Sebelum pulang ke Bali, Paman memberi ayah modal untuk membuat rumah dan merubah nasib. Uang dengan jumlah fantastis seperti itu memang benar-benar tepat dilakukan. Aku merasa cukup berguna untuk hidup, juga mengisikan dan menghadapi ataupun mengalami hal seperti mereka. Mungkin inilah kebahagiaan yang harus aku dapatkan ketika mengetahui semuanya.
Paman tidak pernah hitung-hitungan kepada ayah, karena paman ingat jasa ayah yang membuat Paman bisa seperti sekarang ini, itu sebuah rezeki dari Tuhan yang maha kuasa untuk kami sekeluarga melalui paman. Akan tetapi, kini bencana dari nenek dan bibi-bibiku, karena sifat iri dengki yang selalu melekat pada pikiran mereka, membuat keluarga kami menjadi tidak nyaman. Padahal, entah apa yang mereka irikan pada keluarga kami, walaupun kenyataannya kami tidak pernah jahat ke mereka. Kami juga tidak punya apa-apa, itu tanggapannya sekarang ini.
Sepulangnya paman ke Bali, cerita kejam bagaikan ibu tiri dan anak tiri pun dimulai. Nenek dihasut terus dan terus oleh bibi, sampai pada akhirnya nenek mengusir kami keluar dari rumahnya. Tanpa pikir panjang, ayah pun langsung mengajak kami keluar dari rumah nenek dan tinggal sementara di rumah PT sambil menunggu ayah membangun rumah dari uang yang diberikan paman ke ayah yang jumlahnya lumayan banyak. Di sini, kami berencana ini itu untuk membangun rumah dan usaha apa yang akan dibuat nantinya, sementara nenek dan bibi-bibiku merencanakan kehancuran ayah dan Ibu. Awal mula nenek marah terhadap ayahku, bermula dari hubungan ibuku dan ayahku yang tak mendapat restu dari nenekku, saat itu nenekku ingin ayahku menceraikan ibuku. Terdengar kejam, bukan? Akan tetapi, itulah faktanya.
Ayah mulai membeli tanah murah dan membeli bahan-bahan untuk membuat rumah. Hatiku tidak menyangka dan merasa bahagia, karena aku sebentar lagi bisa tinggal di rumahku sendiri tanpa pikir diusir dan sebagainya. Di lain sisi, Ayah juga tidak capek-capek kerja sama orang, karena ayah ingin berladang di belakang rumah kami. Ini benar-benar mimpi yang sangat-sangat mengejutkan untukku dan balasan dari Tuhan yang begitu nikmat, atas kesabaran kami menjalani ujiannya selama ini. Hatiku mulai bisa menari-nari bahagia lagi, bahkan lebih bahagia dari sebelum sebelumnya. Lagi dan lagi, Tuhan memang maha kuasa dan bijaksana, di tengah-tengah kebahagiaan kami yang senang sebentar lagi akan punya rumah sendiri, ayah dan ibuku kembali dipercaya untuk memiliki momongan lagi. Di rumah PT yang sederhana ini, ibuku mengandung lagi.
"Pak, sepertinya aku hamil lagi." Pembicaraan mereka terdengar olehku.
Bukan menunjukkan reaksi bahagia, tetapi ayahku malah buang muka dan seperti tidak suka atas kehamilan Ibu yang baru menginjak beberapa bulan, karena bagi ayahku, kehadiranku dan adik laki-lakiku sudah cukup. Tidak perlu ada anak yang lain lagi, itu malah akan mempersulit hidup. Maka, usai mendengar kabar ibuku hamil lagi, ayahku tidak suka dan menganggap jika ini manjadi kabar yang sangat menyambar hati wanita paruh baya itu. Bukan hanya di sana, karena mungkin ini kabar baik untuk menjadi sesuatu yang bahagia bagi nenek dan bibiku, untuk mencuci otak Ayah dan membuat fitnah. Berulang kali juga ayahku menyuruh ibuku untuk menggugurkan kandungannya, tetapi ibuku tidak pernah mau melakukan itu. Aku bisa mendengar dan mengetahui ceritanya, karena aku sudah besar. Aku sering mendengar obrolan mereka yang membuat aku paham.
