Zelin Maheswari si janda kembang yang baru saja berusia 30 tahun ini memiliki pembawaan wajah yang lembut. Rambut hitam panjangnya tetap ia jaga dan rawat hingga kini. Postur tubuhnya ideal. Kini ia bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran hotel bintang 5 di Jakarta. Sejak memutuskan pergi dari kehidupannya yang dulu sebagai istri dari Kevin Danial Radeya, yang merupakan salah satu pengusaha yang berdiri di bawah naungan Grey Tower. Kini ia harus tinggal di salah satu komplek rumah susun yang ada di Kalibata Jakarta.
Zelin memutuskan untuk hidup sendiri dan memilih berpisah juga meninggalkan mantan suaminya Kevin sekitar setahun yang lalu. Karena ia mengetahui kalau suaminya berselingkuh bahkan menyimpan wanita lain yang tertnyata adalah sahabatnya Zelin sendiri.
Zelin sendiri tidak membawa banyak barang yang berkaitan dengan sang mantan suami saat meninggalkan rumah mewah yang lebih dari 5 tahun ia tinggali dengan nyaman. Justru kini ia hidup dari nol lagi, dengan uang tabungan yang ia miliki. Juga deposito warisan dari mendiang orangtuanya. Kenapa ia tidak meminta harta gono-gini? Karena ia tidak mau terlibat apapun lagi, baik itu harta benda yang berupa fisik atau non fisik baik dengan Kevin dan juga keluarga besarnya sang mantan suami.
***
"Zelin, kamu bisa antar makanan ini ke lantai 9?" kata seorang pelayan wanita lainnya yang baru saja menyiapkan meja dorong atau troli stand servis yang di atasnya berisi makanan dan red wine pesanan customer dari hotel tersebut.
Zelin yang saat itu mendapat jatah masuk siang dan baru saja tiba pun hanya bisa menyanggupi. Ia dengan cepat meletakkan tasnya di loker, lalu memakai apron merah di dalam saku apron tersebut ada buku kecil untuk mencatat menu pesanan dan juga pulpen. "Harus aku antar ke lantai berapa?" tanya Zelin sambil mengecek lagi pesanannya sudah sesuai atau belum dengan list menu yang dipesan.
"Lantai 9, Zel. Kamar 905."
"Oh, benar. Baiklah. Semua pesanannya sudah ready jadi aku berangkat sekarang." Zelin tersenyum sambil mendorong troli tersebut. Lalu, melewati selasar resto dan berdiri di depan lift. Lift pun tiba dan ia langsung masuk ke dalamnya. Cuaca di luar tadi agak mendung, mungkin memang akan segera turun hujan. Menjadikan suhu di resto dan lift hotel Queen agak dingin. Bulu kuduknya pun meremang, kedua tangannya menyilang dan mengusap lengannya keatas juga kebawah.
Pintu lift terbuka tepat di lantai 9. Zelin kembali mendorong troli dengan hati-hati. Biasanya pelayan yang akan mengantar makanan untuk pelanggan kamar hotel itu pelayan laki-laki. Tetapi, tadi pelayan yang laki-laki sedang sibuk dengan tamu di resto. Jadi, Zelinlah yang menggantikannya. Tidak masalah, perempuan atau laki-laki dalam tahapan bertahan hidup itu sama saja. Dan sampailah ia di depan pintu kamar hotel 905.
"Permisi, layanan resto," ucap Zelin sambil mengetuk pintu kamar.
Satu detik, dua detik, tiga detik, masih belum ada jawaban. Zelin kembali bersuara namun kali ini melalui interkom yang tersedia di dekat pintu. "Permisi, saya dari resto ingin mengantar pesanan."
Dan kali ini terdengar langkah kaki seseorang mendekat dari dalam. Dalam sepersekian detik, pintu terbuka dan memperlihatkan kepala pria berambut hitam yang basah, berewok tipis, hidung mancung. Sepertinya pria itu baru saja selesai mandi karena terlihat dari rambutnya yang masih basah.
