Aku seorang anak kecil yang lugu dan apa adanya datang, mendekati ayahku yang saat ini sedang berhadapan dengan racun yang bersemayam di tubuhnya dan meracuni otaknya. Aku datang dan mencoba tidak mengetahui apa-apa, padahal ibarat cerita, sudah satu judul aku rekam hasutan nenekku yang mulai memenuhi isi kepala Ayah.
Dengan wajah pura-pura manis, sementara hati penuh dengan kobaran api, aku mendekati ayahku dan menyapanya sambil memegang lengannya. "Ayah, kenapa ayah ke sini tidak mengajakku? Aku, kan, di rumah mencari cari ayah."
Lemparan cangkul terlihat mengerikan dan keras. Itu yang dilakukan ayahku dengan wajah kesal dan merah padam.
Aku takut, aku terkejut, bahkan jantungku seolah sempat lepas dari tempatnya, karena suara cangkul itu membuatku makin tak karuan.
"Ayah? Apa ayah marah padaku? Atau ada yang salah dari pertanyaanku?Maafkan aku, Ayah."
"Diam! Aku bilang diam!" Satu tamparan lagi mendarat di pipi. Kali ini mengenai kepalaku, dan aku benar-benar merasa pusing.
"Pergi kau dari sini! Dasar anak pengganggu, sama dengan ibumu. dasar anak sial*n! Pergi kamu dari sini sebelum aku menerbangkan cangkul ini ke kepalamu." Aku menundukkan kepala. Sekilas aku melirik nenek, ternyata wanita tua itu tidak respect sama sekali, malah tersenyum miring dan seolah menyukai perbuatan Ayah.
Aksi tamparan dan pukulan itu, mengubah warna pipiku yang merah muda menjadi keunguan. Merubah langkahku yang tadi lincah menjadi pincang dan miring sebelah. "Ya Allah, kenapa aku yang selalu jadi sasaran kemarahannya? Apa salahku, ayah?" pekikku dalam hati dengan mata yang berkaca-kaca dan wajah yang meringis kesakitan.
Langkah demi langkah aku langkahkan menyusuri jalan potong setapak menuju rumah PT yang aku dan keluargaku huni selama ini, dan memang menjadi tempat berlindung kami. Di perjalanan yang sunyi, kendaraan pun terlihat tidak ada yang berlalu lalang, aku sempat takut. Aku tidak tahan lagi berjalan dengan pinggang yang teramat sakit karena pukulan ayah yang seperti orang kerasukan setan. Tak ada cara lain. Kini, di jalan yang kanan kirinya pohon karet dan semak belukar, dan kadang ada hewan seperti monyet monyet jail, dan ular ular berbisa, aku mulai merebahkan diri dan berjalan menggunakan pinggul, karena pinggang tak tahan lagi menopang tubuh. Setelah beberapa langkah, yang kutakutkan pun terjadi. Suara hewan-hewan liar pun terdengar. Aku ingin lari, tetapi aku tak mampu karna sakit pinggang yang menyusahkanku bergerak. Saat itu yang aku harapkan hanyalah pertolongan dari Tuhan, karena hanya dialah yang saat ini berperan penting dalam hidupku; hari ini, esok, dan nanti.
Iwan, pria setengah baya yang berusia 40 tahunan itu memang gampang emosian sejak lahir. Terlebih, didukung sifat yang mudah terhasut, sering kali membuatnya diperalat orang untuk kepentingan mereka. Sayang, ayah tidak menyadari dan tidak pernah sadar akan itu. Padahal sesungguhnya apa yang dia lakukan dapat merugikan dia dan keluarganya.
Di tengah ketakutanku, dan sakitku, aku merasa senang, karena aku mendengar ada langkah kaki yang mendekatiku dan aku anggap sebagai penolongku pada saat itu. Akan tetapi, ternyata semua itu salah dan malah berubah menjadi derita yang cukup parah. Langkah yang datang aku anggap sebagai dewa penolong, ternyata tak lain tak bukan itu adalah langkah ayahku yang saat ini sedang dirasuki hasutan nenekku sendiri. Tangan kasar mulai mengangkat ku dengan cepat dan tak pantas, ucapan kotor pun keluar dari mulutnya. Beliau yang dulunya sempat sembuh dari kebiasaan marahnya, kini kambuh kembali, karena hasutan dan kecemburuan yang membara di dalam hatinya pada ibuku.
"Kenapa kau masih ada di sini? Kenapa aku harus menemukanmu dalam keadaan masih hidup? Kenapa kamu gak mati saja, jadi gak perlu buat aku repot dan buang-buang waktu harus mengangkatmu pulang." Salah satu sifat buruk ayahku yang tak kami sukai adalah emosi pada orang satu, semua terkena imbasnya. Seseorang yang dijadikan korban salah satunya adalah aku, yang selalu menerima kemarahan itu dan menjadi bahan pelampiasan kemarahannya pada siapa saja. Beliau begini, karena dulu pernah mengidap gangguan jiwa yang membuatnya gampang marah. Mungkin sarafnya telah konslet, begitulah. Aku pun tak terlalu tahu apa yang terjadi dan kenyataannya seperti apa.
*
Sepanjang jalan setapak menuju rumah, jalanan menjadi saksi ayahku membawaku pulang dengan cara diseret bagaikan hewan liar yang terkena tembak.
