Chereads / Menolak Takdir / Chapter 3 - Mengikuti Jejaknya

Chapter 3 - Mengikuti Jejaknya

Setibanya di warung, mataku mulai terfokus akan kelezatan makanan yang ada di steling kaca penjual makanan itu. Ya, tentu saja aku lapar. Aku menelan ludah beberapa kali, hingga mataku hanya bisa menatap lurus ke arah sana dengan nafsu makan yang terus merajalela.

Di satu sisi, tujuanku kemari adalah untuk ditugaskan ayah. Aku bingung harus mulai dari mana aku untuk berhutang. Setelahnya, aku langsung membalikkan tubuh untuk membelakangi makanan enak itu dan ingin segera beranjak pergi, karena pikiranku memberikan sinyal jika aku berhutang bagaimana cara membayarnya?

Saat langkah mulai buta dengan keadaan dan pikiran, aku disadarkan dengan netra yang menangkap sosok ayah yang diam-diam mengintaiku bagaikan hewan buruan yang siap menerkam jika aku bergerak sedikit saja. Aku mulai membalikkan tubuhku lagi dan memberanikan diri untuk berhutang pada ibu penjual itu di warung.

"Bu, apa saya boleh hutang makanannya dulu? Kalau nanti saya ada uang, saya bayar bu. Kasihan adik, ibu, dan ayah saya di rumah pasti kelaparan, Bu." Aku memohon dengan hati yang penuh harap dan jantung yang memburu kencang, karena rasa takut yang berlebihan.

"Enggak! Makanan di sini tidak dihutangkan. Lagian, kamu anak kecil, kok, berani berhutang. Siapa yang mengajari? Orang tuamu, ya? Dipikir-pikir, aku gak perduli dengan nasib keluargamu, karena orang berhutang, semua alasannya sama, sama sama mengandalkan belum makan sudah beberapa hari."

"Pergi sana!" pintanya.

Ibu warung mengusirku dengan kain lap yang ada di pundaknya.

Aku sedih, aku kecewa, aku takut ayah marah, tetapi aku lebih takut jika keluargaku tidak makan semua.

Aku meneruskan langkah ini menuju pulang ke rumah. Di jarak beberapa meter, Ayah menghadangku dengan sebuah pertanyaan-pertanyaan yang tanpa dia pikirkan apakah itu mengurangi pikiran atau malah menjadi beban besar dalam hati.

"Bagaimana, apa kamu berhasil mendapatkan makanan itu?" tanyanya dengan nada ketus.

Di sisi lain, wajah ayah merah dan penuh harapan. Bibir kecilku enggan ingin menjawab, hati kecilku pun menangis merasakan betapa susahnya hidup di perantauan yang tidak didampingi sanak dan saudara. Mengadu pun, pada siapa. Kami tidak tahu siapa yang akan bersedia mendengarkan cerita kami ini.

Aku tersiksa, karena harus terpaksa menggeleng untuk memberikn isyarat kepada ayah jika semua rencana mereka sia-sia.

Ayah pun murka dan mengambil sebatang kayu besar untuk menghajar punggung mungilku dan betis kecilku yang selama ini mendampingi sepasang kaki untuk melangkah kemana pun demi mencari sesuap nasi.

Ayah. Pukulanmu, perlakuanmu, dan ucapan kasarmu tidak mampu membius tubuh dan telingaku, karena yang saat ini berpengaruh besar dalam hidupku adalah kondisi sekarang dan kedepannya bagi keluargaku. Ayah makin frustrasi dan murka terhadap keadaan. Ayah berlari pulang dan meninggalkanku yang sudah tersungkur tak berdaya di atas tanah yang selama ini menjadi pijakan manusia-manusia yang sebagian besar tidak punya hati, salah satunya adalah pemilik warung tadi.

Gelapnya pandanganku, melayangnya pikiranku, membawaku semakin jauh dari suara-suara yang lalu lalang. Di sini, kendaraan dan hewan-hewan kecil pun seolah ikut menyaksikan penderitaanku. Seorang bocah kecil yang seharusnya tidak menerima ini, ternyata malah mendapatkan sesuatu kabar buruk. Hidup penuh penderitaan.

