Chereads / Menolak Takdir / Chapter 10 - Trauma

Chapter 10 - Trauma

Malam pun datang, semakin malam, semakin larut dalam kesunyian, tetapi biji mataku enggan menutupkan pada kesunyian malam ini, yang entah kenapa aku pun tak tahu. Aku hanya merasakan ketakutan, kekhawatiran, dan kegelisahan, juga ancaman yang mengganggu pikiran anak seusiaku.

Aku merasa akhir-akhir ini penyakit jiwa ayahku yang dulu pernah dia derita kembali menguasai hidupnya, maka dari itu aku sangatlah takut.

Aku berdoa dan berharap ada keajaiban Tuhan datang untukku dan ibuku yang mampu mengubah skenario hidupku menjadi lebih baik dan menjanjikan keberhasilan, bukan selalu dalam penderitaan.

Pagi pun datang, tanpa terasa jeritan ayam jago telah memukul gendang telingaku untuk bangun dan bersekolah. Tiba-tiba....

"Kiki, kamu sudah bangun?" Ayah memanggilku dari balik kain pintu kamar.

"Sudah ayah, kenapa?

"Bagus. Hari ini kamu tak usah sekolah, ayo bantu ayah bekerja di PT untuk membersihkan sekitar pohon sawit." Seketika aku langsung menggeleng usai mendengar ajakannya. Aku menolak dengan sangat kuat, karena aku tahu, sekolah lebih penting dari segalanya.

"Enggak, maafkan Kiki, bukan Kiki membangkang, tapi Kiki harus sekolah dulu ayah, nanti setelah pulang sekolah Kiki akan menyusul, membantu ayah bekerja," sahutku dengan nada ramah.

"Jangan. Kamu mau membangkang? Apa kurang rasa sakitmu semalam yang udah ayah kasih padamu? Kurang dikasih pelajaran?"

Mata besar, juga mulut kotor dan kasar mulai melotot dilakukan. Beliau mencaci maki dan mendekatiku, membuat air liurku seketika membasahi tenggorokan. Aku menelan ludah susah payah.

"Pokoknya aku gak mau tau, kalau aku bilang tidak usah sekolah, ya tidak usah sekolah. Paham? Daripada aku lenyapkan semua perlengkapan sekolahmu."

Aku duduk terdiam sambil menangis, tidak punya cara lagi untuk menolak keinginan konyol ayahku saat ini, karena kemalasan yang dia pelihara selama ini membuatnya harus bergantung pada anak dan istrinya dalam melakukan pekerjaan apapun.

"Jangan ayah, biarkan Kiki sekolah, kita tidak punya harta, tahta dan kekuasaan. Apakah anak kita pun tak pantas menerima pendidikan? Dia masih terlalu kecil untuk bekerja, saat ini tugasnya hanyalah bersekolah. Apa kurang cukup selama ini Kiki udah menderita karena kita? Sampai-sampai, harus tidak sekolah satu tahun karena hanya memikirkan kerja. Biar ibu aja yang menggantikan Kiki membantu ayah bekerja."

Ibu datang dan memberi ketegasan pada ayah.

"Apa? Kamu ingin bekerja?" ucapnya mengejek, "dengan perut yang buncit seperti ini, kamu bisa apa? Paling yang kamu bisa cuma mempertahankan anak harammu ini, dan membuat aku malu. Aku tidak pernah menginginkan anak yang ada dalam kandunganmu itu. Jadi, jika nanti dia lahir, aku tidak mau mengakuinya, apalagi menyentuhnya, aku tak sudi!"

Ayah mencaci maki ibu sambil membuang dahak di depan ibu.

Ibu hanya menangis.

*

Aku pun telah siap dari mandiku dan segera ganti baju, ingin menuju ke sekolah dengan semangat yang membara. Tiba-tiba, tangan besar dan kasar menyeretku dengan paksa. Di satu sisi, para tetangga hanya bisa melihat dari balik pintu rumah mereka, karena tidak mau berurusan dengan orang gila yang mereka anggap itu adalah ayah. Ibuku yang saat ini semakin lemah dan tak berdaya karena kandungannya semakin tua dan tak banyak asupan makanan bergizi di tubuhnya, membuat dia tak bisa menolongku pada saat itu.

Ayah menyeretku sepanjang jalan menuju tempat kerjanya sambil mencaci maki aku dan ibu. Dalam hati, aku hanya bisa berkata, "sepertinya ayahku benar-benar telah menjadi laki-laki setengah baya yang memiliki kegilaan sangat parah."

***

Setibanya di tempat kerja, dengan alat yang sederhana berupa cangkul yang tidak terjamin ketajamannya dan bermodal tip kecil untuk menambah hiburan, ayah pun mulai menyuruhku untuk bekerja, mencabut rumput-rumput keras dan berat. Aku mengeluh dan merasa tanganku hampir putus karna rumput-rumput yang liar ini, tetapi ayahku marah dan mengangkat cangkul tinggi-tinggi yang siap melampiaskan padaku, jika aku melawan. Terpaksa, aku hanya bisa diam. Aku takut dan aku teramat gelisah, jika aku akan mati di tangannya jika melawan.

