Chereads / RE-START / Chapter 2 - Trauma

Chapter 2 - Trauma

Setelah berusaha setengah mati memberanikan diri, akhirnya Jena mengungkapkan kata-kata yang sangat sulit terucap.

"Lo mau nikah sama gue?" tanya Jena cepat.

Untuk kali ini Alvin benar-benar terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka akan dilamar oleh perempuan yang sudah dikenalnya sejak masa sekolah.

Alvin hanya bungkam dan menatap Jena dengan tatapan tidak percaya. Masih berusaha mencerna kata demi kata yang dilontarkan Jena.

Tidak kunjung mendapat respon dari Alvin yang masih sangat terkejut, Jena buru-buru meralat kata-katanya.

"Ma-maaf kalau bikin lo bingung. Maaf banget. Anggep aja lo enggak pernah denger perkataan gue barusan," kata Jena. Diikuti tawa yang dipaksakan dan suasana canggung yang menyelimuti mereka berdua.

"Lo ada masalah apa Jen kenapa tiba-tiba ngajak gue nikah?" balas Alvin yang akhirnya bisa mengendalikan dirinya lagi dengan cepat.

Jena tidak menjawab pertanyaan Alvin dengan kata-kata. Ia hanya membalasnya dengan tawa kering. Menyadari baru saja bertindak sembrono.

"Pasti ada sesuatu, kan?" tembak Alvin lagi yang masih menuntut jawaban dari Jena.

Tapi hanya terjadi keheningan di antara mereka setelah Jena memilih diam. Keheningan di antara mereka pun pecah karena Jena yang sudah tidak bisa mengendalikan perasaannya tiba-tiba mulai terisak.

Alvin kembali dibuat kaget karena baru malam ini melihat Jena menangis. Bertahun-tahun berteman dengan Jena, wanita itu sama sekali tidak pernah menunjukkan sisinya yang rapuh.

Di matanya, Jena adalah perempuan yang selalu tersenyum dan bersemangat. Sampai-sampai Alvin berpikir Jena tidak pernah sekalipun menangis kecuali saat bayi.

Tapi ketika melihat sahabatnya terisak di depan matanya, Alvin ikut merasa sakit walaupun belum tahu masalah apa yang sedang dilalui oleh Jena.

Alvin pun lekas bangkit dari duduknya dan menyambar tangan Jena. Menarik sahabat perempuannya keluar dari restoran dan melangkah menuju balkon yang suasananya tidak terlalu ramai.

Sesampainya di balkon, tanpa basa-basi Alvin langsung memeluk Jena. "Lo bisa nangis sepuasnya di pelukan gue sampai lo ngerasa baikan," kata Alvin hangat.

Tangisan Jena pun langsung tumpah dalam dekapan Alvin. Dengan sabar, Alvin mengusap-usap kepala Jena dengan lembut. Berusaha membuat Jena nyaman dan sebisa mungkin menenangkannya.

Setelah menunggu beberapa saat sampai tangisan Jena mereda, Alvin mulai melepaskan pelukannya.

"Kalau lo udah mulai tenangan dan siap buat cerita, gue bakal dengerin dan bantu sebisa gue," ujar Alvin sambil mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Lalu memberikannya pada Jena.

Sehabis menyeka air matanya yang hampir membasahi seluruh pipinya, Jena mulai bisa menenangkan diri. Saat itu juga Jena meluapkan pikiran yang sedari tadi membuatnya risau pada Alvin.

"Papa berencana mau nikahin gue sama anak partner bisnisnya," ucap Jena lirih. Kepalanya ditundukkan sambil menatap jemarinya yang masih menggenggam sapu tangan Alvin.

Seketika Alvin langsung menoleh pada Jena begitu mendengar pernyataan Jena barusan. Saking tidak percaya akan apa yang ia dengar, Alvin memandangi sahabatnya dengan lamat-lamat. Kode meminta penjelasan lebih jauh.

Meski tanpa ucapan, Jena tahu kemauan Alvin. Ia pun langsung menimpali lagi, "Umur kita, kan, udah 34, Vin. Apalagi gue cewek, pasti Papa enggak bakal biarin gue jadi perawan tua. Padahal gue juga enggak ada niatan nikah sama sekali."

