Zelin kembali gelisah. Ia juga heran, kenapa hari-harinya selalu diliputi kegelisahan. Semenjak ia bertemu dengan David, hidupnya tidak pernah tenang. Apalagi ketika tahu hatinya terpesona kepada sang duda.
"Apa maksudnya David mengakui kalau dirinya seorang duda? Kalau kenyataannya ia masih berpelukan dengan wanita itu di lobby hotel. CK!" Zelin menggerutu tidak jelas sambil menghabiskan makan malamnya.
"Aku harus mencari pekerjaan baru. Tidak ingin terlibat lebih jauh, apalagi ada Kevin pula di sana. Menyebalkan. Seandainya dia tahu bagaimana rasa sakitnya hati ini dikhianati." Zelin membanting sendok karena kesal. Makanan yang masih tersisa sedikit pun akhirnya mubazir tak dimakan. Karena selera makannya hilang. Ia meletakkan piring dan sendok kotornya ke atas wastafel, lalu segera membersihkannya. Setelah cuci piring selesai, ia membersihkan unit rusunnya. Ketika semua pekerjaan bersih-bersih selesai ia pun bergegas mandi karena tubuhnya mulai kelelahan.
Mandi malam dengan air hangat memang sangat membantu tubuh menjadi lebih rileks. Selesai mandi ia mengenakan daster polos favoritnya. sambil menunggu rambut kering, ia pun naik ke atas ranjangnya tidak lupa ia mengambil ponselnya. Dan ternyata ada beberapa pesan dari David.
'Zelin, sepulang kerja besok apakah ada rencana?'
'Zelin, kamu sudah tidur?'
'Zelin, aku merindukanmu.'
"Wah… ada apa dengannya?" Namun ucapan Zelin tidak sesuai dengan ekspresi yang ia berikan. Senyumnya merekah dan jantungnya berdebar-debar. "Aku harus menjawab apa? Haruskah aku menjawab? Atau abaikan? Kenapa aku jadi bingung gini?" Zelin melempar ponselnya ke ranjang yang kosong, ia pun langsung berguling ke kanan dan kiri karena salah tingkah.
Setelah beberapa saat ia bergelut dengan rasa kebimbangannya, akhirnya ia memutuskan untuk membalasnya. "Aku belum tidur. Baru selesai mandi. Pulang kerja besok, seperti biasa aku langsung pulang."
Zelin ingin mengirimkan kata balasan dari pesan David yang terakhir. Bahwasanya ia juga sama merindukan David. Namun, ia ragu dan kembali menghapusnya.
"Tidak, tidak, tidak. Semua ini belum jelas. Siapa tahu saja dia hanya ingin membuatku kege-eran. Jadi, jangan dibalas." Namun, lagi dan lagi Zelin kembali galau. "Apa aku balas saja? Ah… tidak. Haaa… gimana ini. Ya Tuhan…." Zelin makin tidak karuan. Ia menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal. Sambil mengepakkan kakinya pada sisi ranjang.
Di tempat lain, David juga merasakan hal sama. Ia gelisah. Ia masih merasa kalau dirinya tidak pantas untuk Zelin. Atau hanya pikiran-pikiran jelek saja? Entahlah, yang jelas malam itu David juga berguling - guling di atas ranjang empuknya. "Kenapa dia tidak membalas kata rinduku? Apa dia tidak memiliki perasaan yang sama padaku? Ya Tuhan… kenapa perasaanku seperti ini!"
Akhirnya David membalas pesan dari Zelin.
"Ku kira sudah tidur. Apa sekarang mau tidur?"
Satu detik.
Dia detik.
Baca.
Typing.
'Uhm, sudah siap tidur sebenarnya. Tapi, matanya belum mau terpejam.'
David sumringah. Jantungnya berdebar dua kali lipat. "Zelin, sebenarnya ada yang ingin aku katakan padamu. Tapi, tidak enak jika lewat chat. Ingin ke rumahmu sudah malam. Menunggu esok, tapi malah justru bikin aku nggak bisa tidur. Gimana dong?"
'Memangnya penting ya?'
"Menurutku sih penting."
'Ya sudah, datang saja. Belum terlalu larut juga.'
David senang bukan kepalang, mulutnya terbuka dan tertutup bahagia. Tanpa pikir panjang ia pun kembali membalasnya. "Aku kesana."
Pria yang memiliki brewok tipis itu pun langsung menyambar jaket dan kunci mobilnya. Ia tidak peduli dengan kaos oblong yang ia kenakan. Yang penting, hatinya tenang.
"Mau kemana, Dav?" Robi yang sedang membaca buku di ruang tengah penasaran dengan David yang begitu terburu-buru.
"Mau mengadu nasib, Yah." David tersenyum senang dan berlari keluar dari rumah.
Robi bingung, anak semata wayangnya mau mengadu nasib dengan siapa? Padahal tanpa diadu pun David sudah menjadi pewaris tunggal. "Ada-ada saja anak satu itu." Robi menggelengkan kepala lalu kembali melanjutkan aktivitas membacanya lagi.
