Setelah seminggu di rumah sakit, ayah mulai menunjukan reaksi sembuh dan boleh pulang sore ini. Hatiku dan ibu mulai lega dan sedikit bisa bernapas lapang mendengar ayah sudah boleh pulang. Di sini, sambil menunggu surat dan obat dari dokter, ibu pun mulai berkemas untuk pulang. Setelah surat dari pihak rumah sakit keluar, kami langsung pulang ke rumah dengan hati yang sedikit lega setelah berhari-hari dikurung dalam kesedihan.
"Alhamdulillah. Bapak udah dibolehin pulang, ya." Gina. Wanita yang dipanggil sebutan itu oleh orang-orang, terlihat merayu ayah. Aku hanya bisa mengintip dari balik pintu, bersama dengan adikku yang masih terlalu kecil.
"Iya. Bapak udah gak betah, bau obat-obatan."
"Nanti sampai rumah, kan, Bapak bebas."
"Iya, Bu."
"Masakin Bapak makanan enak, ya Bu. Bapak abis pulang dari rumah sakit, mau makan enak-enak."
Ibu diam. Entah apa yang dipikirkan ibu, tetapi aku bisa menyimpulkan jika ini adalah permintaan yang sulit. Aku masih belum bisa mengatakan apa-apa dan berusaha untuk tetap diam.
"I-iya, Pak. Nanti ibu masakin. Sembuh dulu, ya. Bapak sehat dulu."
***
Sesampainya di rumah, ayah pun langsung istirahat. Ada beberapa jam duduk, ada suara ketukan pintu yang datang dari depan rumah.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumssalam."
Ibu berjalan terburu-buru dan ingin membukakan pintu untuk yang mengetuk pintu rumah kami. Setelah pintu dibuka, ternyata di depan sana aku juga melihat ada seseorang berdiri, yaitu sesosok laki-laki berwajah tampan, rapi, wangi dengan rambut yang terarah ke kanan dan klimis. Sepatu yang begitu kilat dan terlihat mewah seperti orang yang sudah sukses, kini nampak mengunjungi kami di sebuah rumah yang sudah mulai reyot dan usang ini. Ternyata, dia adalah pamanku, adik kandung dari ayah. Tanpa berkata apa-apa, pamanku langsung memeluk Ibu dan bertanya, "kakak selama ini kemana aja, Kak? Kenapa enggak pernah ada kabarnya setelah terjadinya tragedi 4 tahun lalu?" Paman mewawancarai ibu sambil menangis.
"Bagaimana kami mau menghubungimu, kalau hape aja kami enggak punya, bahkan jangankan hape, uang pun kami sering tidak punya. Ponakan-ponakanmu selalu kelaparan." Ibu mencoba menjelaskan dengan tangisan yang menimbulkan suara yang selama ini jarang aku dengar. Mungkinkah memang suasana hatinya sepedih ini?
"Intinya aku udah di sini, Kak. Kita bisa kumpul-kumpul lagi."
"Iya, Alhamdulillah."
Supri. Lelaki yang umurnya jauh lebih muda dari ayah dan ibuku terlihat melangkah masuk ke dalam rumah kontrakan ini.
Setelah berbincang-bincang panjang dengan ibu, aku pun menawari paman untuk masuk dan melihat ayah. Di dalam, betapa herannya saat terjadi sebuah suasana yang sangat menyedihkan dan mengharukan untukku pribadi, karena menyaksikan pertemuan antara Abang dan adiknya yang telah lama tidak bertemu. Suasana haru begitu menyelimuti, suara tangisan menjadi inti dari kerinduan yang selama ini tidak pernah terungkapkan.
Paman melihat dan memperhatikan rumah sewa kami yang sangat tidak layak untuk dihuni. Dari sana, karena rasa tidak teganya paman kepada kami, akhirnya paman mengajak kami untuk pindah. Dimana, itu adalah tempat saudara ayah semua tinggal dari mulai nenek dan kakek, wawak dan bibi, juga paman, semua di sana. Awalnya ayah menolak, karena hubungan ayah dan ibu kandung, juga saudara-saudara mudanya tidak pernah baik. Namun, di sini ibuku meyakinkan.