Ayahku mulai memperhatikan perut ibuku yang semakin lama semakin membesar, bukan semakin kecil. Ayahku marah dan pergi, karena kesal. Beliau lebih memilih untuk melihat orang yang membangun rumah kami dan coba mencangkul untuk menanam cabai dan sayuran. Di sela itu, nenekku datang dan memainkan dramanya kembali dengan pura-pura melihat perkembangan rumah kami, tetapi sebenarnya di samping itu, nenekku sedang menyimpan siasat jahat yang siap dilemparkan ke otak Ayah.
"Jadi bagaiman perkembangan dari rumahmu, apakah sudah beres?" Nenek memulai semua rencananya dengan pertanyaan.
"Eh ada ibu. Kok, tumben Ibu mau perduli tentang aku sampai sampai menanyakan kabar rumahku. Bukanya aku ini anak yang paling Ibu benci?" Ayah menjawab pertanyaan nenek di iringi sindiran keras.
"Siapa bilang ibu membencimu? Ibu dan adik-adikmu sayang sama kamu, hanya saja kami tidak suka dengan istrimu. Dengar-dengar kabar, istrimu hamil lagi, ya?" Nenek mulai memancing ayah untuk bicara dan bercerita.
"Iya Bu, kenapa? Tapi aku tidak menginginkan anak itu, karena bagiku kehadiran dua anak aja udah cukup, tidak perlu lagi anak-anak yang lain."
Pada saat itu aku berkeinginan untuk menyusul ayah saja sebenarnya. Akan tetapi, tanpa berpikir panjang, aku langsung menyusul ayah diam-diam dengan tujuan ingin membuatnya terkejut. Namun, di saat itu juga tanpa sengaja, telingaku menangkap sinyal pengaruh yang sedang dijalankan oleh nenek kandungku sendiri.
"Ya Allah, cobaan apa lagi yang akan menimpa keluargaku setelah baru sebentar kami merasa bahagia, dan kenapa harus ada lagi cobaan. Apakah ini yang di namakan roda kehidupan?" pekikku dalam hati. Aku menghela napas panjang.
Bibirku sudah tak tahan ingin memanggil ayah, tetapi takdir Tuhan yang maju paling depan untuk memberi tugas telinga dan mataku menyaksikan kebusukan dan hasutan dari nenekku.
"Wan, katanya istrimu tidak mau menggugurkan kandungannya, ya? Ibu jadi curiga," ucap nenek lagi yang mulai mengeluarkan racun biusnya untuk mempengaruhi ayahku.
"Dari mana ibu tau? Apa yang ibu curigai?"
Ayah mulai berhenti mencangkul dan fokus memandang wajah nenek dengan pikiran yang aneh-aneh dan hati yang penasaran,
"Iya. Logikanya gini aja, loh. Kalau memang itu anakmu, pasti dia akan nurut kepadamu. Tapi dia membangkang padamu, berarti itu bukan anakmu, melainkan anak dari hasil perselingkuhannya dengan laki laki lain." Nenek terus menghasut dan membuat fitnah, sedangkan sebagai orang yang bodoh, ayah mulai percaya, karena saat ini memang ayah lagi tidak enak hati pada ibu. Bisa dibilang, mereka sedang bertengkar.
Dengan itu semua, karena ada tetangga yang baik pada kami, perhatian pada kami dan kasihan pada kami, karena ada saudara tapi tidak pernah dianggap, jadi orang itu selalu seperti saudara bagi kami. Tapi nenek memanfaatkan itu semua untuk kepentingannya dan ayah memikirkan itu semua sebagai salah satu perhatian yang atas dasar perselingkuhan.
Aku ingin teriak menghentikan hasutan nenekku, tetapi sebelum aku melakukan itu, nenek sudah berhenti menghasut ayah, karena baginya segini dulu drama yang dimainkan hari ini.
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi dan hanya terdiam tanpa kata. Semua yang terjadi saat ini membuat aku benar-benar siap dan tidak tahan untuk mengungkapkan apa yang terjadi. Lagi dan lagi aku mendapatkan sebuah cara dalam menanggapi apa yang telah terjadi.
"Suatu saat nanti, dia pasti akan paham dengan ucapannya." Aku berkata dalam hati dengan mengembuskan napas panjang.