"Emang lo enggak bisa nolak? Lo, kan, anaknya keras kepala banget," sahut Alvin heran.

Jena menggelengkan kepalanya pelan. "Kali ini enggak bisa. Kalau gue sampai bantah, gue bakal enggak dianggep anak lagi. Gue enggak bisa apa-apa lagi, Vin."

"Terus kenapa lo tiba-tiba ngajak gue nikah?"

"Kalau Papa pengin jodohin gue sama laki-laki itu karena takut gue bakal jadi perawan tua dan enggak ada keturunan, gue seharusnya dibolehin nikah sama laki-laki yang gue cinta," Jena menghirup napas dalam, "gue pengennya nikah sama lo."

Alvin diam tidak menanggapi. Otaknya masih sibuk mencerna kata-kata Jena barusan yang dianggapnya sangat tak masuk akal.

Alvin tahu selalu ada tempat spesial untuk Jena di hatinya. Sejak dulu ia memang menyukai Jena lebih dari teman.

Namun, perasaan itu dikuburnya dalam-dalam karena Alvin sudah bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun sampai akhir hayatnya akibat memiliki luka batin.

Lamaran Jena tentu membuatnya gundah. Jelas ia tidak akan rela membiarkan Jena, perempuan yang selama ini selalu bersamanya, berada dalam rengkuhan pria lain. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa menjalin hubungan spesial dengan seorang wanita karena trauma masa kecilnya belum sembuh.

Trauma itu sangat membekas di otak Alvin sampai-sampai membuatnya bertekad untuk tidak akan menjalin hubungan dengan siapapun. Bahkan dengan Jena sekalipun.

"Emang enggak bisa kita kaya biasanya? Lo enggak perlu nikah sama laki-laki itu. Tapi gue janji bakal jagain lo, kok. Seumur hidup gue. Papa lo enggak perlu khawatir," ucap Alvin.

Lagi-lagi Jena menggelengkan kepalanya. "Masalahnya bukan itu. Papa pengen cucu buat nerusin perusahaan Papa," jawab Jena. "Lo bener-bener enggak bisa nikah? Demi nyelametin gue?"

Alvin menghirup napas dalam-dalam. Wajahnya terlihat menahan kesal tapi juga sedih. Alvin menatap Jena, di sana terlihat sorot mata penuh penyesalan dan ia menggelengkan kepalanya dengan berat hati.

"Lo masih trauma gara-gara kejadian orang tua lo?" tanya Jena lagi.

Tidak senang dengan pertanyaan Jena, rahang Alvin mengeras. "Udah gue bilang enggak usah ungkit soal itu. Intinya lo tahu alesan gue sampai enggak mau nikah."

Jena tidak berani membuka suara lagi setelah mendapat jawaban dingin dari Alvin. Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua. Baik Jena dan Alvin tidak ada yang mau membuka suara. Keduanya tertunduk lesu, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tidak tahan dicekik oleh perasaan tidak nyaman, akhirnya Jena pun berdiri dan membuka suara. "Gue enggak punya banyak waktu lagi. Gue masih nunggu jawaban lo sampai besok lusa. Siapa tahu lo berubah pikiran."

Tapi Alvin sama sekali tidak menanggapi perkataan Jena barusan. Berusaha menghindari adu pandang dengan Jena, Alvin pun membuang muka dan memilih menatap kerlipan lampu-lampu kota dari atas ketinggian yang terhampar bagai permadani.

Merasa terus diabaikan oleh Alvin, akhirnya Jena meninggalkan Alvin di balkon tanpa salam perpisahan dan dengan perasaan yang campur aduk. Alvin hanya menatap punggung Jena yang semakin menjauh darinya dalam diam.

Sepeninggalan Jena, tangan Alvin langsung merogoh sekotak rokok dari saku jasnya. Pembicaraannya barusan dengan Jena membuatnya stres.

Kata-kata Jena beberapa saat lalu terputar kembali di otaknya. Ia masih tidak percaya kalau kejadian seperti ini akan terjadi padanya. Salah satu orang paling berharga selain sang ibu akan menjauh dari dirinya.

Alvin tertawa getir. Merasa hidup seolah sedang mempermainkannya. Masih tidak bisa menerima kenyataan kalau ia akan kembali merasakan sakit karena orang yang ia cintai direbut oleh orang lain.