"Masuklah dan tolong rapikan di pojok dekat jendela. Aku ingin makan sambil menatap hujan di luar." Pria tadi membuka pintu lebar untuk membiarkan Zelin masuk sambil mendorong troli. Dan Zelin kaget sekali karena pria itu hanya melilitkan handuk di bagian bawah saja. Sedangkan tubuh bagian atasnya dia biarkan tanpa penutup. Menampilakan roti sobek di bagian perut.
Zelin berusaha bersikap biasa saja sambil menata makanan yang ia bawa tadi di atas meja. Sedangkan pria tegas itu sedang memakai celana pendek dan kaos polos putih.
Posisi Zelin yang memunggungi pria tadi pun kaget ketika pria itu muncul dari balik bahunya.
"Sudah siap?"
Zelin kaget dan menynggol botol red wine yang ada di sebelah kanannya. Air merah itu menyiprat ke kaos putih milik si pria. "Ma-maafkan saya, saya tidak sengaja," ucap Zelin sambil mengambil tissu yang banyak untuk mengelap baju sang pria.
Pria itu hanya menarik napas panjang namun tidak bicara apa-apa. Hal itu justru membuat Zelin takut. Karena orang yang marah lalu terdiam bisa meledak kapan saja. Dan Zelin tidak menginginkan itu. Ia tidak ingin mendapatkan peringatan atau dipecat.
"Sudahlah, biarin aja. Kamu boleh keluar," ucap pria dengan nada dingin.
"Ta-tapi bajunya jadi noda, Pak. Bapak boleh membukanya dan biarkan saya bawa ke binatu hotel." Zelin dengan gugup masih ingin mempertanggung jawabkan kelalaiannya.
Pria itu memejamkan matanya, menarik napas panjang dan berat lalu membuka matanya lagi. "Gak perlu, kamu boleh keluar."
"Ta-tapi Pak, saya jadi tidak enak. Baju Bapak kotor, saya minta maaf. Tolong izinkan saya--" Zelin terdiam saat bibirnya dicubit dengan jari pria yang ada di depannya.
"Kamu keras kepala ya. Cerewet. Padahal saya sudah menyuruh kamu keluar tapi masih aja ngeyel. Baiklah kalau gitu. Temani saya makan sampai makanan dan wine ini habis. Duduk!" perintahnya. Dan kali ini Zelin menurut dan duduk di kursi kosong yang ada di depan pria tersebut.
Zelin meremas ujung apronnya karena gugup dan takut. Takut kalau dicari oleh teman-teman lainnya. Ia juga salah tingkah karena mata pria itu terus saja memandang ke arahnya. Meskipun ia tahu pria itu menatap jendela yang ada di belakangnya. Seakan zelin itu benda transparan.
"Kamu cantik, udah lama kerja di resto?" tanya si pria tiba-tiba. Membuat Zelin agaknya tersentak, karena sejak tadi diacuhkan.
"Uhm, terimakasih, Pak. Saya udah 6 atau 7 bulan bekerja di resto. Jadi masih baru dan butuh banyak belajar lagi." Perasaan takut dan gugup pada diri Zelin semakin menjadi-jadi. Ujung apronnya sudah mulai lecek dan telapak tangannya mulai basah.
"Kamu ini tipe wanita yang banyak bicara rupanya. Aku bertanya satu pertanyaan, kamu menjawab lima jawaban. Kamu gugup?" pria itu menatap tajam ke arah Zelin.
Zelin hanya bisa mengangguk dan matanya menatap piring yang hampir kosong. Karena ia tidak tahan melihat tatapan si pria seakan sorot mata itu akan mengeluarkan sinar laser hijau dan membakar serta melubangi kepalanya.
"Jangan takut, aku gak akan macam-macam dengan pelayan sepertimu. Aku hanya ingin ditemani makan saja. Karena makan sendirian itu gak enak. Zelin M." Si pria menyebut namanya di akhir. "Apa kepanjangan dari M nya?" lanjutnya.
"Maheswari," jawabnya singkat.
"Oh bagus ya namanya. Indah seperti orangnya. Mau wine?"
Zelin menggeleng pelan sambil tersenyum, semoga penolakannya kali ini lebih baik. "Saya sedang bekerja Pak."
"Kalau tidak sedang bekerja berarti bisa?"