Aku takut. aku menangis, bahkan aku berpikir aku sampai rumah dalam keadaan menjadi mayat, karena seretan yang ayahku lakukan menambah luka parah di seluruh tubuhku, bukan menambah ringan bebanku.
Setibanya kami di rumah.
"Sialan ... keluar kau dari rumahku! Keluar! Dasar tukang selingkuh. anak siapa yang kamu kandung itu, pasti bukan anakku, makanya kamu enggan menuruti kemauanku, 'kan?" Ayahku berteriak setelah membantingku. Tanganku langsung lemas dan tak bertenaga untuk diangkat. Ibuku yang sedang menyiapkan makanan untuk menyambut dia pulang, langsung terkejut. Tak hanya itu, aku melihat ibu juga langsung berjalan terburu-buru usai keluar dari kamar, berusaha menemui arah suara yang tidak pantas didengar oleh seorang istri dan para tetangga, mungkin. "Astagfirullahhalazim. Bapak kenapa, Pak? Apa yang terjadi padamu? Kok, pulang-pulang ayah histeris seperti ini. Bukannya Kiki udah menyusulmu ke-sana?"
"Ya Allah, Nak? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu seperti ini?" Ibu mulai berteriak dan diikuti netra yang penuh air mata. Aku tahu, itu adalah bentuk dari kekhawatirannya melihat keadaanku, walaupun sebelumnya beliau sempat hanya fokus pada caci maki Ayah.
Tetangga pun mulai datang dan membantu ibu membawaku ke dalam rumah, lalu aku mendengar jika mereka mencoba menasehati ayahku yang dianggap sedang kerasukan makhluk halus setelah pulang kerja. Orang yang dijadikan target ayahku mengganggu ibuku pun keluar dengan wajah polos dan tidak tahu apa apa. Paman Supri, orang yang jadi senjata nenekku untuk menghasut ayahku.
" Masya Allah, Bang, ada apa ini? Kenapa Abang seperti ini?"
Dengan keringat yang bercucuran, mata yang penuh dengan kemarahan, ayahku lari kecil mendekati paman Supri dan memukulnya tanpa sadar hingga membuat lelaki tiga puluh tahunan itu tersungkur ke tanah.
"Dasar pengkhianat! Bajingan! Mulai besok, jangan lagi kamu dekati keluargaku. Aku tidak suka padamu, paham?!" Ayah mulai mencaci maki paman Supri. Dari arah sini, aku melihat wajah Paman seperti orang heran dengan keadaan ayahku yang tak biasa seperti ini.
Ibu menangisiku, sambil menggantikan bajuku yang penuh dengan lumpur, akibat seretan ayah. Di tengah rawatan itu, ibuku melihat luka-luka yang cukup parah yang menjadi tato permanen di tubuhku. Sementara saat ini, aku sedang mengarahkan biji mataku mulai mengintip dan coba terbuka lebar, mengamati satu persatu barang di rumahku, karena baru sadar dari pingsan. "Bu, aku di mana? Kenapa kepalaku sakit sekali?" tanyaku dengan respons yang mulai meringis kesakitan.
Ibu pun bertanya sambil mengelus rambutku. "Apa yang terjadi, Nak? Kenapa kamu bisa luka-luka seperti ini? Ayahmu juga tiba-tiba pulang dalam keadaan emosi parah?"
Ketika aku mulai ingin menjelaskan, ayah masuk ke dalam rumah dan melanjutkan caci makinya kepada Ibu. Aku hanya bisa menangis dan berpikir, apakah aku selamanya tidak akan pernah bisa bahagia. Sakit fisik dan mental kerap membuatku mulai jengah. Aku bosan.
***
Semenjak kejadian itu, rumah tangga ayah dan ibuku tidak seharmonis dulu. Aku pun ikut menjadi orang yang harus merasakan kekejaman yang tidak tanggung-tanggung dari ayahku. Rumah pun menjadi sepi. Tidak ada canda tawa lagi, ayahku sibuk di rumah baru yang hampir selesai pembuatannya dan lebih sibuk mendengarkan hasutan ibunya yang diam-diam menjadi duri dalam rumah tangganya.
Sakit yang aku derita akibat ayahku pun menjadi semakin parah, karena tidak adanya pertolongan medis, dan hanya mengandalkan obat kampung saja. Aku harus menderita sakit pincang dan kehilangan salah satu gigi bam yang kanan, akibat kekerasan ayahku yang tak mendasar pada anak seusiaku. Dia menampar aku berulang kali. Inilah hasilnya. Aku benar-benar menjadi korban kekerasannya.
Di lain sisi, kandungan ibu makin besar, dan ayah semakin tidak suka. Ibu menangis terus-menerus, karena kandungannya yang sekarang, tidak membahagiakan seperti kandungannya dulu, waktu mengandung Deka, adikku yang saat ini masih berusia enam tahun.
Hari-hariku dibantu tangisan yang jadi teman baruku. Entahlah, entah sampai kapan ini semua terjadi dan kurasakan.
Aku hanya bisa berharap ada keajaiban Tuhan untukku dan keluargaku, agar kami bisa menjadi keluarga yang baik dan harmonis seperti dulu.