Zelin dan David pergi berkencan untuk pertama kalinya. Zelin memakai pakaian terbaiknya dress dengan bahan rayon twill yang panjangnya selutut dan memiliki lengan pendek warna Lilac. Serta tas kecil untuk menaruh ponsel dan dompet. sedangkan kakinya yang putih dan panjang memakai flat shoes warna putih. Rambut hitamnya diikat setengah, wajahnya hanya memakai two way cake serta lip matte berwarna pink, sehingga memberikan kesan fresh dan ceria. Sedangkan David masih memakai pakaian kerja ia hanya melepaskan Jas dan memakai kemeja yang lengannya digulung.
Zelin masih tidak menyangka kalau kini dirinya bersama dengan pria yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Zelin tidak henti-hentinya mencuri pandang untuk menatap wajah David yang memang sangat candu.
"Ada yang ingin dikatakan? Sejak tadi kamu terus memandangiku?" David menyadarinya.
Zelin salah tingkah karena tertangkap basah sedang mencuri pandang. "Tidak ada."
"Terus?"
Zelin nampaknya berpikir sejenak, jawaban apa yang harus ia katakan pada David. Sungguh ini sangat membuatnya gugup dan senang. "Aku hanya ingin melihat wajahmu saja. Tidak boleh?"
David mengambil tangan Zelin untuk digenggamnya. Sambil berjalan David meremasnya pelan. "Boleh dong. Apa sih yang nggak kalau untuk kamu. Ehm, tapi beneran deh, aku nggak nyangka bisa merasa sangat nyaman denganmu secepat ini."
"Ah, masa!" Zelin menggodanya.
"Serius. Kamu pakai pelet ya, Zel?" David balik menggoda Zelin.
Zelin tidak terima dan menepuk lengan David. "Enak saja. Emangnya masih jaman pakai pelet-peletan! Padahal waktu awal-awal itu aku tuh sebel banget sama kamu. Tapi, kenapa jadi begini."
"Jadi begini gimana? Memang aku nyebelin ya?"
Zelin hanya mengangguk sambil tersenyum. "Waktu aku ke kamarmu, kamu sangat tampan dan menyebalkan. Aku nggak tahu deh waktu rasanya kesel banget sama kamu. Tapi, waktu itu sepertinya kamu sedang ada masalah, ya?"
David mengajak Zelin berhenti di salah satu restoran, mereka duduk dan memesan makanan. Lalu mereka lanjut bicara.
"Aku memang sedang ada masalah saat pertama datang ke hotel. Dan agak gila," ucap David sambil melihat ekspresi Zelin.
"Mau cerita?" Tanya Zelin.
"Kamu mau mendengarkan dengan senang hati? Karena ini cerita yang membosankan."
"Tentu. Aku suka mendengar cerita. Aku juga suka bercerita," jelas Zelin dengan antusias.
David senang sekali hingga senyumannya begitu merekah. Melihat Zelin yang antusias mendengarkan dia bercerita merupakan poin penting baginya dalam sebuah hubungan. "Baiklah, aku ingat dulu ya. Karena seingatku itu saat bertemu denganmu di kamar itu, adalah hari kesekian aku menginap di sana."
Zelin menatap David, sambil menunggunya bercerita kisahnya. Zelin merasa perlu tahu hal itu, karena ia merasa hal itu akan menjadi salah satu kekuatan baginya untuk lebih mempercayai seorang David.
"Ah, benar. Aku saat itu tertekan dengan banyak hal, Zel. Salah satunya aku masih mengharapkan kembali bersama Friska, mantan istriku. Aku gila karena saat itu aku pikir masih mencintainya. Kebutuhan biologis ku sedang memuncak tapi tidak ada yang bisa membuat hasrat itu terwujud. Lalu, aku didesak untuk mengurus hotel yang hampir bangkrut. Aku pusing karena sejujurnya aku tidak berminat mengurus hotel atau yang berhubungan dengan Grey Tower. Namun, ayahku membujuk dan memohon padaku untuk mengurusnya. Dan pertemuan denganmu adalah malam dimana akhirnya aku menyetujui untuk mengurus tetek bengek hotel dan Grey Tower. Entah itu ciuman atau tamparanmu, rasanya aku sulit membedakan mana yang lebih dominan untukku akhirnya menyetujui permintaan ayahku." David menarik nafas dan menerima makanan yang baru saja tiba. Begitupun dengan Zelin. Namun, sejujurnya dalam hati Zelin ia begitu senang.
Harum makanan yang datang begitu sangat menggugah selera. Steak dan berbagai hidangan lainnya. Untuk seketika Zelin merasakan perutnya berdendang ria. Ia takut kalau terdengar. Tapi, tidak, karena restoran itu menyetel musik romantis.
