Bagi janda seperti Zelin, yang hidup seorang diri tanpa orang tua dan sanak saudara, diperhatikan oleh orang lain terutama lawan jenis, merupakan suatu anugerah dan bencana sekaligus. Di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, akan sulit sekali menemukan pria single. Pasti yang mendekatinya adalah pria berstatus suami orang atau duda tua.
Sudah tiga hari Zelin tidak masuk kerja, banyak selama itu pula ia mendapatkan kiriman makanan dari David. Tidak pernah terlewat, dari sarapan, siang dan malam. Sebenarnya ia tidak enak karena menerima makanan itu secara cuma-cuma. Jika saja ia boleh berharap, ia lebih berharap jika David yang datang menemuinya. Bukan hanya sekedar kiriman makanannya.
"Hanya mimpi saja," gumamnya suatu malam. Ketika makanan yang dikirimkan David telah habis disantap. Ia membayangkan kalau ada seseorang yang datang mengetuk pintunya, bukan kurir pengantar makanan, melainkan David. Ya, David. "Tidak, tidak, tidak boleh. Jangan berlebihan Zelin. Ingat, semua lelaki sama saja." Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat.
Dan benar saja, pintu rusunnya ada yang mengetuk. Membuat Zelin kaget dan menoleh cepat kearah pintu. "Siapa?" Dengan suara pelan. Semenit kemudian terdengar lagi bunyi ketukan. Dan buru-buru Zelin berjalan ke arah pintu untuk membukanya. "Tunggu sebentar!" Teriaknya. Ketika pintu terbuka, Zelin dikagetkan kembali dengan sosok yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.
"Assalamualaikum. Zelin, gimana keadaanmu?"
"P-pak Robi!" Suara Zelin tercekat. Tenggorokannya seperti tersumbat. "Walaikumsalam."
Pak Robi tersenyum dan memberikan bawaannya kepada wanita yang terpaku menatapnya. "Aku datang ingin menjengukmu."
"Si-silakan masuk." Zelin mempersilakan Robi masuk ke dalam. Dan Zelin melihat seorang pria menunggu di dekat ujung tangga. Entah siapa.
Kenapa harus pak tua ini yang datang! Huh! Dan darimana dia tahu alamatku. Zelin menggerutu dalam hati.
"Maafkan aku membuatmu terkejut, Zelin. Karena aku cemas dengan keadaanmu. Sudah ke dokter?" Robi menempelkan bokongnya pada sofa pendek yang lusuh.
"Sudah, terimakasih sudah mencemaskan saya. Tapi, dari mana Bapak tahu alamatku?"
Robi tertawa dan mengangguk. "Dari manager resto. Aku minta cari tahu alamatmu dari database karyawan."
Meskipun Zelin sulit untuk percaya tapi dengan sopan ia mengangguk. "Saya buatkan minum dulu," ucap Zelin sambil berjalan ke arah dapur.
Robi menelisik tempat tinggal Zelin, tapi buru-buru pria tua itu menundukkan kepala. Bukan ia membandingkan, tapi rasanya sungguh sangat sayang sekali. Zelin itu wanita yang baik, cantik dan menarik. Tinggal di tempat seperti ini rasanya agak mengkhawatirkan.
"Silakan diminum, Pak. Maaf seadanya," ucap Zelin. Memberikan secangkir teh manis hangat untuk tamu yang ada di hadapannya.
"Tidak apa-apa. Maaf ya kalau saya datang malah justru buat kamu repot."
Zelin tampak canggung bicara dengan Robi sejak tahu status jandanya. Sepertinya Zelin berpikir kalau Robi memiliki tujuan dan maksud tertentu kepadanya. Padahal sebelumnya hubungan mereka sangat asyik dan baik.
"Besok aku sudah masuk kerja sepertinya." Zelin sudah tidak betah kelamaan di rumah tanpa melakukan apapun. Semakin lama di rumah justru semakin membuatnya pusing dengan pikirannya sendiri.
"Memang kamu sudah merasa baik?"
"Alhamdulillah, sudah." Zelin menjawab seadanya.
"Tapi, wajahmu masih pucat."
Zelin menunduk ketika pria tua itu menunjuk wajahnya.
"Aku senang saja kalau kamu masuk bekerja. Selama kamu sakit, rasanya tidak ada semangat. Sepi. Mungkin selama ini teman ngobrol yang nyambung ya kamu."
Zelin tersenyum canggung. Duh, pak tua ini ngapain bilang gitu sih. "Mungkin ya." Zelin kembali menjawabnya singkat.
