Meski sudah tahu kalau dirinya pasti akan terlambat hadir, Alvin masih terus optimis bisa mengejar ketertinggalannya dan ikut menyelesaikan presentasi. Ia juga percaya kalau Bian bisa menggantikan posisinya sebagai ketua tim untuk sementara waktu.
Setelah berjuang mati-matian mengejar waktu, akhirnya Alvin sampai juga di gedung kantornya yang berlantai 30. Walau sedikit berat, Alvin menepati perkataannya dengan memberikan sang tukang ojek upah sebanyak tiga kali lipat dari harga normal.
Tanpa menghiraukan ucapan-ucapan sok manis dari tukang ojek, Alvin segera melesat ke ruang rapat yang ada di lantai 20 dengan menaiki tangga darurat.
Kemeja Alvin sekarang benar-benar basah oleh keringat. Tapi Alvin sudah benar-benar tidak peduli pada penampilannya yang seperti buronan polisi, yang terpenting baginya saat ini adalah menghadiri rapat. Sebab, masa depan pekerjaannya akan ditentukan pada rapat hari ini.
Ketika Alvin menginjakkan anak tangga terakhir di lantai 20, ia mulai merasakan kedua kakinya sangat lelah seperti nyaris patah. Namun ia menggeleng-gelengkan kepalanya kuat karena teringat kembali oleh motivasinya.
'Masa segini aja langsung nyerah. Kaki capek enggak masalah. Masa depan lebih penting!' ucap hati kecil Alvin yang mencoba menamparnya. Seketika semangat Alvin kembali berkobar.
Langkah kaki Alvin yang sempat terhenti pun kembali melesat, ia segera menyusuri ruangan rapat yang ada di paling ujung koridor.
Saat Alvin sudah berdiri tepat di depan pintu ruang rapat, tiba-tiba perasaan gelisah menghinggapi lagi. 'Apa enggak apa-apa aku dateng telat dengan penampilan kaya gini? Malu-maluin enggak , ya?' pikirnya.
Meski kekhawatiran berkecamuk dalam pikirannya, akhirnya Alvin tetap memutuskan untuk masuk ke dalam ruang rapat. Buku-buku tangannya dibenturkan pada pintu sebanyak dua kali. Lalu tangannya membuka kenop pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan.
Begitu Alvin memasuki ruangan, seluruh orang yang ada di ruang rapat menyematkan pandangan padanya. Tak terkecuali Bayu yang memberikan pandangan penuh penilaian.
Hanya dengan melihat sekilas, Alvin tahu ada rasa ketidaksukaan pada pandangan Bayu terhadapnya.
'Mau gimana lagi, gue emang salah udah telat di rapat penting. Apalagi gue dateng acak-acakan gini. Tapi pura-pura enggak tahu ajalah. Fokus ke presentasinya.' Alvin berusaha untuk tetap tenang.
Tanpa mempedulikan pandangan-pandangan orang lain, kaki Alvin terus melangkah menuju kursi kosong di sebelah kiri Miran.
Ketika Alvin baru saja duduk, Miran yang sedari tadi sudah memasang wajah tegang langsung berbisik pada Alvin, "Pak Alvin kenapa terlambat? Tadi kita panik banget. Kak Bian juga enggak mau presentasi karena gugup. Akhirnya Pak Eri yang gantiin presentasi."
Dahi Alvin reflek berkerut sewaktu mendengar perkataan juniornya. "Tapi kenapa tiba-tiba jadi Eri yang presentasi? Dia udah ngerti proyeknya emang? Kemarin aja gue ajakin ngerjain proyek enggak mau, sekarang malah dia yang tampil," gerutu Alvin.
"Sejauh ini presentasinya lancar, Pak. Tadi sebelum rapat mulai, Pak Eri sempet baca-baca materinya dari Bian. Kebetulan Pak Bayu juga terlambat 10 menit, jadi Pak Eri dapet waktu buat baca materi," balas Miran. "Sebenernya saya agak ragu Pak Eri yang maju, tapi enggak ada pilihan lagi. Pak Bayu juga kayanya enggak keberatan."
Alvin sesaat melempar pandang pada Eri yang masih presentasi dengan penuh percaya diri. "Gue harap dia enggak ngacauin presentasinya. Kalau enggak tim kita bisa ancur."
