Berhari-hari, aku hanya direpotkan dengan sakitku yang membuat aku harus meninggalkan beberapa aktivitas, salah satunya adalah sekolah. Itu semua kulakukan bukan karena kesengajaan, tetapi fisik yang tak memadai membuat aku harus mengalami dan menjalani apa yang sudah terjadi.
Kini, aku harus bangkit dan mencoba untuk bersekolah kembali setelah sempat vakum karena sakit beberapa waktu ini. Ibu melarangku dulu untuk bersekolah, tetapi aku tetap harus sekolah, karena sudah terlalu lama aku di rumah. Lagi pula, sakitku juga sudah mulai membaik, walau masih diiringi dengan pincang tipis.
*
Pagi yang cerah, menyambutku untuk bersekolah; matahari yang mulai tersenyum pun mengiringi langkah lembutku hari ini. Aku kira dengan masuk sekolah, bisa membuat pikiranku menjadi senang dan hatiku menjadi riang, tetapi semua penderitaan tak berhenti sampai di sini saja. Di jalan yang lumayan jauh dan melelahkan, kakiku ini aku harus beradaptasi dengan jalanan, karena tidak adanya kendaraan yang mampu kami miliki, jadi mengharuskanku jalan kaki setiap hari.
Di tengah jalan yang masih sunyi, aku memulai perjalanan untuk menuju sekolah, karena aku tak ingin terlambat. Semakin hari makin siang, dan kakiku mulai sakit, diikuti tubuhku yang lemas, karena baru sembuh dari sakit dan membuat aku banyak berhenti di tengah-tengah jalan saat hendak menuju ke sekolah. Bukan lancar seperti yang aku pikirkan, karena itu menjadi bahan ejekan teman temanku yang mengendarai kereta ke sekolah. Mereka menertawakanku. Tak jarang juga mereka memberiku abu, karena cuaca seringkali panas dan ini kesempatan baik bagi mereka untuk berbuat jahat. Penderitaanku tak hanya berhenti di ayahku, tetapi berlanjut juga pada teman- teman yang memusuhiku. Alasannya masih sama, ini soal ekonomi yang dimiliki ayahku tak memadai.
Aku hanya bisa menangisi nasibku yang tak pernah mendukung dan mengkhianati kenyataan yang kumau.
***
Sesampainya di sekolah, aku sangat senang dan lega. Setelah berpikir kapan sampainya, akhirnya aku tiba juga ke sekolah, walaupun hanya dengan mengandalkan kaki tak sehat, juga semangat yang terkesan menjadi sebuah perjuangan.
"Syukurlah. Akhirnya sampai juga," ucapku sembari tersenyum tipis. Aku juga tak lupa menghela napas panjang.
Aku langsung masuk ke dalam ruangan yang sudah lama aku rindukan. Harapanku, ada kebahagiaan dan aku terhibur lagi, tetapi semua tak sesuai yang aku bayangkan. Mereka berbuat tak wajar, menyambutku dengan aksi jahat dan jail. Di sini, aku tidak bisa memaklumi, karena walaupun mereka anak kecil, tetapi pikiran dan cara mereka membully sudah melebihi orang di atas usia mereka.
Tidak lama aku sampai di sekolah, bel pun berbunyi, menandakan semua siswa harus masuk kelas. Setibanya aku di dalam kelas, teman yang sebagian baik terhadapku menanyakan kabarku dengan ramah dan khawatir, karena melihat keadaanku yang masih sedikit pincang, sementara sisa temanku yang jail malah mengejekku dan menanyakan hal-hal yang membuatku ingin memecahkan mulut sombong mereka.
"Eh Kiki, kamu kemana aja enggak masuk-masuk sekolah? Apa kamu gak punya biaya untuk membayar sekolah, atau kamu sudah lelah tiap hari jalan kaki sendiri, sedangkan kami semua punya kendaraan? Oh aku tau, yang lebih tepatnya kamu sengaja gak mau sekolah, karena sibuk kerja cari nafkah menggantikan ayahmu yang pemalas, ya?" Teman-temanku pun mulai mengolok, diiringi dengan tawa yang terbahak bahak di atas penderitaan yang menyiksaku bertahun-tahun.
Aku hanya bisa diam dan tersenyum tipis sambil mengalihkan mata yang berkaca-kaca, dan hanya bisa meratapi nasib buruk yang selalu menimpaku. Tidak di rumah, di sekolah, dan di mana saja, aku selalu menderita. Kapan aku bahagia, Tuhan? Itulah pikiranku yang selalu membayang jauh dan membuatku pupus.
Di dalam tawa dan sorakan bahagia teman-temanku, seorang guru masuk dan ingin memulai pelajaran. Sudah aku bayangkan, jika guru yang masuk hari ini banyak tahu tentang keluargaku, terutama sifat brutal ayahku. Dia pasti akan mengejekku.