Aku hanya pasrah dan berdoa, suatu saat nanti pasti kebahagiaan akan datang.

Berhari-hari kami bekerja, hanya dapat beberapa pokok yang kami hasilkan bersih dari sawit-sawit subur milik orang yang telah diupahkan kepada ayah. Lagi-lagi, ayah marah padaku karena hasil kerja hari ini tidak sesuai dengan perkiraan dia.

Dengan alat yang sederhana, ditambah kerja yang banyak duduk dan bergantungan cerutu, ayah mengharap hasil yang besar? Itu tidak mungkin terjadi.

Aku duduk sedikit jauh dari ayahku.

Di saat aku baru duduk, mengistirahatkan bokongku yang saat itu masih linu dan sakit karna tunjangan ayah waktu itu. Namun, tiba-tiba....

Suara dari langit membuatku benar-benar diam dan mematung di tempat.

Petir menyambar, menandakan hujan akan segera turun. Akibat kerjaan kami yang jauh dan menyebrangi sungai yang cukup lebar, ini membuat aku khawatir. Aku tidak mau kami kehujanan di jalan, apalagi tidak bisa menyebrang. Ini semua terjadi begitu saja secara tiba-tiba, membuat aku harus merasakan dampaknya.

Air sungai yang keruh, santai dan mengerikan telah menelan tubuh imutku dan ayah untuk hanyut. Untung saja Tuhan masih sayang dan memberi kesempatan padaku dan ayah, sehingga pada saat itu masih ada akar pohon yang kokoh dan menolong kami untuk berpegangan, sementara radio dan cangkul telah hilang entah ke mana, terbawa air.

Ibuku sangat histeris di sebrang sungai sana, dia segera pergi meminta pertolongan agar bisa menolongku dan ayah. Kini, ayah sudah tak tahan lagi menahan derasnya air sungai yang tiba-tiba besar dan menyeret kami dengan paksa.

Di tengah kami meratapi hidup di derasnya air sungai, terdengar jeritan seorang pemuda berusia 25 tahun, sosok pria di kampung kami yang seakan jadi dewa penolong untuk kami pada saat itu. Dia datang bersama pemuda-pemuda lainya dengan alat yang sederhana untuk membantu mengevakuasi kami berdua. Dengan seutas tali yang diikatkan dari pohon sebrang kiri dan pohon sebrang kanan, kamipun berhasil selamat. Bang Indra, itu nama pemuda yang menyelamatkan kami berdua—aku dan ayahku.

Dalam evakuasi yang mengerikan ini, benar-benar dilengkapi adegan penuh keterharuan, karena betapa sedih dan takutnya Ibu saat aku terjebak banjir di sebrang sana. Akan tetapi, karena kesigapannya, itu membuat kami cepat mendapat pertolongan. Jika tidak, mungkin aku dan ayah sudah mati untuk sekarang-sekarang ini.

***

Sesampainya di darat, ada seseorang yang memelukku erat-erat.

"Kiki, anakku. Ya Allah, terima kasih, engkau telah menyelamatkan anakku." Ibu tidak berhenti bersyukur kepada Tuhan yang masih baik terhadapku dan juga ayah. Orang-orang yang ikut menyaksikan aku dan ayah terjebak banjir pun ikut menangisi, karena mungkin mereka kasihan kenapa aku harus punya ayah sejahat dan sekejam dia. Gara-gara dia, aku hampir melayangkan sebuah nyawa.

Ini juga karena sifat angkuh dan tidak tahu terima kasih dari ayahku, yang membuat beliau tidak ada rasa sedih, menyesal dan berterima kasih pada orang yang telah menolongnya. Usai kejadian itu, dia hanya berkata, "dasar lebay, kamu lebay. Semua ini terjadi karena kesialan darimu, gara-gara kamu mengandung anak haram, jadi aku dan Kiki yang kena imbasnya. Hari ini, aku dan Kiki yang hampir mati, untung-untung besok kamu yang akan mati melahirkan anak harammu itu." Ayah lagi-lagi mencaci maki ibuku di depan banyak orang.

"Astagfirullahhalazim." Semua orang mengucapkan kalimat itu setelah mendengar kata-kata kasar dari mulut ayah.

Ibu membawaku pulang dan menggantikan pakaianku. Saat ini, aku yang sempat trauma dan takut karena kejadian yang menimpaku, akhirnya mendadak diam dan menjalani keseharian yang dibayang-bayangi rasa tak ingin terjadi lagi. Ibu juga sekarang ini nampaknya tidak tega melihat keadaanku yang semakin hari semakin parah. Suatu saat, akhirnya ibu membawaku ke rumah orang pintar, untuk mengobati rasa trauma ini. Mengingat lokasi rumah sakit yang jauh dari tempat tinggal kami, membuat ibuku mengambil jalan untuk mengobatiku dengan obat kampung saja.

Atas izin Tuhan, aku pun mulai membaik dan lupa akan hal-hal yang menjadi bayang-bayang di dalam hidupku selama ini. Aku merasa lebih baik dan bisa bangkit lagi, seperti sedia kala.