Miran hanya mengangguk tanpa membalas apa-apa. Fokusnya pada rapat jadi teralih pada kemeja Alvin yang sudah basah kuyup. "Anu… Pak Alvin… Bapak enggak mau ganti kemeja? Kemeja Bapak basah banget. Kayanya lebih baik Bapak ganti aja," tukas Miran hati-hati.
"Iya, gue tahu, kok. Tadi ada banyak kejadian makanya kemeja gue sampai basah gini. Setelah urusan rapat sama Pak Bayu selesai. Nanti gue beli kemeja di mall depan kantor, deh," pungkas Alvin. Diikuti dengan jari telunjuknya ditempatkan di depan hidung, mengisyaratkan Miran tidak perlu membalas perkataannya dan harus kembali menyimak isi rapat. Miran pun menurut.
Alvin fokus menyimak Eri mempresentasikan proyek yang sudah ia kerjakan bersama Bian. Saat menyimak, sesekali mata Alvin melihat ke arah Bian yang duduk di sebelah kanan Miran.
Bian terlihat sangat tegang dan keringat tampak terus mengalir di wajahnya meski ruangan rapat mereka ber-AC. 'Pasti Bian lagi gugup banget sampe keringetan kaya gitu. Maafin gue, ya, Bian. Pasti lo panik banget gara-gara gue telat,' ucap Alvin tulus dari dalam hati seolah-olah Bian bisa mendengar seluruh perkataan batinnya.
Alvin tidak melepaskan pandangannya dari Eri selama presentasi. Dari dalam hatinya, Alvin mengakui kalau presentasi Eri semakin baik. Alvin juga kembali mengingat performa kerja Eri selama setahun belakangan yang makin meningkat meskipun ia kerap menolak jika diberi tanggung jawab proyek besar.
'Seharusnya dari kemarin-kemarin kerja lo bisa sebagus ini biar bisa dapet promosi,' pikir Alvin yang menaruh sedikit simpati pada Eri.
Keduanya sudah cukup lama menjadi kawan kerja, karena mereka mulai bergabung ke perusahaan di tahun yang sama. Tapi karena etos kerja Alvin jauh lebih baik daripada Eri, dalam beberapa tahun saja Alvin sudah meraih banyak perhatian atasan dan bisa menjadi ketua tim pemasaran.
Tak beberapa lama, Eri berhasil menyelesaikan presentasinya dengan baik. Para investor yang menghadiri rapat dan Bayu pun merasa terkesan dengan cara presentasi Eri. Berkat itulah para investor sepakat untuk menaruh lebih banyak modal pada perusahaan dan hasil rapat berakhir memuaskan.
Setelah rapat selesai dan para investor mulai meninggalkan ruangan, di dalam ruangan hanya tersisa Alvin, Bayu, Eri, Miran, dan Bian yang masih tetap tinggal. Bayu tak henti merekahkan senyum senang sekaligus bangga pada Eri untuk pertama kalinya.
"Nah, gitu dong presentasinya. Bagus dan kelihatan menjanjikan. Tadi investor langsung setuju gelontorin modal buat kita tanpa pikir panjang," ujar Bayu terkekeh puas. "Makasih, ya, Eri. Sori tadi sempet ngeraguin kamu. Perusahaan berhutang sama kamu."
"Ya, kan, saya juga harus memberikan kerja yang terbaik buat perusahaan, Pak," balas Eri yang tidak bisa menutupi lagi rasa senangnya karena dipuji oleh Bayu.
Tapi ketika Bayu ganti menatap Alvin, sorot matanya langsung berubah tajam. Meski tidak diucapkan secara lisan, Alvin tahu kalau atasannya itu menyimpan kemarahan padanya. Makanya Alvin memilih untuk tetap diam.
"Terus, ketua timnya kenapa malah enggak disiplin di waktu genting begini?" serang Bayu pada Alvin sambil terus menatap Alvin dengan tajam.
"Ma-maaf, Pak. Saya melakukan kesalahan fatal karena beberapa alasan pribadi. Maaf kalau urusan pribadi saya jadi mengganggu profesionalitas kerja di kantor," papar Alvin sopan.
"Jelaskan di kantor saya." Dengan tangannya Bayu memberikan isyarat pada Alvin untuk mengikuti langkahnya menuju ruangannya. Alvin pun menurut tanpa penolakan.