Chereads / RE-START / Chapter 4 - Accident

Chapter 4 - Accident

Kepala Alvin jadi terasa berat akibat terlalu keras berpikir. Ia bisa merasakan otot di tengkuknya mulai menegang. Seperti yang biasa dirasakannya ketika sedang stres dan banyak pikiran.

"Ah, udahlah. Sekarang pulang dulu aja. Kepala gue udah enggak bisa mikir," keluh Alvin. Tangan kanannya lekas memutar kunci mobil dan mesinnya pun menyala. Ia segera melajukan mobilnya meninggalkan lahan parkir.

Alvin tidak menikmati perjalanan pulangnya. Kata-kata Jena beberapa saat lalu masih bercokol di pikirannya. Nyatanya lamaran Jena sangat mengganggu pikiran Alvin sampai-sampai ia kehilangan konsentrasi waktu menyetir.

Tanpa disadari terdengar suara tabrakan keras. Bagian depan kanan mobil Alvin tidak sengaja membentur beton pembatas jalan. Untung saja mobil-mobil yang ada di belakangnya bisa mengerem di waktu yang tepat.

Alvin masih belum sepenuhnya sadar dari tabrakan tunggal itu, ia tetap bergeming di kursi kemudi. Matanya menatap lurus ke depan dengan sorot mata kosong, sementara kedua tangannya masih memegang setir dengan erat.

Sampai akhirnya ada seorang pria paruh baya memakai kaos oblong warna hitam yang sudah mulai pudar. Ia datang dan mengetuk-ngetuk jendela mobil Alvin. Memintanya untuk segera keluar dari mobil.

Mematuhi permintaan pria itu, Alvin pun segera keluar. Barulah ia menyadari kalau sudah banyak orang berkeliling di sekitar mobilnya. Raut wajah orang-orang yang mengelilingi mobil Alvin tampak penasaran, terkejut, sekaligus khawatir.

"Masnya enggak apa-apa, kan?" tanya pria berkaos hitam itu. Alvin yang masih tampak syok hanya menggeleng dengan raut wajah kebingungan. Persis seperti orang linglung.

"Udah, udah. Sekarang mobilnya dipinggirin dulu. Biar enggak ngehalangin kendaraan lain. Nanti makin macet," tegur pria lain yang tampaknya seorang pedagang kaki lima.

Tangan Alvin mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Bergegas menelepon asuransi mobil yang kebetulan menyediakan jasa perbaikan di bengkel. Alvin meminta mobil derek untuk segera datang dan membawa pergi mobilnya yang sudah ringsek.

Sembari menunggu mobil derek yang diminta sampai, Alvin duduk-duduk di pinggir trotoar. Dikelilingi oleh beberapa pria paruh baya yang tidak ia kenal dan seorang polisi yang baru saja datang.

Polisi itu menginterogasi Alvin dan memintanya ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Polisi menduga Alvin tengah menyetir dibawah pengaruh alkohol. Selain itu, Alvin juga harus membuat surat keterangan kecelakaan lalu lintas.

Tidak berselang waktu lama, mobil derek yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Setelah mobilnya dibawa ke bengkel, Alvin pergi ke kantor polisi terdekat dengan menaiki ojek pangkalan yang kebetulan tidak jauh darinya.

Setelah selesai mengurus surat keterangan kecelakaan di kantor polisi dan menjalani pemeriksaan yang memakan waktu cukup lama, ponsel Alvin tiba-tiba berdering. Alvin melihat nama kontak 'Ibu' terpapampang di ponselnya.

"Aduh, Ibu udah nelpon pula. Kalau sampai tahu gue pulang telat gara-gara kecelakaan pasti Ibu bakal khawatir banget," tukas Alvin yang mulai cemas.

Dibanding mengabaikan panggilan dari ibunya, Alvin memilih menjawab meski dengan perasaan sedikit takut-takut. "Halo, Bu."

Ike bertanya di seberang telepon dengan nada cemas sekaligus takut yang tak bisa disembunyikan lagi. "Ke mana aja kamu? Udah jam setengah dua belas tapi belum pulang-pulang?"

