Chereads / Menolak Takdir / Chapter 2 - Pengungsian

Chapter 2 - Pengungsian

Tidak berlama-lama di pengungsian, kami sekeluarga pun akhirnya beralih dari sana. Mungkin suasana dan perasaan-perasaan takut itu kini kian berubah menjadi rasa tenang. Keadaan sekitar pun nampak damai, tidak ada pemberontakan yang terjadi seperti beberapa waktu lalu. Aku sempat melirik ke arah sekitar sebelum pergi dari tempat pengungsian itu, ternyata aku menyadari jika aku adalah anak paling kecil yang masih selamat dalam tragedi Pilu itu.

"Kamu gak apa-apa, Kiki?" tanya Ibu. Wanita empat puluh tahun yang saat ini ada di hadapanku mengusap lembut rambut ini.

"Gak apa-apa, Bu. Kiki masih sedikit takut," balasku.

"Alhamdulillah. Akhirnya keluarga ibu Gina selamat juga, ya. Kita harus bisa bangkit dan mencari kehidupan baru, Bu." Wanita tua yang melebihi umur ibuku terlihat datang. Dia bersama Siska, remaja tiga belas tahun yang kebetulan temanku juga.

"Kamu gak apa-apa, Sis?" tanyaku. Di menggeleng kecil.

"Gak apa-apa, Ki. Tapi aku takut, loh."

"Kiki Riana anak yang baik, ya. Untung aja kamu gak stres lihat kejadian itu." Wanita tua itu menyentuh pipiku. Aku tersenyum dan enggan membalaskan apa-apa.

Kiki Riana, aku biasa dipanggil itu oleh mereka. Aku adalah gadis kecil yang mereka bilang pemberani.

"Oh iya. Kabarnya Pak Iwan gimana? Baik-baik aja, 'kan?" Bu Lina menanyakan lagi. Wajah ibu kian pias dengan helaan napas panjang.

"Udahlah, Bu. Saya gak bisa mikir soal kondisi suami saya. Sepertinya beliau...."

"Kenapa?"

Mereka mendekatkan diri. Aku masih tidak bisa mendengarkan apa-apa dan hanya bisa saling tatap dengan Siska yang berdiri di hadapan.

"Semoga lekas sembuh, ya Bu. Saya turut prihatin."

Bu Lina dan Siska pergi. Mereka sempat memberikan sebuah semangat yang membuat aku ikut diam. Dari arah berlawanan, aku melihat wajah sedih ibu. Kami merenggang dari sana, karena adikku terdengar menangis di tenda pengungsian itu.

*

Dia Minggu telah berlalu. Selama dua Minggu ini juga aku melihat keanehan dalam diri ayah. Beliau terlihat selalu meringkuk. Kakinya dilipat dengan wajah yang terus lesu. Tatapannya selalu melamunkan sesuatu, dengan terus-menerus diam sepanjang hari. Aku bingung. Ibu sama sekali tidak menjelaskan apa-apa selama ini padaku. Terlebih, ibu memang sedang fokus merawat adikku yang masih cukup kecil.

Di sini, kami pun mencoba mengadu nasib di kampung orang. Di tempat yang baru dan suasana baru aku dan keluarga berharap hidup kami jauh lebih baik dari sebelum sebelumnya. Akan tetapi, semua tak sesuai dengan aku dan ibu harapkan. Di kampung orang yang kami tidak ada sanak saudara, ayahku menderita sakit parah. Beliau mengidap gangguan jiwa atau trauma paska tragedi mengerikan yang pernah menghancurkan kampung kami, menjadikan abu rumah kami dan menghancurkan masa depan kami.

Kondisi ayah sangat menyedihkan. Beliau terkadang diam, tertawa sendiri, marah-marah dan tak bisa beraktivitas seperti biasanya. Melihat kondisi ayah sekarang, sebenarnya membuat hatiku dan ibu hancur berkeping keping. Tersayat, dan serasa tak mampu lagi berkata kata. Walaupun beliau memiliki pengalaman hidup yang penuh kemarahan dan kekasaran terhadapku, tetapi aku masih peduli.

Ayah menderita sakit selama 1 tahun lebih, dalam waktu yang selama itu kami berkecamuk dengan keadaan yang memprihatinkan dan kondisi yang penuh belas kasihan.

