"Zelin, kalau boleh tahu, Kevin itu-"
"Mantan suami. Sudah setahun lebih kami berpisah. Tapi, saya tidak menyangka kalau akan berakhir seperti ini." Zelin menggigit bibir bawahnya.
David menatap Zelin dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Saya harus kembali, sebelum ada rumor yang aneh-aneh. Terimakasih."
"Zelin tunggu!"
"Ada apa?"
"Nanti malam ada waktu? Aku ingin uhm… atau nanti aku hubungi lagi. Kembalilah." David tidak jadi menyuarakan apa yang ingin diucapkan.
Zelin hanya mengangguk dan berbalik. Padahal dalam hati ia ingin sekali menghabiskan waktu bersama pria yang sudah beberapa kali menyelamatkan dirinya. Tapi, tidak mungkin kan kalau ia harus duluan yang mengutarakan perasaannya. Saat kembali ke resto, banyak mata memandang ke arahnya. Terutama karyawan resto.
Robi mendekat ke arah Zelin. "Ada apa? Kamu baik-baik saja?" Terlihat raut cemas dari wajah pria yang sudah memutih di rambutnya.
"Aku baik-baik saja. Terimakasih sudah mencemaskanku," ucap Zelin dengan tulus. Saat Zelin kembali bekerja, tidak lama kemudian Kevin kembali ke tempat duduknya bersama temannya sebelumnya. Dan David juga kembali tapi dari arah lain. Sesekali David menatap ke arah Zelin yang sedang menyiapkan makanan.
Setelah semuanya selesai dan pekerjaan Zelin juga usai, ia pun pergi beristirahat. Namun, tidak keruangan yang sebelumnya ia datangi bersama Kevin. Melainkan ia keluar dan duduk di taman sekitaran hotel.
Matanya menatap jauh ke arah rerumputan yang mulai panjang dan bergoyang karena hembusan angin. Teringat kembali peristiwa siang tadi. Ulah Kevin yang semakin kurang ajar padanya dan David yang sekali lagi datang menyelamatkan dirinya.
"Apa aku harus berhenti kerja dan mencari pekerjaan baru?" Ucap Zelin pada diri sendiri. Namun, ia kembali dikejutkan dengan suara yang sangat familiar.
"Memangnya kenapa harus berhenti kerja? Ada yang membuatmu tidak nyaman?" Zelin menoleh mendengar sumber suara dan tersenyum menanggapinya. Ternyata suara Robi.
Robi datang membawa dua botol minuman mineral dan memberikan salah satunya pada Zelin.
"Terimakasih, Pak."
"Ada apa? Apakah masalah mantan suamimu lagi?" Tebak Robi.
Zelin mengangguk pelan sambil menenggak air mineralnya. "Selama menikah dengannya aku tidak tahu kalau dia bekerja di sini."
"Lho, memang dia tidak bekerja di hotel. Dia hanya salah satu pengurus Grey Tower. Masih bagus dia jadi karyawan hotel. Kalau dia dipecat secara tidak terhormat, mau jadi apa dia sekarang? Aku yakin sudah jadi gelandangan." Robi nyerocos dengan menggebu-gebu.
"Jadi, kenapa dia malah diturunkan jabatannya?" Zelin penasaran. Harusnya orang yang sudah memiliki kesalahan sefatal itu sudah pasti dipecat. Penyelewengan yang perusahaan.
Robi menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan pelan. "Kalau dia dipecat begitu saja, namanya lepas tanggung jawab. Kalau dia diturunkan jabatannya, setidaknya dia masih bisa menggantikan uang perusahaan dari uang gajinya. Memberikan efek jera untuk dia juga contoh untuk para pekerja yang lain."
Zelin sekarang mengerti, mengapa sampai saat ini Kevin masih bekerja di tempat itu. "Apa sangat besar?"
"Besar sekali. Sekitar 5 miliar dan entah untuk apa uang itu digunakan."
"Wow… apa sudah lama?" Zelin penasaran.
Robi menggeleng, "tidak. Kevin itu sebenarnya orang yang baik. Salah satu petinggi yang cerdas dan bisa diandalkan selain David. Namun, beberapa bulan lalu ya… hampir mau setahun lah. Semua terbongkar. Tiba-tiba Kevin selalu membawa pulang laporan keuangan. Dan ya ternyata…." Robi merentangkan tangannya.
Zelin ingat betul, Kevin selalu tepat waktu jika pulang kerja. Namun, ketika wanita itu hadir di dalam rumah tangganya, semua berubah. Jika saja hari itu Zelin menolak dan mengusir keberadaan wanita itu, pasti semua akan baik-baik saja. Termasuk rumah tangganya dan pekerjaan Kevin.
"Zelin, apa nanti malam ada waktu?" Tanya Robi tiba-tiba.
Zelin yang sedang melamun agak kaget mendapatkan pertanyaan itu. "Apa?"
"Nanti malam, apakah ada waktu?" Robi mengulangi lagi.
Zelin salah tingkah, dan tidak ingin bersama Robi. Padahal setiap malam, Zelin memiliki banyak waktu luang yang terbuang begitu saja. "Uhm… sebenarnya nanti malam saya sudah ada janji," dustanya. Ia harus melakukan ini untuk menolak secara halus.