Keringat dingin bercucuran hingga membasahi jas yang dikenakan Alvin. Ia sedang mencari-cari alasan logis yang bisa dijadikan alasan agar ibunya tidak khawatir. "Anu, Bu… Alvin…"

Tapi ketika hendak menjawab, kata-kata Alvin langsung disela oleh Ike. "Jangan-jangan ada sesuatu, ya? Perasaan Ibu, kok, enggak enak dari tadi, ada apa?"

'Dor! Feeling Ibu bener.' Alvin membatin dan perasaannya jadi semakin tidak karuan. Bimbang antara harus terus terang atau tetap menyembunyikan kenyataan.

"Alvin tadi habis lembur, soalnya ada rapat dadakan," jawab Alvin diselingi batuk-batuk kecil. 'Gue enggak sepenuhnya bohong, kok,' batinnya.

Lalu ia melanjutkan, "Terus sekarang lagi di rumah temen, istirahat bentar. Mobil Alvin tadi siang sempet mogok di jalan. Jadi capek harus ngurus ke sana-kemari, makanya numpang istirahat bentar."

'Maafin aku, Bu. Terpaksa harus bohong,' ratap Alvin dalam hati. Namun, setelah mendengar hembusan napas lega dari seberang telepon, membuat Alvin meyakinkan dirinya sendiri bahwa kebohongan yang ia buat tidak sepenuhnya salah.

"Syukurlah kalau gitu. Tumben banget belum pulang jam sampai jam segini. Biasanya ngabarin. Kirain Ibu terjadi sesuatu sama kamu," balas Ike. "Maaf, ya, Ibu semakin tua jadi khawatiran gini."

"Iya, enggak apa-apa, Bu. Alvin juga minta maaf lupa ngabarin." Setelah mendapat balasan 'ya' dari Ike, Alvin menutup teleponnya. Sedikit lega dan sedikit merasa bersalah karena telah berbohong pada Ike.

Hanya berselang beberapa detik setelah menutup telepon dari Ike, nama Jena tampil di layar ponsel Alvin.

Alvin masih pasif. Matanya terus terpaku pada nama Jena yang terpampang di layar. Tangannya hanya diam memegang ponsel. Belum memutuskan akan menjawab panggilan sahabatnya atau hanya mendiamkannya.

'Plis jangan sekarang. Gue belum siap bicara dulu sama lo, Jen. Perasaan gue masih kacau sekarang,' batin Alvin gusar.

Di sisi lain, Jena yang sedang menempelkan ponsel di kupingnya, menunggu panggilan yang tidak kunjung dijawab dengan gelisah. "Duh, Alvin kenapa enggak angkat? Apa dia marah, ya, gara-gara tadi? Firasat gue kenapa jadi enggak enak gini. Padahal gue mau minta maaf."

Sejak tadi Jena dibayang-bayangi kegelisahan. Hati kecilnya merasa takut kalau lamarannya beberapa waktu lalu akan membebani Alvin.

Jena memiliki ketakutan kalau Alvin akan berubah sikap padanya karena lamaran itu. Tentu saja Jena tidak ingin ketakutannya sampai terjadi.

Sekarang Jena benar-benar dalam keadaan yang terhimpit. Jika ia melewatkan kesempatan menyatakan perasaan pada Alvin, mungkin saja kesempatan itu tidak akan pernah ada di masa depan.

Jena tidak ingin menyerahkan masa depannya begitu saja dengan pria lain. Ia tidak bisa membayangkan akan berakhir menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Sebab, laki-laki yang ia cintai sejak dulu hanya satu, yaitu Alvin.

Meski sudah meyakinkan diri mati-matian untuk menyatakan cintanya, sekarang Jena malah diselimuti perasaan gelisah sekaligus merasa bersalah.

Jena tahu betul trauma masa kecil yang dialami Alvin sangat berat dan trauma itulah yang membuat Alvin melajang hingga detik ini. Namun, ia malah memaksa Alvin untuk menikahinya demi menyelamatkan masa depannya. 'Maaf, gue egois, Vin,' ratap Jena dalam hati.

