Aku pun melanjutkan perjalananku menuju rumah. Di tengah-tengah perjalanan ini aku memang tidak meletakkan ataupun menaruh perasaan apa-apa terhadap segala kejadian yang kami hadapi. Aku percaya jika ini mungkin masih menjadi cobaan untuk kami bisa menghadapi semua dengan baik, tanpa mengeluh sedikitpun. Semua sudah terjadi dan mungkin ini nasib dan takdir kami untuk menghadapi apa yang diberikan oleh Tuhan.
Sesampainya di rumah, kesedihan kami digantikan dengan ayah yang baru saja menerima gaji pertamanya. Tak lupa, dia mengajak kami untuk jalan-jalan menikmati hasil gaji pertama ayah, dan saat itu aku pun sangat senang. Adikku pun yang tadinya sedih dan terlihat kantuk, mendadak membuka matanya lebar-lebar. Dia menatap ke arah aku dengan ekspresi wajah girang.
Setelah siap-siap, kami pun langsung pergi jalan jalan. Ayah mengajak kami makan, ke pasar malam, main permainan dan membeli ayam goreng yang diinginkan adikku tadi. Malam ini aku dan adikku benar benar sangat bahagia, karena semua kembali seperti semula. Walaupun ayah kasar dan keras kepala, tetapi dia tidak pernah lupa untuk menghibur dirinya dan mengajak kami jalan-jalan. Keluarga, baginya mungkin masih yang utama.
Di tengah-tengah kesenangan kami, ayah ikut merasakan, karena saat itu beliau bertemu dengan teman lamanya yang menyampaikan berita kalau di tempat dia tinggal sekarang, nyaman untuk mencari uang dan bisa merubah nasib jauh lebih baik. Ayah pun tergiur dengan tawaran temanya itu dan berencana ingin mengajak kami pindah lagi.
"Intinya kau harus ikut, Wan. Seorang Iwan, mana mungkin kalah sama bini, yakan? Ayolah, aku udah buktikan." Perkataan laki-laki seumuran ayahku itu membuat aku menatap heran. Aku sempat melirik ke arahnya, dan berpikiran aneh. Segi penampilan, beliau memang sudah berubah, tetapi aku masih kurang yakin dengan pembicaraannya.
"Nanti aku pikir-pikir, deh, ya. Soalnya anakku juga masih kecil," balas ayah.
"Iya. Aku harap, sih, kau mau ikuti aku."
***
Sesampainya di rumah, aku dan adikku langsung masuk kamar dan tidur, sedangkan ayah dan ibu tersebut berdiskusi paska ada tawaran dari teman ayah tadi. Kebetulan aku masih berjalan ke sana kemari dan tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.
"Bu, bagaimana kalau kita pindah lagi? Mencari tempat yang lebih layak dan kerjaan yang lebih menjanjikan yang di tawarkan teman ayah tadi, buk?" Ayah mencari pendapat dari ibu.
"Tapi, di sana, kan, kita belum tau apa pasti atau enggak. Jadi, kita jangan terburu buru dalam mengambil keputusan. Di sini kita sudah mulai lumayan, loh ayah. Jangan lagi kita jatuh pada lubang yang sama seperti dulu, ibu gak mau." Ibu coba memberi pengertian kepada ayah sambil merebahkan tubuhnya di lantai yang hanya beralaskan kain tipis dan sudah tidak bercorak. Ayah pun bingung harus bagaimana, di satu sisi ayah ingin membahagiakan kami semua, dan di sisi yang lain kata-kata ibu pun benar. Tak mau pusing dengan apa yang terjadi, ayah pun menyusul ibu untuk tidur di sampingnya.
