali-kali adalah Bian, asisten kepercayaannya yang pagi ini akan ikut presentasi bersama.
Namun karena sudah panik diburu oleh waktu, ditambah lagi sedang naik motor, Alvin memilih mengabaikan panggilan-panggilan itu.
Sekali lagi Alvin kembali menengok jam tangan yang tersemat di tangannya. Jantung Alvin hampir copot seperti sedang menaiki wahana roller coster, karena sekarang jarum jam sudah nyaris menunjukkan pukul sembilan pagi. Presentasi pentingnya hari ini akan segera mulai tapi ia masih jauh dari kantor.
Keringat di badan Alvin pun jadi makin mengucur deras. Karena sudah terhimpit oleh waktu, Alvin menepuk-nepuk pundak pengemudi ojek dan meminta agar mempercepat laju motornya lagi.
Supaya permintaannya dikabulkan, Alvin mengiming-imingi sang pengemudi ojek dengan menambah upah tiga kali lipat yang kemudian disanggupi tanpa pikir panjang.
Sama seperti yang dirasakan oleh Alvin. Tiga bawahan Alvin, yakni Bian, Eri, dan Miran juga sedang panik menunggu Alvin yang sedari tadi tak menunjukkan kehadirannya.
Mereka bertiga sudah siap di kantor dan sekarang mulai cemas menunggu kedatangan Alvin.
Apalagi Alvin biasanya selalu datang tepat waktu. Bian, Eri, dan Miran langsung kalang kabut ketika Alvin belum juga datang di menit-menit kritis menjelang rapat.
Terlebih Bian, sekarang pria gempal itu panik bukan main. Ia sudah berusaha menelepon Alvin berkali-kali tapi tidak kunjung ada jawaban.
"Mir, gimana ini? Pak Alvin enggak angkat-angkat teleponnya. Dia enggak kenapa-kenapa, kan?" Bian bertanya pada juniornya, Miran, yang sudah sama-sama pucat dan lemas.
Namun Miran hanya menanggapinya dengan gelengan pelan, tidak memiliki cukup tenaga untuk merespon saking paniknya.
"Mana hampir semua investornya udah pada dateng. Bentar lagi pasti Pak Bayu juga bakal dateng dan rapatnya mulai. Gimana kalau Pak Alvin belum dateng juga? Kak Bian bisa gantiin Pak Alvin, kan?" bisik Miran pada Bian.
Dari ketiganya, hanya Bian-lah yang bisa diandalkan untuk presentasi. Sebab, ia adalah asisten yang menjadi tangan kanan Alvin.
Selama sebulan belakangan, Bian selalu ikut lembur bersama Alvin untuk mengerjakan proyek pemasaran yang akan dipresentasikan pagi ini di depan para calon investor dan kepala perusahaan mereka, Bayu.
"A-aku… Kayanya e-e-engak bisa, Mir. Sekarang aja aku udah mules banget. Keringet dingin pula saking gugupnya," tolak Bian. Ia tampak memegangi perut dengan salah satu tangannya. Butiran-butiran keringat terlihat jelas memenuhi wajah bulatnya.
Bian adalah seorang yang kompeten dalam bekerja tapi kekurangannya sangat pemalu dan kikuk. Jika berdiri di hadapan orang banyak, Bian sangat mudah gugup dan sering salah bicara.
Itulah yang membuat Bian selalu bersikeras menolak setiap permintaan Alvin yang menyuruhnya untuk presentasi. Bian sangat takut kalau nanti membuat kesalahan fatal, apalagi masa depan perusahaan ada di tangannya.
Miran yang sudah putus asa pun terus menatap Bian dengan sorot mata memohon. Satu-satunya harapan tim mereka memang hanya Bian.
"Kak Bian cuma satu-satunya harapan kita sekarang. Aku sama Pak Eri enggak ngerti secara rinci soal proyek ini. Kalau ada salah-salah gimana?" balas Miran semakin panik. "Masalahnya masa depan perusahaan ditentuin sekarang. Yang presentasi harus yang ahli, Kak."
Namun Bian tetap bergeming. Ia membalas permohonan Miran dengan gelengan kepala pelan sekali.
Miran menghembuskan napas dalam-dalam. Tidak jadi memaksa Bian setelah melihat kondisi seniornya yang sudah terserang panik cukup parah.
"Kalau gitu aku coba telepon Pak Alvin lagi, deh. Semoga Pak Alvin enggak kenapa-kenapa, soalnya enggak biasanya telat apalagi sampai ngilang enggak ada kabar kaya gini," tukas Miran yang kemudian mengeluarkan ponsel dari saku roknya.