Hanya mengandalkan doa dari ibuku yang menjadi bekal untukku bisa menyaksikan kembali kejamnya dunia untuk kami orang yang tidak punya harta, tahta, dan kekuasaan.

Biji mataku mulai mengintip dunia, apakah aku masih di tempat yang sama atau malah sudah di tempat yang jauh lebih membuat aku bahagia. Namun, ternyata, saat biji mata mulai sayup terbuka, akhirnya semua yang kulihat dan semua yang terlihat masih sama. Kakiku sakit, betisku bengkak, dan punggungku kaku, akibat pukulan gila dari laki-laki empat puluh tahunan itu. Ibu yang mengetahui hanya bisa menangisiku sambil mengelus rambut ini. Beliau menahan isak itu sembari berkata, "nak, besok kita pindah saja, ya. Kita pindah ke tempat yang ada sanak saudara kita, jadi kalau kita susah, masih ada yang membantu kita, ya, nak?" Ibu memelukku dengan air mata yang tak kunjung henti membasahi pipi dan lehernya.

***

Keesokan paginya, kami mulai beberes barang sisa dari kebakaran yang membawa kami ke perantauan penuh dengan penderitaan. Siang itu, kami langsung pindah ke kontrakan yang baru. Setibanya di sana, ipar dari ayahku tidak suka padaku dan keluargaku. Matanya mulai lancang dan tingkahnya mulai mengusik kedatangan kami ke rumahnya.

Tak ingin berlarut larut dalam pandangan tajam bibi ipar, aku segera masuk dan berbenah di dalam, menyusun barang yang menjadi saksi bisu penderitaan kami. Keesokan paginya, aku tidak mau peristiwa di tempat kemarin mengingatkanku di tempat yang sekarang. Untuk itu, aku segera mencari cara agar kami bisa makan dan tidak terhina lagi. Aku jalan-jalan santai sambil refreshingkan otakku yang sempat beku akan sulitnya kehidupan. Tak tenang sampai di sana, karena tiba-tiba saja biji mataku menangkap sinyal dari kejauhan 3 meter, jika di tempat itu ada seorang kakek tua tengah memunguti botol bekas dan koran bekas. Untuk apa? Itulah pemikiranku. Aku mulai menghampiri kakek itu dan memberanikan diri untuk bertanya, bahwa untuk apakah kakek itu memunguti botol-botol tersebut sampai banyak sekali di dalam keranjang, yang kebetulan duduk santai di atas boncengan belakang sepeda kakek tersebut.

"Kek, ada gerangan apa, kok, kakek memunguti botol bekas dan Koran bekas di jalanan?" ujarku yang terdengar berbasa-basi.

Kakek pun menjawab sambil tersenyum malu, "iya nak, apa kamu tidak tau kalau botol-botol dan koran bekas ini laku nak untuk di jual."

"Oh, gitu. Yaudah, Kek. Makasih, ya." Aku berlari meninggalkan tempat. Tidak ada komentar ataupun kata-kata selanjutnya yang bisa kukatakan. Cukup melihat gerak-gerik dan tingkahnya, aku paham dan bisa menyimpulkannya.

*

Aku tiba di rumah dengan tergesa-gesa. Pemikiran ini benar-benar buntu dan seolah didesak oleh keadaan untuk segera buru-buru. Hingga detik ini belum ada yang bisa aku katakan dan aku masih berbuat apapun bertingkah sesuai apa yang aku lihat beberapa waktu lalu. Semua itu mengajari aku untuk bisa hidup mandiri dan beranggapan jika apa yang telah terjadi saat itu juga adalah sesuatu yang bisa dijadikan kutipan untuk bertahan hidup. Aku benar-benar merasa memiliki ide yang cukup cemerlang dan memiliki pencerahan dalam melihat tindakan dan gerakan yang dilakukan oleh seseorang itu. Jika dia saja bisa, mungkin aku tak akan mengkhianati kemampuan ini.

"Aku harus coba. Kakek itu saja bisa, kenapa aku enggak?" Aku meninggalkan ruang tamu dan langsung beranjak mencari-cari karung bekas di dapur.

Pikiranku mulai mengeluarkan ide cemerlangnya kalau mulai besok aku akan mengikuti jejak kakek tua tadi untuk mencari barang rongsokan agar tetap bisa bertahan hidup.