*
Keesokan paginya ayah bersiap siap kerja seperti biasanya, sementara aku dan adik libur tidak bekerja hari ini. Lalu, ibu melanjutkan menyiapkan makanan untuk kami makan bersama. Di sela-sela kami ingin menikmati rezeki Tuhan di pagi hari yang cerah ini, tiba-tiba ayah memegangi perutnya dengan wajah yang sudah pucat dan dahi yang dipenuhi keringat. Setelahnya, ayah tersungkur ke lantai dan pingsan. Di sini, ibu dan aku langsung panik. Kami membawa ayah ke dalam kamar, karena tidak tahu harus bagaimana. Mau dibawa ke rumah sakit, kami tidak punya biaya. Setelah pingsan beberapa menit kemudian, ayah sadar dan ibu segera memberi ayah minum sambil bertanya, "kenapa ayah bisa seperti ini, apa yang sedang ayah rasakan?" Ibu bertanya dengan nada lembut dan suara yang bergetar menahan kesedihan.
"Gak tau, Bu. Tiba-tiba perut ayah panas."
Obrolan terhenti. Mungkin sudah cukup dan tidak diketahui apa penyakit ataupun keadaan serius yang sedang menyerang Ayah saat-saat seperti ini.
Aku hanya memahami, jika sejak saat itu ayah terlihat dan terdengar meraung-raung kesakitan yang makin hari sakitnya semakin parah. Ibu hanya bisa menangis dan menangis setiap kali ayah bereaksi seperti itu.
Alhasil, aku harus kembali membanting tulang demi mencari sesuap nasi. Walaupun hanya pekerjaan memulung yang bisa kulakukan, mungkin ini adalah hal yang paling tepat.
*
Malam pun datang dengan sangat gelap, hanya terdengar suara jangkrik yang bernyanyi dan katak yang bersiul menikmati malam yang tenang dan angin dingin ya menusuk jantungku. Di sini, aku merasa tubuhku terlalu lelah, karena seharian bekerja. Saat ingin beristirahat pun, terdengar lagi suara jeritan yang amat memperhatikanku dari kamar sebelah, yaitu kamar ayah dan ibu. Aku segera terbangun dan memastikan siapakah yang berteriak kesakitan itu? Seperti dugaanku, ternyata ayah kini sudah berwajah pucat, seperti orang yang tidak punya darah setetes pun. Saat itu pukul dua malam, ibu mulai kebingungan, karena Ayah pingsan sudah cukup lama. Kemudian, ibu mengajakku pergi ke rumah bos ayah, agen yang menaungi pekerjaan ayahku, dan kebetulan letak rumahnya lumayan jauh dari kediaman kami sekarang. Tanpa berpikir lama, aku dan Ibu langsung pergi dengan hati yang nekat dan bermodalkan kaki yang kuat untuk menuju rumah beliau.
Di pertengahan jalan yang sunyi dan dingin karna keadaan yang memang sudah larut dan sunyi sepi, kami mendengar kayuhan sepeda yang mendekat di belakang kami. Kami pun menoleh ke belakang, dan benar, ada sebuah becak sepeda yang sudah berdiri di belakang kami seakan siap menjadi armada kami menuju tujuan. Setelah berpikir jika kami tak punya uang, tanpa pikir panjang, kami diam dan tak berani menawarkan diri untuk naik. Kasihan pemilik becak itu, jika dianggap gratis begitu saja. Kami pun lanjut berjalan, kemudian tidak lama dari itu, terdengar seruan dari belakang yang menawarkan tumpangan. "Buk, ibu hendak ke mana? Masih pagi buta begini sudah keluar rumah?" ucapnya. Setelah diperhatikan, ternyata itu si tukang becak yang tadi.
"Iya, Pak. Suami saya sakit parah di rumah, bahkan sudah pingsan tidak sadar sadarkan diri lagi. Saya ingin minta pertolongan kepada bos tempat suami saya bekerja, karena saya tidak punya uang." Ibu coba menjelaskan pada abang tukang becak yang wajahnya ditutupi topi bundar besar.
