Chereads / Menolak Takdir / Chapter 4 - Pilu

Chapter 4 - Pilu

Di pagi yang cerah dengan matahari yang tersenyum menyambut makhluk makhluk di bumi, aku mulai memikirkan dari mana aku harus memulai kerja untuk mencari nafkah dan menggantikan peran ayah yang sedang tidak bisa bekerja, dan peran ibu yang saat ini fokus menjaga adikku yang masih sangat butuh perhatian di usia beberapa bulan.

Nuraniku mulai mengajak untuk mendekati ibu dan bibir kecilku memulai sebuah pembicaraan. "Bu, hari ini aku mau ubah hidup kita, aku mintak doa ibu, ya?" ujarku. Wanita paruh baya itu seketika mengerutkan keningnya dan tersenyum tipis.

Di sisi lain, saat itu Ibu langsung menghentikan aktivitas yang sedang dia lakukan dan menatap ke arahku sambil mengelus pipiku sambil berkata, "apa yang mau kamu lakukan, Nak? Apa yang bisa dilakukan anak seusia kamu, Nak?" Ibu menarik nafas panjang.

"Ibu tidak usah khawatir, intinya Ibu doakan saja supaya Kiki lancar-lancar, ya, buk?" Aku mulai berpamitan pada ibu dan mencium kedua tangannya. Tanpa menunggu lama, kaki mungilku mulai mengajakku untuk menyusuri jalan yang tak pernah sepi akan kendaraan yang berlalu lalang. Di saat itu pula hari pun makin terik, tenggorokan pun memberi isyarat jika aku sedang merasa kehausan. Panasnya aspal jalanan pun membakar telapak kaki mungilku yang tadinya lembut dan mulus berubah menjadi keriput dan pecah-pecah, seakan sudah berumur puluhan dan ratusan tahun.

Dalam lelah dan bingungku, aku mengistirahatkan bokongku untuk duduk di trotoar jalanan. Tidak kusadari, tiba tiba datang seorang wanita muda yang dari tadi mengawasi gerak-gerikku yang lelah karena belum menghasilkan apa apa. Wanita muda berhati malaikat itu menawarkan aku botol bekas dan diberikan gratis secara cuma-cuma kepadaku, agar bisa dijual untuk menyambung hidup. Aku pun sangat senang dan tidak berhenti berterima kasih pada beliau, karena rasa senangku yang bukan kepalang dan aku bisa pulang dengan membawa sedikit uang untuk kami beli makanan. Bibirku mulai tersenyum lebar dan hatiku mulai beraksi riang, seolah senang, karena aku bisa membelikan makanan untuk keluarga ku yang menunggu aku pulang. Kakiku serasa ingin menyeret agar cepat sampai ke rumah untuk memberi kabar baik pada keluargaku, terutama ibu, orang yang paling berjasa dan menyayangiku sepanjang masa.

Setibanya aku di ambang pintu rumah sewa kami, aku mendapati jika Ibu pun sudah menungguku pulang untuk memberitahuku dan menunjukan jika ayah mulai sembuh dan mengingat semuanya. Dengan kabar baik itu, aku turut senang dan menambah rasa bahagia yang kini makin menggebu dan tak berhenti bersyukur atas hadiah dari Tuhan yang telah kami rasakan. Hari ini adalah hari paling berharga dalam hidupku dan takkan lekang dari ingatanku sampai kapan pun.

***

Kondisi ayah semakin hari makin membaik, dan ayah pun mulai mencari pekerjaan agar aku tidak usah lagi mencari barang rongsokan di pinggir jalan yang terkadang jadi bahan ejekan anak-anak yang sedang menimba ilmu pendidikan di dalam sebuah sekolahan. Saat itu, Ayah pun mendapat sebuah tawaran kerja di sebuah pembuatan batu bata. Tanpa berpikir panjang, beliau pun langsung menerima pekerjaan itu. Aku kebetulan ikut menyaksikan obrolan ayah dengan pemilik usaha batu bata yang akan menjadi mata pencaharian kami mulai detik ini.

Semenjak kesembuhan ayah, beliau memang bisa bekerja, dan kami tidak lagi kekurangan makan.

