Chereads / Menolak Takdir / Chapter 11 - Cinta Pertama dan Kabar Buruk

Chapter 11 - Cinta Pertama dan Kabar Buruk

Tidak terasa, waktu terus berlalu saat ini aku sudah menginjak usia 15 tahun. Beberapa bulan lalu aku baru saja memasuki masa sekolah ke jenjang SMA. Tentu saja, kali pertama masuk sekolah, aku benar-benar merasa sangat takut. Tidak ada hal yang lebih buruk daripada pembullyan dan penghinaan dari teman-teman. Itu yang kerap aku takutkan dan membuatku tidak tenang ketika ingin beradaptasi dengan lingkungan baru di sekolah. Aku beranggapan jika apakah mereka mau menerima. Selama ini, aku memang seringkali mendapat perlakuan tidak baik dari orang-orang. Aku hanya tidak ingin mengalami hal yang sama maka dari itu aku sangat mencegah itu agar semua itu tidak terjadi.

Kiki Riana, aku bukanlah anak kecil 10 tahun yang tidak mengetahui apa-apa. Kini aku sudah dewasa, aku bisa mempertimbangkan baik buruknya dan keadaan yang pastinya tak pantas untukku. Perubahan sikap kaya pun seiring berjalannya waktu masih tetap sama, hanya umur dan juga perubahan dari fisik yang berubah. Pikiran dan juga kebiasaan dia di rumah tidak pernah berubah. Aku masih sering beradaptasi dengan kemarahan dan juga kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya. Namun, kali ini dia lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Aku merasa jika sedikit demi sedikit perubahan itu terlihat dan aku bersyukur atas apa yang telah terjadi sekarang. Membicarakan soal usia dewasa, tentu saja aku juga mulai mengenal soal cinta.

Cinta pertama itu memang sangat indah dan membahagiakan bagi semua orang yang merasakannya, tergantung bagaiman berakhirnya cinta pertama itu sehingga kadang cinta pertama dianggap sebagai cinta yang sangat sangat menyakitkan.

Di saat saat aku merasa bahagia setelah aku tau kalau itu cinta semua tidak bertahan lama, semua itu terjadi. Robby, laki-laki yang berhasil membuatku tertarik akhirnya harus meninggalkan cerita teramat berkesan dan menyedihkan bagiku. Dia datang, tetapi untuk pergi. Tidak ada ketetapan yang bisa aku terima, dan itu semua memang benar-benar menyakitiku. Sedih, sudah pasti. Namun, untung saja aku masih bisa menanggapinya dengan baik dan berusaha kuat.

1 hari sebelum pergi, Robby mengajak aku bertemu di tempat kami biasa janjian. Saat itu, Robby berpesan kalau aku jangan takut dan khawatir, dan suatu hari nanti, kami pasti akan berjumpa lagi. Suatu saat nanti, kalau Tuhan menakdirkannya, pasti kami akan bersama lagi. Di situasi itu, aku benar-benar merasa sangat sedih dan aku beranggapan bahwa ini hal yang paling menyedihkan untukku. Robby memandang wajah imutku yang dipenuhi air mata. Dia juga memeluk tubuh kecilku dengan jantung yang berdebar, menandakan kalau dia pasti tak siap untuk berpisah denganku saat ini. Akan tetapi, apa yang bisa kami lakukan? Kami hanya anak kecil yang masih sangat kecil dan sedang dalam kekangaan orang tua. Pagi yang mendung pun menyelimuti awan yang lagi tidak sehat. Dari balik jendela sederhana yang terbuat dari batang bambu dan berkaca kardus, aku melihat ke arah luar. Ternyata peristiwa itu sudah terjadi dua hari lalu. Lapisannya sangat manis dan berarti bagiku, pasti akan kusimpan baik-baik di dalam hati.

***

Tahun telah berganti, bulan demi bulan dilalui, angin santai menemani selama ini. Tibalah saat dimana aku sekarang sudah berusia 20 tahun, yang mana pada usia sekarang aku sudah di bilang dewasa. Perpisahanku dengan Robby masih teringat jelas, apa lagi soal kebersamaanya dengan dia, dulu, masih aku kenang di memori. 3 tahun sudah aku menanti. Saat berusia 17 tahun, aku sudah tamat sekolah. Setiap hari aku menunggu jawaban. Aku berusaha menunggu kepastian dan tidak ingin berpikiran apa-apa. Walaupun sesekali aku sering merasa bosan kok mati tapi aku tetap yakin jika suatu saat nanti cinta pertamaku pasti akan datang. Dia akan menjemputku untuk menjadikannya sebagai istri. Aku sudah dewasa, tentunya aku paham dengan semua yang akan terjadi. Aku juga lebih bijak dalam berpikir dan menentukan suatu keputusan untuk sekarang.