Dia guru, orang tua di sekolahku, tetapi sifatnya dan tutur katanya bukan seperti guru, melainkan setan yang menyerupai seorang guru gadungan.
"Hai kamu, iya kamu. Masih punya muka untuk bersekolah di sini? Tidak malu dan tak jera sudah dianggap miskin dan punya ayah pemalas?" ujarnya.
Aku mencoba sabar dan berusaha memberikan senyum lebar untuk menutupi kesedihanku, karena aku menganggap ini bukan hal yang mengejutkan untukku, melainkan sudah hampir jadi makanan keseharian-harianku menerima cacian dan makian dari orang-orang yang aku sayangi. Aku harus tetap kuat dan ingat visi misiku kembali ke sekolah untuk sukses dan membanggakan kedua orang tuaku, walau ayahku tidak pernah menginginkan itu dariku, tetapi aku tetap akan melakukannya. Namun, setelah aku telusuri, guru yang saat ini ada di hadapanku tidak pantas dihargai. Dia membuat banyak sekali pembicaraan dan kata-kata tak senonoh. Pantas kah dia seperti itu?
Pelajaranpun dimulai, guru yang memang dari awal tidak suka padaku dan tahu banyak tentang ayahku lagi-lagi mencari-cari kesalahanku, tetapi kali ini berhubungan dengan nilaiku yang sengaja diberikan kecil agar menjadi sumber kemarahan ayahku. Marahnya ayahku bukan karena peduli terhadapku, melainkan karna dia tidak mau malu oleh aku, walaupun semua itu bukan salahku.
Nilai rendah sudah tertulis di buku tugasku, dan bel pulang pun sudah berbunyi. Semua murid pulang dengan senang dan bangga, karena memiliki nilai yang besar untuk ditunjukkan pada orang tuanya, sedangkan aku masih memikirkan bagaimana cara menjelaskan pada ayahku atas tingkah guru licik itu. Aku pulang dengan pikiran yang berandai andai penuh kecemasan. Bagaimana jika yang aku bayangkan akan terjadi? Oh, tidak.
***
Sesampainya di rumah, aku merasa senang, karena Ibu telah menyambut kedatanganku dan menyiapkan makanan untukku. Hati kesal, takut, dan khawatir pun seolah berubah tenang, ketika aku sudah menatap wajah teduh ibuku. Seseorang yang selalu berperan penting dalam hidup ini.
"Apa Ayah belum pulang, Bu?" tanyaku.
Bibir kecil ini mulai basa-basi, menanyakan ayahku yang selama ini tidak ada hubungan baik dan bertegur sapa lagi dengan ibu. Itu terjadi selama ibuku hamil dan hasutan setan merasukinya. Ibu mencoba menjawab pertanyaanku dengan suara bergetar, menahan kesedihan yang teramat dalam, juga dengan tangan yang sesekali meminumkan air putih ke mulutnya.
"Sudahlah, Nak, jangan pikirkan yang tak perlu kamu pikirkan. Itu semua urusan ibu, resiko hidup ibu. Cukup. Sudah cukup bebanmu selama ini kau tanggung, karena ayah dan ibu. Kamu berhak bahagia di usiamu yang sekarang, bukan menderita selalu, karena keegoisan dari ayahmu."
*
Siang itu, suasana sangat panas, matahari begitu terik, seakan mencekik. Selesai makan, kami mulai mengistirahatkan tubuh yang seharian beraktivitas dan terasa lelah, juga karena keadaan yang kurang menyenangkan.
Jam pun terus berputar mengikuti porosnya. Tidak terasa, hari sudah nyaris malam. Matahari pun perlahan redup, membuat bumi terasa lebih teduh.
Dari kejauhan 10 meter, laki laki setengah baya yang kerap disebut ayah olehku pun telah menunjukan wujudnya dan berjalan cepat, seakan ingin menerkam.
Aku sedih, aku takut, dan aku kecewa pada ayahku yang lebih mendengarkan hasutan ibunya ketimbang istri yang selama ini selalu ada di sampingnya.
Azan Magrib pun sebentar lagi akan tiba, aku mengambil handuk dan segera ingin mandi tiba-tiba. Ini semua didasarkan dengan perasaan takut yang kurasakan juga. Maka, terdorong lah niat seperti itu.
"Dasar pembohong, tukang selingkuh, dan wanita rusak! Kenapa kau harus hamil segala? Seandainya kau tak mengikuti keegoisanmu, mungkin sekarang aku tak susah menanggung malu. Aku minta, mulai besok segera gugurkan kandunganmu itu, kalau kau tak mau aku ceraikan."
Ayah berteriak-teriak di tengah-tengah akan adanya seruan azan Magrib, sementara ibu hanya diam dan menangis melihat perlakuan ayah yang sangat dzolim terhadapnya. Bukan untuk ibu saja, tetapi juga untuk aku dan adikku. Di sini, di sela-sela suasana seperti ini, hanya ada tetangga yang ikut campur dan seketika menjadi pendengar budiman.