Robi tahu etika dan adab bertamu, apalagi bertamu di rumah wanita muda berstatus janda seperti Zelin. "Aku senang bisa melihatmu. Semoga kamu lekas sehat ya, Zel. Aku pamit. Maaf sudah mengganggu istirahatmu." Robi menyesap teh hangat yang sudah dibuat Zelin untuknya. "Terimakasih tehnya." Robi berdiri diikuti Zelin. "Tidak usah mengantar. Aku bisa keluar sendiri. Kamu istirahat saja." Robi berjalan keluar dan meninggalkan rusun Zelin.
Zelin yang memaku di tempatnya menjadi bingung sendiri. "Wah, pak Robi itu seperti jelangkung saja. Datang tiba-tiba tidak dijemput, pulang juga tiba-tiba dan tidak diantar." Zelin melihat cangkir teh milik tamunya tadi. Sudah diminum setengah. "Apa pak Robi itu tahu aku tidak nyaman dengannya ya! Hmm." Zelin mengedikkan bahunya lalu mengambil cangkir teh tadi untuk dibawa ke dapur. Lalu dicucinya bersih. Setelah selesai, Zelin memutuskan untuk tidur. Tapi sialnya matanya tidak mau terpejam.
Pikirannya kembali melantur antara bayangan David dan Kevin si mantan suami. Zelin wanita normal, pernah merasakan indahnya syahwat yang menggelora bersama Kevin dulu. Kini, ia hanya seorang janda. Kebutuhan biologisnya sudah setahun tidak pernah tersalurkan. Ada keinginan untuk mendapatkan kepuasan sendiri. Dengan Khayalan yang ia miliki. Sayangnya, pria yang pernah ia cintai hanya Kevin dan justru menyakitinya. Itulah yang akhirnya membuat Zelin lupa akan kebutuhan atau desakan itu.
"Memang siap sekali hidupku. Kehilangan orangtua, diselingkuhi suami, lalu kini aku harus hidup menjanda. Jika saat ini aku masih bersuami, pasti hasratku sudah lama tersalurkan." Zelin memegangi dadanya. Rasanya ada keinginan untuk melakukan sendiri. Tapi, ia menggelengkan kepala.
"Tubuh David pasti harum dan seksi. Aku pernah melihatnya waktu awal dulu. Bulu dadanya yang tipis membuatnya semakin seksi. Bagaimana dengan kejantanannya ya?" Zelin kembali menggelengkan kepala. "Sialan, ada apa dengan diriku. Mengapa membayangkan yang tidak-tidak. Astaga, sepertinya aku harus tidur. Benar, aku harus tidur."
Zelin mencoba menutup matanya namun lagi-lagi gagal. Justru dirinya semakin gelisah karena hasratnya yang semakin menggelora. Ia menyerah dan kembali membuka mata. Ia mengeratkan pangkal pahanya yang mulai berdenyut minta disentuh. Dengan ragu Zelin meraba dua payudaranya yang berisi, kebetulan ia tidak memakai bra. Dan benar saja, ujung dua benda sintal itu mengeras.
Zelin menelan salivanya saat tangannya mulai meraba-raba keduanya. Ia memejamkan mata, membayangkan jika David sedang mencumbunya mesra. Hingga tanpa sadar desahan keluar begitu saja dari kerongkongannya. Ia malu mendengar suaranya. Tetapi apa daya, semua sudah tidak dapat ditahan lagi. Dan sampai akhirnya Zelin mengejang karena sampai pada klimaksnya.
Nafasnya tersengal, wajahnya memerah, dan keringatnya menutupi sebagian keningnya. Padahal pendingin ruangan sudah full. "Astaga, apa yang aku lakukan! Benar-benar aku sudah gila. Aku membayangkan David," gumamnya. Dengan perasaan yang tidak karuan dan tubuh lemas.
"Sebaiknya aku mengganti celana." Zelin kembali bangkit dari kasur untuk mengganti celananya yang basah. "Aku rasa tidak apa-apa aku melakukannya. Daripada aku harus menjual diriku pada pria lain. Atau membiarkan tubuhku dijamah pria yang bukan suamiku," ungkap Zelin sambil memandang wajahnya di depan cermin. Lalu ia menunduk.
"Semoga hal ini tidak terulang kembali. Membayangkan David saja aku sudah merinding. Apalagi jika memang benar-benar bercinta dengannya." Zelin langsung memukul kepalanya sendiri. Sambil tersenyum salah tingkah. "Pesona David memang tidak main-main."