Terlebih yang membuat ayahku tidak cocok adalah ibu ayah selalu terhasut oleh adik-adiknya yang iri terhadap ayah. Paman juga terlihat mencoba membujuk ayah untuk memikirkan masa depanku dan adikku, dan akhirnya ayah mau menerima ajakan paman untuk berkumpul bersama keluarga ayah di suatu daerah yang dimaksud.
"Kapan kita bisa berangkat? Ini udah sore, apa terburu saktinya?" tanya ibu. Lelaki tiga puluh tahunan itu mengangguk.
"Tenang aja, Kak. Kita pasti sampai. Perjalanannya enggak jauh, mungkin sekitar empat sampai lima jam."
"Otomatis sampai malam hari, ya?"
"Begitulah kira-kira."
Om Supri membuat aku mengerutkan dahi. Nampaknya beberapa waktu di sini, aku sudah merasa nyaman. Bukan soal hidup menderita, tetapi soal mata pencaharian yang bisa aku jalani. Aku menjadi lebih mudah menerima respons apa pun yang terjadi, dan ini membuat aku terdiam seketika.
"Gimana, Pak? Supri udah yakinkan kita, apa Bapak juga yakin?"
Mendengar perkataan itu, akhirnya persetujuan pun diterima. Kami langsung memutuskan untuk bersiap-siap dan akan berangkat malam ini juga. Kami tidak peduli akan sampai kapan kau karena ini semua sudah keputusan dari ayah. Apa yang kami lakukan saat ini adalah sesuatu yang tepat. Kami tidak ingin mengatakan apa-apa lagi. Mungkin ini adalah sesuatu yang benar-benar yakin untuk dijalani dan tidak berdasarkan pada pemikiran apa-apa.
*
Pertama kami sampai, kami sudah menelan perbuatan dan perilaku mengherankan, dimana keluarga ayah kumpul dan drama pertama telah dimainkan oleh nenekku dan bibi-bibi di depan pamanku, agar paman tidak marah dan percaya pada ayahku. Jika dipikir-pikir, ini tindakan yang tepat, karena aku berharap paman tahu kalau nenek dan bibi-bibi memang jahat pada kami. Kebaikan demi kebaikan diberikan, makanan demi makanan disuguhkan, bahkan pelayanan mewah pun difasilitasi kan untuk kami, seakan kami hidup di hotel bintang 5. Saat-saat itu, ketika bersama paman, aku benar-benar menikmati suasana saat paman bersama kami, sebelum pulang ke Bali. Akan tetapi, tidak lama semua kesenangan yang kami rasakan bisa dapat kasih sayang dan keikhlasan dari seorang nenek dan bibi bibi akhirnya harus berakhir, karena paman 2 hari lagi harus pulang ke Bali untuk melanjutkan bisnisnya. Tidak terasa, ini lama juga dan akhirnya tiba saatnya paman harus pulang ke tempat yang mengembangkan bisnisnya dan menyukseskan dirinya. Aku sangat sedih dan bahkan tak ingin paman pergi meninggalkan kami lagi, karena memang cuma paman dan kakek yang sayang padaku dan keluargaku.
"Jangan lebai. Ingat, kalian cuma numpang!" bentak Bibi dan nenek yang membuat aku menelan ludah susah payah.
Aku terburu-buru menghindar diri. Mungkin semua yang telah aku jalani dan aku hadapi saat ini adalah sesuatu yang tidak untuk aku ikut campur. Semua ini adalah urusan dari ibu. Sejauh ini mereka tidak mengatakan hal yang lebih buruk dari itu. Jika berani berhubungan macam-macam, aku tidak akan dikasih handphone maju. Aku harus mengatakan dan menyerahkan semuanya pada mereka jika kami datang kemari bukan untuk dihina. Kami juga butuh ketenangan dan dihargai. Aku tak pernah peduli apa yang akan terjadi jika aku mengambil tindakan seperti itu. Bagiku, ini tidak ada salahnya dengan aku benar-benar percaya akan apa yang terjadi ke depannya.
"Bocah ingusan dibilangin malah marah. Awas aja, ya. Dia secepatnya harus mati!" ujar seseorang di sana. Aku langsung diam dan enggan mengatakan apa-apa lagi. Aku masih bisa mendengar, dan berusaha untuk tetap sabar dan diam.