[Bel, bilang sama Kiki, hari ini aku ada pulang ke kampung. Aku baru aja tamat kuliah, S1. Nanti aku ceritakan lebih lanjut, kalau udah sampai sana.]

Aku memegang dada dan merasa tidak pernah menyangka jika semua akan terjadi seperti ini. Pernyataan itu membuatku begitu berharap jika apa yang akan terjadi nantinya adalah sesuatu kebahagiaan yang sangat berarti dan begitu besar untukku.

Hari ini aku sengaja berpenampilan rapi. Harapanku, Setibanya di tempat nanti kamu aku bisa bertemu dengan cinta pertamaku. Aku meyakini hati ini untuk bisa berharap lebih kepada dia, dan aku percaya juga dia masih mencintaiku dan mengingat janji yang telah dia katakan. Di sini aku tak bisa berpikiran apa-apa. Semua yang telah terjadi di masa lalu membuatku berharap lebih untuk bisa menikmati itu di masa depan. Segala kebahagiaan kembali menguar di hati dan membuatku percaya jika itu semua akan terjadi. Aku percaya juga semuanya adalah hal yang paling tepat. Ketika mendengar Bella menyampaikan isi pesan itu, aku pun menjadi semangat secara tiba-tiba. Aku percaya juga semua yang telah dia lakukan adalah suatu tindakan yang tepat. Penyampaian yang dia katakan membuatku merasa sangat tenang. Intinya aku bahagia mendengar kabar itu.

"Kapan Robby mau kemari? Ah, aku deg-degan."

Ketika aku bertanya soal itu, wajah Bella langsung berubah seketika. Dia terlihat mengalikan tatapannya. Ini membuat aku langsung terdiam dan tak mengatakan apa-apa lagi.

"Ditanya malah diem, aneh."

Setelah hampir 3 jam menunggu, akhirnya sebuah mobil sedan hitam mendarat di halaman rumah Bella. Aku menahan hidup jantung yang makin berdetak keras, karena aku yakin jika ini adalah mobil orang yang kami tunggu-tunggu sejak tadi.

"Aku deg-degan, Bel. Duh, kira-kira apa reaksinya lihat aku begini, ya?"

Untuk yang kedua kalinya Bella tidak mengatakan apapun. Dia terlihat acuh dan berusaha untuk tidak memedulikan pertanyaanku.

"Ayo, Ki. Kita sambut Robby," ajaknya.

Saat kami sama-sama mendekat, akhirnya Bella pun menunjukkan sikap suka dia menyambut kedatangan laki-laki yang baru saja turun dari mobil sedan hitam itu dengan sangat ramah.

"Hei! Robby, kamu ganteng banget," ujarnya. Dia memeluk Robby secara berulang kali, dan membuat aku harus berusaha biasa saja.

"Kamu cantik banget, Bel," puji Robby.

Di sini aku benar-benar sangat terpikat dan terkejut melihat perubahan yang terjadi pada diri Robby. Dia lebih tampan dan terlihat tak seperti Robby yang aku kenal dulu.

"Kamu kerja di mana sekarang? Rapi banget, wangi," puji Bella lagi. Mereka seolah-olah tidak memedulikan keberadaan aku di sini.

"Aku sarjana hukum, S1. Aku mau lanjut lagi, tapi lagi libur kuliah. Jadi, aku sempatkan untuk datang kemari. Hitung-hitung mau jumpa kamu," ucapnya.

Isi pesan yang aku baca melalui ponsel Bella ternyata tidak menjadi kenyataan. Aku benar-benar terkejut dan beranggapan jika Ini semua adalah sesuatu hal yang menyakiti.

"Kiki ... dia masih di sini?" tanya Robby. Ini membuat aku tersenyum lagi ke arahnya dan merasa bahagia, karena akhirnya Robby masih mengingatku.

"Ini. Dia Kiki," balas Bella yang menunjuk ke arahku.

Robby menatapku atas bawah. Dia mengerutkan dahinya dan nampak sangat heran. Ini membuat ekspresi wajahku yang semula tersenyum, mendadak berubah pias.

"Kamu Kiki Riana? Kok," ucapnya dan dia terdengar menyela.

Aku terdiam. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba perutku terasa sakit. Aku mencoba untuk tetap tenang, dan sabar. Tiba-tiba, pandangan kian buram. Perut terasa sangat nyeri, membuat aku meringis kesakitan. Penglihatan sayup-sayup mengajak untuk memejam, juga gelap tiba-tiba. Tidak ada upaya, aku langsung terjatuh di tempat dan tak mengingat apa-apa lagi yang telah terjadi.