Aku, gadis kecil yang masih polos hidup di dalam keluarga yang penuh dengan cerita, warna warni, juga lika-liku kehidupan yang selalu dipenuhi konflik yang beragam jenisnya. Soal hidup dan materi, aku cukup beruntung. Ayahku seorang agen karet, dan ibu juga ikut bekerja di luar rumah. Kata ayah, sebagai seorang istri, ibu tidak boleh duduk manis di rumah dan berpangku tangan. Beliau kerap marah, emosi, dan melontarkan kata-kata menyakiti saat mengetahui ibu hanya berdiam diri di rumah. Apa lagi yang harus dicari? Entahlah, aku masih terlalu kecil untuk mengetahui hal semacamnya.
Pada saat itu, usiaku 4 tahun, awal awal aku mengingat tentang semua yang terjadi terhadapku, keluargaku dan jalan hidupku. Di usia yang masih tergolong kecil dan anak-anak, aku banyak tidak mengerti dan paham apa yang benar dan salah. Tentu itu hal wajar yang anak seusiaku melakukan. Di suatu ketika, aku yang masih polos dan lugu ini yang hanya memikirkan dunia main, main dan main saja, tidak memikirkan yang lain hanya fokus pada permainan. Aku memainkan sebuah mainan yang mungkin itu aku anggap hal biasa, tetapi tak untuk orang yang mengerti itu bukan sebuah permainan. Aku main masak-masakan menggunakan air, hal biasa yang kerap dilakukan mereka juga. Namun, tanpa sengaja, aku yang cukup lugu ini, akhirnya mengerahkan tangan yang imut dan tidak berdosa untuk mengambil sebuah botol dengan berisikan air dan bau yang sangat menyengat. Ketika ingin kutuangkan ke masak-masakan, tiba-tiba terdengar suara keras dan lantang dari kejauhan 5 meter yang menuju kepadaku dengan kata-kata yang kasar dan tak pantas anak seusiaku mendengarnya. Kaki besar dan berat pun mulai melangkah mendekati, makin dekat dan akhirnya tiba di sini. Aku terkejut, aku takut, dan aku mengalihkan pandanganku membelakanginya. Akan tetapi, tiba-tiba saja sebuah tangan kasar menarik tangan kurus dan kecilku, hingga membuat aku berdiri dari posisi jongkok. Aku mulai menangis dan semakin tak karuan mendengar cacian-cacian kasar yang keluar dari seorang laki laki setengah baya yang mengasariku, karena kepolosan ini. Dia bertindak tak senonoh, sampai membuat aku harus menangis kencang.
"Dasar anak bodoh, dungu, dan gak berguna. Kapan kamu jadi anak pandai, hah, kapan?" Laki-laki itu membuka matanya lebar-lebar. Dia mendekat kemari dan seolah mengancam.
"Apa yang kamu lakukan di sini, kenapa kamu ganggu barang milikku? Apa kamu sengaja ingin memancing kemarahanku?" Aku pun tidak bisa menjawab dan berpikir apapun, kecuali hanya takut, dengan mata yang berkaca kaca, tubuh yang gemetar dan jantung yang seakan mau keluar dari tempatnya.
Tangan kasar dan kaki besar mulai terdengar dikerahkan untuk menyiksa pipi lembutku dan pinggul imutku, hingga membuat aku jatuh tersungkur dari posisi awal hingga sejauh setengah meter. Betapa murkanya laki-laki setengah baya itu padaku atas dasar hal yang tak benar benar aku tahu apakah itu salah dan benar.
Mataku mulai meneteskan air yang tak salah dan tak lain adalah air kesakitan yang aku rasakan. Hati pun mulai mendukung air mata untuk berkata-kata, kenapa seorang ayah tega terhadap anak kandungnya yang tidak berdosa atas kesalahan yang tidak sengaja dia lakukan. Apakah sebesar ini kesalahan dan kebodohanku terhadapnya?
Di tengah aku meratapi apa yang terjadi padaku dan hidupku, tangan lembut dan tutur kata yang lembut memapahku untuk bangun dan berdiri, serta mencoba menguatkan aku dari keterpurukan saat ini.