Namun usaha Miran ditahan oleh Eri. Pria yang sedari tadi hanya diam menyaksikan pembicaraan Bian dan Miran akhirnya mulai bergerak.
Eri mengisyaratkan agar Miran mengurungkan niatnya untuk menelepon Alvin. Permintaan Eri langsung dituruti Miran karena sifat naturalnya yang sangat patuh pada senior.
"Kalau gitu, gue aja yang presentasi. Mumpung masih ada waktu, gue mau dalamin dulu materi-materi rapatnya. Semoga Pak Bayu masih agak lama datengnya," tukas Eri ketus.
Selain nada bicaranya yang ketus, Eri juga mendecakkan lidahnya dan memandangi Bian dengan sinis. Merasa gregetan pada Bian yang dianggapnya laki-laki lemah dan cepat menyerah. Dengan sedikit kasar, Eri merebut kertas-kertas yang sudah diarsip rapi dari tangan Bian.
"Pak Eri bisa?" tanya Miran cemas. Miran sebenarnya tidak bermaksud menyinggung, tapi hati Eri langsung panas karena merasa Miran baru saja meremehkan kemampuannya.
Tidak bisa menyembunyikan kekesalannya, Eri menjawab dengan nada ketus dan sorot mata kesal. "Gue lebih senior daripada lo dan Bian, masa gini doang enggak bisa. Udah, daripada lo bisanya cuma cemas doang, mending sekarang bagiin materi rapatnya aja ke orang-orang investor."
Meski cukup terkejut terkena semprotan Eri, Miran tetap menuruti perintah rekan kerjanya daripada membuat keributan sebelum rapat.
Kemudian Miran membagikan kertas materi presentasi pada para investor satu-persatu. Sementara itu, Eri sibuk memahami materi presentasi dan Bian masih terpaku dengan rasa gugup serta mulas yang menyergapnya tiba-tiba.
Tepat setelah Miran selesai membagikan materi rapat, Bayu datang memasuki ruangan. Ia lekas duduk di kursi kosong yang khusus disediakan untuknya. Tanpa membuang waktu lebih lama, Bayu langsung membuka rapat dan suasana ruangan seketika hening.
Kemudian Bayu mempersilakan pada tim pemasaran untuk mulai mempresentasikan proyek baru perusahaan pada para investor.
Namun, Bayu reflek menaikkan kedua alisnya begitu menyadari Alvin tidak hadir di antara tim pemasaran yang hendak presentasi.
"Ke mana Alvin? Kok dia malah enggak dateng?" bisik Bayu pada Eri ketika pria itu baru saja pindah tempat duduk tepat di sampingnya untuk presentasi.
"Saya kurang tahu, Pak. Dari tadi kami sudah coba buat kontak Pak Alvin, tapi tidak ada respon. Jadi terpaksa kami presentasi tanpa Pak Alvin," jawab Eri sesopan mungkin.
"Terus yang mau presentasi sekarang kamu? Bukannya harusnya Bian?" Bayu kembali bertanya pada Eri tanpa menyembunyikan ekspresinya yang terkesan meremehkan.
Rahang Eri mulai mengeras. Tapi ia masih menahan diri karena sedang berbicara dengan atasan tertinggi di perusahaannya. "Maaf, Pak Bayu, tapi Pak Bian sendiri bilang tidak bisa presentasi karena kondisinya kurang baik, Jadi saya yang menggantikannya."
Bayu manggut-manggut. "Beneran bisa, kan? Ingat, jangan sampai buat kesalahan sekecil apapun. Masa depan perusahaan ada di tanganmu. Kalau kamu berhasil meyakinkan para investor, saya langsung angkat kamu jadi general manager menggantikan Alvin. Tapi kalau enggak, jangan mimpi bisa naik jabatan kaya yang kamu perjuangin selama ini. Ngerti?" ujar Bayu pelan tapi tegas, hampir terdengar seperti ancaman.
Mendengar itu Eri menyeringai tipis. Semangat dalam dirinya menyala-nyala kuat. Eri sama sekali tidak menganggap kata-kata Bayu barusan sebagai ancaman. Malahan ia menganggapnya sebagai kesempatan emas.
Padahal awalnya gue mau sengaja jelek-jelekin presentasinya biar Alvin diturunin jabatannya. Tapi kalau gini ceritanya, gue bakal bagus-bagusin presentasinya biar gue langsung naik jabatan. Eri menyembunyikan perasaan senangnya dalam hati.