Robi hanya tersenyum. "Sayang sekali. Padahal aku ingin mengenalkanmu dengan anakku."
"Maaf ya Pak. Saya udah ada janji lebih dulu." Zelin memasukkan anak rambutnya ke telinga karena salah tingkah. "Saya pamit duluan karena mau ke toilet." Zelin tidak enak dengan Robi hingga akhirnya memutuskan untuk pergi duluan.
~•~•~•~•~
Mengingat kejadian kurang ajarnya Kevin padanya, Zelin merasa trauma dengan laki-laki. Belum lagi Robi yang sudah berumur tapi masih mencoba mendekatinya. Tidak ada bayangan bagi Zelin untuk menjalin kasih dengan pria yang lebih pantas menjadi ayahnya.
"Zelin, kamu sudah mau pulang?" Tanya Robi ketika hari sudah menjelang malam.
"Iya, Pak."
"Mau bareng? Kita searah?" Tawar Robi.
Zelin buru-buru menolak. "Tidak, Pak. Terimakasih. Saya bawa motor."
"Oh, baiklah. Hati-hati di jalan."
Zelin hanya tersenyum. Ia mengambil tasnya dan saat di lobby, ia melihat kalau David sedang berdiri dekat mobilnya. Pandangan matanya pun ke arah Zelin. Agak salah tingkah namun dalam hati senang bukan kepalang. Dan jika tak salah lihat, David tersenyum kepadanya.
Beberapa meter lagi Zelin sampai ke arah David, tiba-tiba saja wanita memakai pakaian elegan nan mewah langsung memeluk David.
"David, Sayang," ucap wanita itu. Ternyata adalah Friska yang baru saja tiba dari bandara. Membuat David maupun Zelin sama-sama kaget.
Zelin langsung berbelok tanpa menoleh lagi ke arah David. Ia mengarah ke arah parkiran tempat motornya terparkir dengan nyaman. Sedangkan David berusaha melepas pelukan Friska, dengan Tatapan mata yang terus saja menatap punggung Zelin yang semakin menjauh.
"Kamu tuh lihat apa sih?" Friska kecewa karena David sang mantan suami tidak meresponnya dengan hangat.
"Tidak. Lepaskan aku Friska. Malu dilihat orang." David berusaha melepaskan tangan Friska yang mengalung di lehernya.
"Biarkan saja. Biar semua orang tahu, kamu itu milikku," ucap Friska yang semakin menempelkan tubuhnya pada David.
David jengah dan dengan sekali hentak, tangan Friska terlepas. "Jangan membuatku marah, Friska." David sebenarnya ingin meninggalkan Friska dan mencari Zelin. "Ada apa kamu kesini?" David menatap mata sang mantan istri.
Friska yang semula kaget, langsung melunak. David memang tidak seperti biasanya. Yang selalu hangat menyambutnya. Tapi kini tatapan matanya agak dingin dan berbeda.
"Dingin banget sih nanyanya," protes Friska dengan memajukan bibirnya.
David tidak biasa berlaku kasar kepada wanita. Ia menarik nafas dalam-dalam untuk menghadapi Friska. "Aku lelah, Friska. Aku mau pulang. Kamu mau di sini atau pulang?"
Meskipun Friska tidak yakin, tapi ia berusaha percaya saja. "Hmm… padahal aku kangen sama kamu. Tidak, aku mau menginap di sini. Aku lelah dan suamiku masih di Amerika. Kamu mau nemenin aku?" Goda Friska.
David menggeleng pelan. "Ya sudah kamu istirahat, aku juga mau pulang. Besok ada meeting pagi." David bersiap naik ke dalam mobil, tapi Friska malah memberikan kecupan pada pipinya David. Membuat David shock.
"Sampai jumpa, hati-hati di jalan." Friska melambaikan tangan.
David diam saja dan langsung masuk ke dalam mobil. Dan bilang kepada sopir untuk Langsung pulang ke apartemen. Padahal David ingin mengobrol banyak pada Zelin. Namun, sayangnya ada hal tidak terduga dan membuat mood David berantakan.
~•~•~•~
Zelin mengendarai motornya dengan sedikit mengebut. Ia lelah dan kecewa. Entah mengapa ia begitu sedih melihat David dipeluk wanita lain. Perasaannya sakit.
"Dasar pria semua sama saja. Sudah ada wanita disisinya malah memberikan harapan pada wanita lain. Sialan sekali." Tak terasa air mata Zelin turun ke pipi. Dan membuat pandangan matanya sedikit kebur. Saat lampu merah, itu kesempatan Zelin untuk menghapus air matanya. "Ah… kenapa aku nangis gini. Harusnya aku sadar diri, David itu tidak mungkin single. Pria sepertimu pasti ada wanita hebat di sampingnya." Zelin terus saja menyadarkan dirinya sendiri sampai akhirnya tidak terasa ia sampai di unit rusunnya.
Ia membersihkan diri dan merebahkan diri. Menghangatkan makanan yang pagi tadi ia buat. Namun, saat makanan itu sudah siap di hadapan, justru selera makannya hilang. "Ya Tuhan ada apa denganku hari ini. Sial sekali hari ini." Ia kembali menyeka air matanya. Entah mengapa hari ini Zelin merasa dirinya begitu sensitif.