"Bangunlah anakku, kamu harus kuat, kamu harus tegar, apa yang terjadi padamu kali ini bukan yang pertama kalinya, Sayang, melainkan untuk kesekian kalinya. Sabar, ya, Nak. Suatu saat nanti semua ini akan berakhir dengan sendirinya."
Aku pun bangkit dan memeluk tubuh hangat dan wajah penuh air mata yang tadi mengangkatku dari kesakitan ini. Tatapannya juga diam-diam memperhatikanku saat mendapat perlakuan kasar dari ayah. Namun, apa yang bisa dilakukan, jika hanya air mata yang menjadi jawaban dan mengalir deras seakan air terjun yang tak akan pernah kering. Lalu, jantungnya pasti sedang berdebar penuh harap, agar sang anak kuat dan tidak mati, karena kebrutalan ayahnya sendiri. Siapakah dia? Ya, dia ibuku. Wanita muda berusia empat puluh tahunan yang kini terlihat lesu, karena satu harian biasanya beliau bekerja di luar rumah.
Aku mulai percaya dan yakin, jika Tuhan tidak tidur dan tidak pilih kasih terhadap hamba hambanya. Toh, biarkan ayah berbuat sesuka hatinya, kesenangannya, dan egoisnya, karena aku tetap percaya karma Tuhan akan diam-diam bekerja untuk menghukum manusia manusia yang membuat hukuman tanpa adanya surat perundang-undangan dan ayat-ayat yang menganjurkan untuk menjatuhi hukuman.
Hari demi hari sudah ku lewati, suka dan duka kujalani juga. Sekarang, usiaku genap 7 tahun. Dengan bertambahnya usia yang semakin dewasa, pemikiran dan pemahaman aku soal hidup juga kian bertambah. Aku terlalu mahir mengenali baik dan tidaknya, serta arti kehidupan yang sesungguhnya itu bagaimana. Kedatangan tamu baru di keluarga kami menambah bahagia keluarga kecil ayah dan ibu. Aku juga turut merasakannya, sebab aku diberi teman kecil sekaligus pelipur lara kesendirianku selama ini. Ya, adik kecil yang imut, lucu dan menggemaskan bagiku juga keluarga lainnya. Hatiku benar-benar bahagia. Aku berharap, dengan datangnya anggota baru di keluarga, kami bisa merubah suasana yang dulu kelam menjadi suasana yang selalu membahagiakan, terutama untuk Ayah yang sangat menyayangi dan menanti sosok anak laki-laki.
Suasana semakin hari semakin manis aku rasakan, dan kedamaian terus kami dapatkan. Genap usia adikku 3 bulan, kebahagiaan, kedamaian dan ketenteraman berubah menjadi suasana yang mencekam dan menegangkan untuk orang 1 kampung kami. Saat itu, siang hari yang panas dan terik semua orang sedang istirahat termasuk aku dan keluargaku. Namun, tiba-tiba saja....
Dor dor dor!
Suara tembakan dan bom di mana-mana, kebakaran di mana-mana, kampung kami diserang pemberontak. Semua orang berhamburan lari ke sana kemari mencari perlindungan. Ketika aku mulai sadar dari tidurku dan mimpi indahku, aku terkejut, karena tiba-tiba ada tangan yang mengangkatku dan membawaku lari mencari perlindungan untuk melindungi diri. Suara teriakan juga terdengar di mana-mana, tangisan sorak sorai. Ibu kehilangan anaknya, anak kehilangan ibu bapaknya, suami kehilangan istrinya dan begitu sebaliknya, istri kehilangan suami dan anaknya. Tragedi pilu yang sangat membuat aku dan ayahku menjadi trauma dan kehilangan segalanya, tetapi, syukurlah keluarga kami utuh dan dipertemukan di sebuah pengungsian yang penuh haru.
Warga satu kampung masih terlihat trauma. Mereka telah kehilangan beberapa anggota keluarga atau orang yang mereka sayangi. Tak ada yang paham, banyak dari mereka yang terlihat meringkuk dan menangis histeris. Aku hanya bisa diam dengan helaan napas panjang sembari memejamkan mata. Entah mimpi atau apa, ini semacam hal yang tak aku ketahui. Semua telah terjadi begitu saja dengan reaksi dan pemahaman yang enggan aku pahami. Mungkin, anak seusiaku memang masih belum tahu apa pun yang terjadi.