~•~•~•~•~
Zelin yang sudah siap tidur, langsung bergegas mengganti pakaiannya dengan setelan kaos dan celana jeans panjang. Dan ia menutup kaosnya dengan cardigan. Ia kembali mempoles wajahnya dengan sedikit bedak dan lipstik pink. Kurang lebih 30 menit, akhirnya David sampai. Ketukan pintu terdengar dan membuat jantung Zelin hampir loncat dari tempatnya.
"Lho, kupikir dia akan menunggu di parkiran seperti waktu itu." Zelin tersenyum sambil menutup mulutnya. Lalu ia bergegas membukakan pintu supaya David bisa masuk.
"Hai, selamat malam!" Sapa David yang terkesima dengan kecantikan Zelin.
"Malam, juga. Masuklah," ajaknya. Zelin jalan lebih dulu dan David dibelakangnya sambil menutup pintu rusun.
Mereka sampai di tengah ruangan, lalu keduanya saling menatap dan berakhir salah tingkah. David menggaruk tengkuknya, sedangkan Zelin tertunduk malu.
'Situasi macam apa ini,' batin David.
"Duduk, aku buatkan minum." Zelin berbalik tapi tangannya ditahan lagi oleh David.
"Jangan kemana-mana, duduk saja. Nanti kalau haus baru minum," ujar David.
Zelin menurut dan ikut duduk di sebelah David. Keduanya nampak canggung. Hening. Hanya terdengar suara tawa samar-samar dari unit rusun lain. Juga suara pendingin ruangan yang berdengung.
David menarik napasnya lalu menatap Zelin. "Zelin, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan."
"Tentu, aku akan mendengarkan."
"Aku menyukaimu." David melipat bibirnya ke dalam. Melihat ekspresi wajah Zelin, yang ternyata datar-datar saja. Padahal David menginginkan Zelin terkejut atau apapun itu.
"Iya, lalu?" Padahal yang Zelin rasakan adalah ingin meledak bahagia. Bagai gayung bersambut, ia tidak perlu susah payah menyukai seorang diri.
"Kenapa kamu tenang sekali, Zel?" David mengerutkan keningnya.
"Lho, memangnya aku harus apa? Melompat? Menjerit? Atau apa?" Zelin meremas jari tangannya sendiri, karena mencoba mempertahankan emosi positif yang menggelora.
David malah jadi salah tingkah lagi. "Apa kamu tidak suka padaku? Maksudku, apa kamu menerimaku?"
Zelin tertawa karena melihat ekspresi David yang seperti anak kecil kebingungan. "Aku suka kok. Menerima kamu? Menerima yang bagaimana?"
"Ya kita kan sama-sama single. Maksudnya, Ya Tuhan, mengapa menyatakan cinta lebih sulit daripada menghadapi ratusan karyawan di rapat terbuka!" David frustasi dan hal itu sukses membuat Zelin tertawa. "Kamu tertawa?" Tanya David.
Zelin perlahan menghentikan tawanya dan menatap hangat ke hazel David. "Iya, aku paham maksudmu. Aku hanya menggoda bosku saja. Ternyata lucu dan aku terhibur."
"Bagus kalau kamu bisa terhibur disaat aku sedang berdebar dan tidak karuan."
Zelin kembali tertawa dan buru-buru mengangguk. "Iya, aku juga suka sama kamu. Maksudnya menyukaimu uhm… mencintaimu. Kamu duda yang mengesankan untukku, Dav. Aku terpesona padamu sejak pertama kali kita bertemu. Di kamar itu, saat kamu menatapku dengan matamu yang indah. Di saat kamu menahanku untuk tetap disana, dan kamu berulah dengan ciumanmu. Sejak itu aku sulit melupakannya. Aku pikir aku gila, tapi yang kurasakan nyata adanya. Aku ingin berada disampingmu saat itu, karena aku lihat kamu sedang tidak baik-baik saja. Ingin memelukmu, dan mengatakan, semua akan baik-baik saja. Tapi, aku tidak seberani itu. Apa lagi saat tahu kamu adalah bosku. Aku ingin menghapus semua perasaan itu, tapi justru kamu semakin mendekat. Aku semakin tidak kuasa."
Mendengar penjelasan Zelin, David merasakan gejolak bahagia yang mulai terurai di dalam perutnya selama ini. Kegelisahan itu kini berganti dengan kebahagiaan. Kepercayaan dirinya kini kembali. Dan bibirnya tidak henti-hentinya tersenyum.
"Tapi, aku takut, Dav," lirih Zelin.
Wajah David langsung berubah, "takut apa?"
"Aku hanya karyawan biasa dari kalangan bawah. Beda denganmu yang merupakan pewaris tunggal. Semua orang mengenalmu."
"Cukup, Zelin. Jangan cemaskan itu. Aku akan melakukan apapun untuk melindunginya. Aku pastikan itu. Jadi, mulai malam ini kamu adalah kekasihku." David mengambil tangan Zelin untuk digenggamnya.
Zelin bahagia namun keresahannya tidak juga hilang.
----> Bersmbung