Tapi Jena menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. Berusaha mengenyahkan perasaan bersalah itu. 'Apa yang gue lakuin udah bener, kok. Demi masa depan gue. Sekarang gue enggak boleh sampai kelihatan gelisah dan lemah begini. Tunjukkin ke Alvin kalau gue baik-baik aja,' tekad Jena dalam hati.

Bukan Jena namanya kalau tidak pantang menyerah. Meskipun sudah tahu panggilan sebelumnya tidak diangkat, wanita itu kembali menelepon Alvin.

"Halo." Akhirnya suara berat yang sangat dikenal Jena terdengar. Senyuman tipis pun tersungging di bibir cantik Jena. "Ke mana aja lo? Kok, telepon gue enggak diangkat. Lo udah sampai rumah, kan?"

Alvin tidak merespon apa-apa tapi hanya terbatuk kecil. Jena yang sudah lama berkawan dengannya menangkap basah sinyal itu. Ia paham kalau Alvin akan batuk-batuk jika sedang gugup atau sedang menyembunyikan sesuatu.

"Lo kenapa? Ada apa? Pasti ada sesuatu, kan??!" cerocos Jena mulai bersikap seperti biasanya.

Mendengar nada bicara Jena yang seolah tidak terjadi apa-apa, dada Alvin mendadak terasa panas. Bukannya merasa lega dikhawatirkan oleh Jena, Alvin malah merasa tidak nyaman.

Batinnya bergejolak. 'Kenapa Jena bisa-bisanya enggak ngerasa aneh setelah kejadian tadi di restoran? Lamaran lo ngacak-ngacak hati dan pikiran gue tahu!'

Namun pikiran itu cepat-cepat disingkirkan. Alvin berusaha tidak terlalu emosional dan menjawab rentetan pertanyaan Jena dengan nada sedatar mungkin. "Enggak ada apa-apa, kok."

"Yakin? Tadi lo sempet batuk-batuk soalnya. Biasanya kalau lo batuk-batuk…" Tapi Alvin langsung memotong perkataan Jena dengan cukup ketus. "Udah gue bilang enggak ada apa-apa, kok. Udah, deh."

Jena cukup terkejut dengan respon Alvin yang keras. 'Alvin kayaknya enggak nyaman gara-gara kejadian tadi. Gue harus gimana, nih? Gawat.' Jena jadi cemas sendiri setelah sadar akan sikap Alvin yang berubah dingin terhadapnya.

Tanpa sadar Jena mengelupas paksa cat kuku warna merah maroon-nya yang baru dipoles pagi tadi. Kuku-kuku jarinya saling beradu tanpa henti. Menandakan bahwa Jena sedang ada di fase gelisah.

Jena sudah tidak peduli dengan tampilan kukunya yang berantakan. Sekarang yang ada di pikirannya hanya perubahan sikap Alvin yang mendadak jadi dingin terhadapnya.

"Vin… Lo enggak harus jawab pertanyaan tadi, kok. Maaf kalau gue bebanin lo sama pertanyaan tadi," lalu Jena menghirup napas dalam-dalam dan melanjutkan, "tapi kalau semisal lo emang keberatan sama permintaan gue—"

"Stop." Alvin berkata dengan tegas. Tak disadari rahangnya sudah mengeras. "Jangan bicarain soal itu sekarang. Gue bakal jawab sesuai tenggat waktu yang lo kasih. Tenang aja, gue pasti bakal kasih jawaban."

Saat Jena hendak menjawab lagi, tiba-tiba sambungan telepon sudah terputus. Alvin langsung memutus secara sepihak.

Jena sebenarnya masih ingin mengutarakan sesuatu dan ia sempat berniat menelepon Alvin kembali. Namun setelah mempertimbangkannya lagi, ia mengurungkan niat itu. Jena pun terkulai lemas di kasurnya yang empuk.

"Gue harus siap kalau seandainya Alvin nolak. Mau gimana pun gue enggak bisa maksa perasaan dia ke gue," kata Jena lirih. Tanpa sadar setetes air mata sudah mengalir di pipi kirinya.