Namun, itu semua ternyata hanya sesaat, karena berjalan beberapa bulan ternyata ayah menjadi malas-malasan, dan membuat gaji ayah tak lagi cukup. Ekonomi dan penghasilan beliau yang tak mencukupi, mengharuskan aku untuk tetap bekerja mencari barang rongsokan. Saat ini usiaku kian tumbuh remaja dan adik kecilku sudah tumbuh menjadi anak muda yang tampan dan menemaniku kemanapun aku pergi. Suatu hari, aku ingin kembali mencari barang rongsokan dan tiba tiba tangan kecil, imut dan lembut menyentuh tanganku dan berkata, "kak, adik mau ikut kakak kerja, apa boleh?" tanyanya penuh haru. Ini membuatku harus mengiyakan. Wajah tampan dan ekspresi melasnya membuat aku tidak bisa menolak.

Aku pun mengajaknya dan menggendong dia di punggung. Di tengah perjalanan kami yang menyenangkan dan penuh dengan keriangan, ternyata ada sebuah rezeki. Kami melihat banyak botol minuman bekas dan langsung sigap memungutnya. Di saat kami memungutnya dengan bernyanyi, karena terlalu girangnya, tiba-tiba datang laki laki tua yang ingin membeli barang rongsokan kami. Di saat itu, aku pun senang, terlebih tidak harus berjalan jauh untuk menjual di tempat agen. Akan tetapi, tiba-tiba saja aku menolak, karena harga di penjual besar lebih mahal daripada yang mengambil dengan sepeda keliling seperti laki laki tua yang sekarang berdiri di samping kami. Laki laki tua itu marah dan merebut paksa barang kami dan memberi uang 10.000 yang tak sebanding dengan hasil yang biasa kami terima. Aku pun menangis, adikku pun menangis, karena ketakutan. Kemudian, aku pun melanjutkan langkah untuk pulang ke rumah, serta menerima lebih ikhlas. Di pertengahan jalan, hujan deras mengguyur. Aku dan adikku pun berhenti di sebuah rumah bekas bengkel motor, karena hujan yang lebat mengharuskan kami pulang sedikit telat, mungkin juga malam. Setelah hujan berhenti, kami pun melanjutkan jalan pulang. Adikku mulai terasa ngantuk, tetapi biji matanya tidak mau tertutup, karena perutnya yang kosong belum terisi apa-apa membuat dia mengeluh beberapa kali. Di sepanjang jalan menuju rumah, air mata terus berlinang, ditambah lagi adikku bangun dari tidurnya, karena dia melihat ayam goreng yang duduk bertengger di atas piring hias dia balik steling seakan menggoda. Di sini, aku coba mengalihkan pandanganku dan hanya bisa menelan ludah, tetapi adikku yang polos menepuk pundakku yang terasa sudah sakit sejak dari tadi menggendongnya. Aku pun berhenti dan bertanya padanya penuh kelembutan, "ada apa? Kenapa kamu memukul pundak kakak?" Aku pura-pura tidak tau maksud adikku. "Kak, adik mau ayam goreng itu. Ayo, kak, kita beli ayam gorengnya. Kan, tadi kakak uda janji mau membelikan adik ayam goreng, kak?" ujarnya yang membuat mataku hanya bisa menangis, dadaku hanya bisa menahan betapa sesaknya mendengar permintaan adik kecilku yang sederhana, tetapi aku tidak bisa memenuhinya. "Sabar ya sayang, hari ini kakak belum ada rezeky, besok aja ya kita belinya?" Aku mencoba menerangkan. Di sana, adikku pun menarik napas kecewa dan memajukan mulutnya, menandakan betapa marahnya dia padaku, mungkin.

Hujan kembali turun, aku berpikir jika tidak ada lagi pilihan untuk berhenti ataupun menetap di mana, karena ini semua adalah tindakan ataupun keadaan yang benar-benar tidak tepat. Mungkin aku hanya bisa terdiam dan tak mengatakan apapun lagi terhadap keadaan yang terjadi sekarang. Aku hanya bisa menghadapi semua permasalahan ini dengan senyuman dan keadaan yang membuatku harus menelan kejadian ataupun sesuatu yang benar-benar terasa pahit.