"Ya udah, buk, mari naik becak saya saja, biar saya antar ke tempat tujuan ibu. Lumayan jauh juga kalau ibu jalan kaki, kasihan anak ibu sudah kedinginan." Mendengar tawaran itu, aku dan ibu saling tatap. Tanpa pikir panjang, akhirnya aku dan ibu setuju. Saat ini pikiran sudah tak bisa berpikir jauh, karena kami pun cukup lelah. Namun, yang sedikit mengherankan adalah sejak tadi abang-abang tukang becak yang dari sepanjang tadi ngobrol tidak terlihat sosoknya siapa, hanya ada topi bundar besar yang menutupi kepalanya. Jika disimpulkan, hanya ada suara tanpa ada wujud. Di sini, kami tak mau menduga lebih jauh, yang penting kami sampai ke tempat tujuan.
Sesampainya di rumah bos ayah, ibu langsung menceritakan semua yang terjadi pada ayah. Hingga kami belum sempat berterimakasih pada abang yang sudah berjasa besar terhadap kami berdua. Dia menghilang. Becaknya pun pergi ataupun jalan tanpa meninggalkan jejak, hanya ada suara saja. Siapa sebenarnya dia?
Singkat cerita, bos ayah pun bertanya kepada ibu dengan wajah heran. "Kamu dan anak kamu, kemari naik apa?"
Ibu pun menjawab dengan tegas dan teringat kalau ibu belum berterima kasih pada Abang becak itu.
"Ada pak, kami diantar tukang becak yang berhati mulia sekali, yang tak tega melihat saya dan anak saya jalan ke rumah bapak malam malam. Itu orangnya ada di depan sana." Ibu coba memanggil Abang tukang becak untuk di perkenalkan pada bos ayah. Saat ini kami sedang berbincang di teras rumah.
Bos ayah pun terkejut bukan kepalang, dengan wajah pucat dan kaku bos ayah berkata, "apa kalian diantar tukang becak? Masya Allah, mana ada tukang becak yang berani lewat dari sini malam malam begini, siang saja jarang apalagi malam. Kamu serius diantar tukang becak dan bahkan sempat menaiki becaknya?" Bos ayah coba memastikan jawaban ibu.
"Iya Pak, tadi kami diantar tukang becak, bahkan kami ngobrol di jalan, walaupun suaranya agak aneh," balas ibu yang coba menjelaskan kepada bos ayah.
"Berarti kamu dari tadi sudah menaiki becak hantu dan ngobrol dengan hantu, dulu tukang becak memang rame lewat lewat kemari untuk mengantar penumpang, setelah tragedi berdarah itu terjadi, seorang tukang becak sepeda yang sudah tua mati terbunuh secara mengenaskan dengan kepala yang sampai saat ini tidak di temukan, tidak pernah ada lagi yang berani lewat kesini lagi bahkan tak pernah ada penumpang becak lagi, karena sudah ada motor sendiri-sendiri di setiap rumah."
✍️
Mendengar cerita bos ayah, bulu kuduk kami pun berdiri seakan siap lari meninggalkan tempatnya. wajah kami pucat dan takut, di balik itu semua, kami kembali mengingat ayah yang sedang sakit parah di rumah. Kami dan bos ayah langsung kembali ke rumah, bersama bos ayah yang saat itu membawa mobil miliknya untuk membawa ayah ke puskesmas terdekat. Sesampainya di rumah, ayah langsung dibawa ke klinik tersebut dan mendapat perawatan. Setelah diperiksa dan 3 hari diopname, akhirnya cek lab pun keluar, ternyata ayah terkena penyakit lambung kronis yang selama ini tidak ayah rasakan. Hati ibu kembali luka dan berdarah setelah sebelumnya telah sembuh dan mengering. Aku bisa melihat dari raut wajah sedih ibu dan tetes air matanya. Beliau hanya bisa menangis dan mencengkeram rambut kuat-kuat, sambil berkata dalam hati, ketika melihat betapa kasihan sekali nasib keluargaku yang saat ini selalu dibebani cobaan." Ibu, sabar ya. Cobaanmu begitu berat, bebanmu begitu menjerat. Semoga Allah selalu memberikanmu semangat untuk menjalani cobaan yang selama ini kita rasakan, Bu."
Bos ayah yang baik hati dan pengertian memberikan gaji ayah di muka, agar bisa dijadikan biaya berobat Ayah di Puskesmas selama beberapa hari ke depan.