Rasa sakit itu membangkitkan memori masa lalu Alvin. Memori tersuramnya yang terjadi ketika ia masih SMP dan sampai detik ini tidak bisa lepas dari otaknya.

Waktu itu Alvin hendak tidur setelah selesai belajar untuk persiapan UN. Tapi ketika matanya mulai terpejam, ia harus terbangun saat mendengar ada pertengkaran hebat antara ayah dan ibunya.

Itulah pertengkaran hebat kedua orang tuanya yang pertama kali dilihat Alvin. Meski tahu kalau ia tidak pantas menyimak pertengkaran itu, tapi Alvin ingin menguping karena rasa penasarannya yang tinggi.

Dengan sangat hati-hati Alvin membuka pintu kamarnya sepelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara sekecil apapun.

Alvin sengaja menyisakan sedikit celah agar ia bisa mengintip ke luar kamar. Begitu ia melihat pertengkaran ayah dan ibunya, Alvin sangat kaget. Matanya terbelalak waktu melihat sang ayah tidak segan-segan memukul ibunya sampai tersungkur ke lantai.

Tidak hanya itu, sang ayah juga melempari ibunya dengan barang-barang serta memaki-makinya dengan kata-kata tidak pantas.

Alvin yang sangat syok hanya bisa terpaku di tempat. Nyali Alvin juga ciut. Ia tidak berani melerai keduanya karena masih terlalu muda. Tubuh Alvin yang kurus juga tidak akan sepadan melawan sang ayah yang berpawakan besar.

Alvin hanya berdiri kaku sambil terus menyaksikan seluruh pertengkaran kedua orang tuanya yang berakhir dengan sang ayah pergi meninggalkan rumah. Dan di malam itulah kali terakhir Alvin melihat sang ayah menginjakkan kaki di rumah.

Meski memori soal pertengkaran ayah dan ibunya masih segar hingga di usianya yang sudah dewasa, sampai sekarang Alvin tidak berani menanyakan hal itu pada ibunya.

Alvin hanya tahu satu hal, ibunya adalah wanita terkuat yang pernah ia temui. Di malam setelah pertengakaran itu, ibunya tetap tersenyum, memasakkannya makanan enak, dan bekerja sebagai penjahit rumahan seperti hari-hari biasanya. Padahal di wajahnya terdapat banyak luka memar dan goresan yang sangat kentara.

Mereka tetap melanjutkan hidup dan ibunya juga bersikap seakan-akan ketiadaan ayahnya adalah hal yang normal.

Sampai pada suatu hari, Alvin secara tidak sengaja mengetahui alasan mengapa ayahnya pergi. Ternyata sang ayah sudah menikah dengan wanita lain dan memiliki anak. Fakta itu baru diketahui Alvin saat ia masuk ke perguruan tinggi.

Pada waktu upacara penyambutan mahasiswa baru, tidak sengaja Alvin berpapasan dengan ayahnya. Waktu itu sang ayah sedang berjalan berdampingan dengan seorang wanita dan seorang anak perempuan seusianya yang sama-sama menjadi mahasiswa baru.

Perasaan Alvin semakin sakit ketika ia dan ayahnya saling berpandangan, tapi sang ayah memilih untuk membuang muka daripada mendekatinya.

Saat itulah Alvin menyadari bahwa ia selama ini telah dicampakkan dan ditelantarkan tanpa kabar oleh ayahnya sendiri demi wanita lain.

"Pak, mohon maaf, restoran sebentar lagi akan tutup. Jika Bapak sudah menyelesaikan transaksi diharapkan bisa meninggalkan restoran. Terima kasih," ucap seorang pelayan pria yang berhasil menghamburkan lamunan Alvin.

Alvin pun lekas membuang puntung rokoknya yang sudah tinggal seujung jari dan segera meninggalkan restoran yang hampir tutup.

Kemudian kaki jangkungnya berjalan menuju parkiran mobil. Ketika sedang berjalan, kepala Alvin tidak henti memikirkan lamaran Jena.

'Gue harus gimana kalau udah kaya gini. Melawan trauma gue dan nikahin Jena atau pilih ngelepasin dia sama laki-laki lain?' tanya Alvin dalam hati.