Zelin mulai kesal dibuatnya. Ingin rasanya ia menyiramkan wine yang ada di depannya ke wajah pria tampan itu. Namun, logikanya masih bekerja dan memerintahkan tubuhnya untuk lebih bersabar lagi.
"Kok diam aja? Tadi banyak omongnya, sekarang malah bisu. Aku nyebelin ya?"
Pria itu tersenyum miring dan meminum wine langsung dari botolnya. Padahal gelas kristalnya ada di dekatnya.
"Apa Bapak sudah selesai makannya? Biar saya rapikan," ucap Zelin sambil berdiri untuk merapikan. Tetapi dia kaget, karena tangannya ditahan.
"Kamu sepertinya tidak kenal siapa aku ya. Aku masih ingin minum." pria itu masih terus menahan pergelangan tangan Zelin.
Zelin menepisnya, rasanya ingin sekali dia menonjok pria asing yang menyebalkan itu. "Kalau begitu biarkan saya kembali bekerja. Permisi." Zelin memutar tubuhnya dan hendak berjalan menuju pintu. Belum juga tangannya sempat memegang kenop pintu, tubuhnya sudah dibalik dan membuat dirinya kembali terkejut. Pria itu kini lebih dekat dengannya dan sedang menatapnya. Kedua tangan pria itu pun memegang erat bahunya. Tatapan itu kembali hadir dan siap mengeluarkan laser yang akan menembus kepalanya.
"Mau kemana kamu?"
"Lepasin saya! Saya bisa laporkan anda karena sudah melecehkan saya." Zelin mengancam. Sebenarnya itu hanya gertakan saja. Mana berani juga dia melapor, sedangkan dia hanya seonggok butiran debu. Dan yang memegangnya erat adalah pria yang merupakan berlian. Sungguh beda sekali.
"Kamu silakan laporkan saja. Aku memang hanya ingin mencari masalah hari ini. Katakanlah kepada polisi aku sudah melecehkanmu bahkan memperkosamu, silakan. Aku sudah tidak peduli lagi. Yang aku inginkan hanyalah mencari masalah dan dia kembali datang menemuiku. Tidak apa-apa."
Zelin mengerutkan keningnya, sudah gila sepertinya pria di depannya ini. Tanpa sadar Zelin menggigit bibir bawahnya sendiri. Itu hanya kebiasannya saja setiap kali bingung atau gugup. Dan pria yang melihatnya menjadi gemas melihat Zelin yang menggigit bibirnya.
"Biarkan aku yang menggantikannya," ucap si pria.
"Menggantikan apa?" tanya Zelin dengan kerutan di keningnya yang semakin dalam.
"Ini…." pria itu langsung mengecup bibir Zelin. Tidak hanya kecupan tapi sedikit bermain di bibirnya Zelin.
Zelin yang kaget hanya bisa membelalakan matanya. Untuk sepersekian detik ia hanya terpaku dan mematung. Namun, ketika bibirnya merasakah hisapan. Barulah ia sadar dan mendorong si tubuh pria. Refleks ia pun menamparnya. "Kurang ajar, kamu pikir aku wanita macam apa yang bisa kamu lakukan seenaknya. Jangan kamu pikir aku ini pelayan murahan. Anda salah besar."
Zelin membuka pintu dan meninggalkan pria tampan tadi dengan penuh keterkejutan. Zelin berlari meninggalkan kamar juga troli. Ia segera menekan tombol lift karena shock. Untung saja saat masuk ke dalam lift, di dalamnya kosong. Zelin memegangi dadanya, berharap jantungnya akan sehat dan baik-baik saja. Karena saat ini kerja jantungnya lebih cepat dari biasanya.
"Pria itu tampan tapi psikopat, mesum dan menyebalkan. Harusnya tadi dia aku pukul saja pakai botol wine. Dasara sialan." Zelin terus menggerutu sampai pintu lift terbuka. "Semoga aja dia tidak melaporkanku yang macam-macam." saat Zelin memasuki resto, semua temannya sedang menatapnya. Karena sejak sejam lalu Zelin tidak kembali dan membuat semua temannya di resto cemas.