Di suatu saat, kami benar benar dalam keadaan yang menyedihkan. Ekonomi pun sangat sulit, dikarenakan Ayah yang tak bisa kerja selama terserang penyakit yang beliau alami saat ini, membuat aku dan ibu paksa memaklumi. Aku dan Ibu yang bekerja keras mencari makan untuk sesuap nasi.

Di suatu siang yang terik, kami kehabisan bahan makanan, dan saat itu pula uang sepeser pun tidak ada kami genggam. Bagaimana lagi, jika cacing dalam perut kami pun pasti sudah berdemokrasi menuntut makanan haknya.

*

Aku berpikir jika ayah pasti merasakan lapar juga, karena siang itu pertama kalinya ayah keluar dari kamar dan meminta makan karna perutnya terasa lapar. Hati ibu bercampur aduk dan tidak karuan melihat ayah yang keluar dan seakan menunjukkan reaksi sembuh, lantas membuat Ibu senang bukan kepalang.

"Na, aku mau minta makan. Bisa berikan aku makanan?" Ayah meminta kepada ibu.

Ibu pun menjawab dengan lembut dan khas suara yang bergetar seakan ingin menangis. "Ayah, hari ini kita tidak bisa makan, karena kita sudah gak ada uang untuk beli beras." Ibu menjawab dengan nada lirih dan teramat sedih.

Aku dan ibu berpikir, jika ayah akan memaklumi keadaan seperti yang kami lakukan sekarang, tetapi kenyataannya tidak, karena beliau marah dan melempar semua yang ada di dekatnya; adik kami yang masih kecil pun juga. Di saat itu, aku berteriak ketakutan. Mungkin, jika tidak ada kesigapan ibu, sudah terlemparlah bayi itu oleh ayah seperti layaknya benda-benda yang sudah habis hancur dibuatnya.

Aku mencoba menghentikan amukan ayah, tetapi alhasil aku malah dipukul dan dipaksa hutang makanan di warung yang sama sekali kami tidak tahu apakah pemilik warung bersedia atau tidak untuk memberikan hutang.

Aku coba menolak perintah ayah dan mengalihkan idenya. Namun, terlihat jelas bahwa ayah tidak menghiraukannya dan terus memaksa aku untuk pergi menuruti kemauannya. Jantungku mulai berbisik dan hatiku mulai menggelitik seakan bekerja sama untuk menggagalkan perintah konyol yang ayah berikan padaku. Di saat itu, aku terus melangkah dan berjalan mengikuti celah setapak yang setiap hari menghubungkan kami dengan jalan induk yang sebenarnya. Di sana, aku tetap takut, aku resah dan aku khawatir semua rencana ayah yang akan mempermalukanku di tempat ramai yang penuh pembeli lunas bukan pembeli yang berhutang. Aku memberhentikan langkahku sejenak dan berpikir, "Ya Allah, di manakah aku harus mencari sesuap nasi untuk keluargaku dengan cara tidak berhutang?" Di tengah jalan aku berpikir dan mencari akal. Belum sampai di sana, tiba-tiba saja....

"Dasar anak malas, anak gak tau diri, sudah kuurusi dari kecil, tapi sekali saja disuruh enggak mau menuruti. Apakah kamu mau aku berbuat kasar padamu, hah?" Ayah datang dengan sepeda milik tetangga yang di pinjamnya.

Bugh!

Pukul mendarat di punggung ini. Aku berteriak kasar. Napasku memburu dan jantung seperti begitu saja dipompa kencang.

"Ampun ayah, ampun." Aku berlari menghindari kejaran ayah yang mengejarku dengan sepeda, sambil melayangkan benda keras yang tak mudah terpecahkan oleh benturan. Aku tidak tahu harus berlari ke mana, tetapi selama itu juga, aku bingung harus berbuat apa.

Penderitaan itu kian terhidangkan dan melebihi porsinya. Aku yang kerap merasakan, mencoba untuk diam. Aku sama sekali sulit menerima ini, dan berpikir jika penderitaan itu terus terjadi dan berlanjut setiap hari. Tidak ada yang tahu, apa lagi ibu memang kalah dengan ayah. Aku harus mengiyakan, walaupun terkadang perasaan ini benar-benar menangis sekuat-kuatnya.