"Gimana menurutmu, Zel. Apa aku terdengar gila?"
Zelin menggelengkan kepala, matanya sedikit menyipit. "Terdengar gila yang mana lebih tepatnya? Ku rasa semua penjelasan mu itu beralasan. Dibagian kamu yang menyebalkan karena tiba-tiba menciumku itu masih gila bagiku."
Mereka tertawa, benar. Hari itu merupakan momen dimana pertemuan mereka sangat menyebalkan dan mengakibatkan memori terus menerus mengingatnya. Sehingga membuat keduanya akhirnya ingin kembali bertemu dan saling jatuh cinta.
"Itulah sebabnya, Zel. Aku ingin masalah hotel segera stabil dan ingin memperkenalkanmu pada ayah. Juga pada dunia tentunya. Aku ingin menunjukkan, bagaimana cantiknya dan cerdasnya kekasihku." David bangga sekali dengan Zelin. Pertama dengan fisik, kedua dengan hal-hal yang Zelin berikan tiba-tiba padanya. Seperti surprise bagi David. "Makanlah, setelah itu kita jalan-jalan lagi. Apa kamu lelah, Zel?"
"Tidak, uhm, belum. Tapi aku akan bilang kalau aku lelah," ucap Zelin. Tidak lupa dengan senyumnya yang membuat David tiba-tiba berhenti memotong steaknya.
"Aku sangat suka dirimu, Zel. Begitu apa adanya. Tidak jaim."
Zelin memang harus seperti itu. Karena dulu ia pernah begitu hati-hati bersikap demi orang yang dicintainya. Namun, malah ia tersakiti. Kali ini Zelin adalah orang yang berbeda. Meskipun ketakutan itu tetap ada.
"Boleh aku bertanya tentang ayahmu dan juga keluargamu, Mas?"
"Oh, tentu dong. Kamu mau bertanya apa?"
Zelin menatap lekat mata David. Ingin tahu jika pria yang mempesonanya tidak menutupi apapun atau berbohong. "Apa orang tuamu merupakan pendiri Grey Tower?"
"Ayahku. Nama tengah ayahku adalah Grey. Begitulah namaku. Beliau begitu bangga dengan nama itu, hingga saat perusahaan dan bisnisnya melejit, ia mendirikan sebuah gedung. Dimana gedung itu sangat bersejarah bagi keluargaku terutama ayahku. Dari gedung itulah banyak bisnis ayahku yang akhirnya berkembang biak. Dari hotel, restoran, dll. Sedangkan ibuku, dia sudah meninggal sekitar lima atau enam tahun lalu. Di saat ayahku sedang berkembang bersama bisnisnya."
"Oh, maaf aku tidak tahu kalau ibumu sudah tiada," ucap Zelin menyesal. Dan tangannya buru-buru mengusap punggung tangan David yang bebas di atas meja.
David mengambil tangan Zelin yang tadi mengusapnya untuk di genggam. "Tidak apa-apa, Sayang."
Mereka kembali menatap penuh cinta. Makanan mereka pun telah habis disantap. Sayangnya mereka enggan untuk beranjak dari tempat itu. Bukan karena kekenyangan, tapi mereka sedang membuka diri satu sama lain.
"Gimana denganmu, Zel?"
"Uhm, aku yatim piatu sejak aku masih sekolah. Aku anak tunggal, jadi aku tidak tahu rasanya berbagai kasih sayang sesama saudara seperti apa. Pernah aku menyesali kepergian orangtuaku. Saat aku sedang jatuh terpuruk karena pengkhianatan. Karena saat itu yang jadi orang ketiga dalam rumah tanggaku adalah sahabatku. Rapat, pernah menjadi sahabatku. Aku tidak suka ketika dia membawanya kerumah dengan alasan iba. Sudah kularang sebenarnya, tapi mantan suamiku tetap merasa kasihan hingga berujung seperti itu. Namun, kurasa mantan sahabatku itu memang sengaja ingin menghancurkannya. Karena saat sekolah dulu, dia sangat menyukai mantan suamiku. Tetapi, Kevin malah menyatakan cintanya padaku. Aku memang tidak tahu diri saat itu. Kegigihannya Kevin lah yang membuatku akhirnya menerimanya." Zelin rasanya tidak ingin mengingat kejadian itu lagi. Karena rasa sakitnya masih sangat luar biasa.
"Zelin,"lirih David.
"Ya?"
"Kita mungkin sama-sama merasakan sakit yang sama. Tapi, percayalah padaku. Aku tidak akan melakukannya padamu. Karena kita sama-sama masih memiliki orang-orang di masa lalu yang masih ada disekeliling kita, aku mohon kita terbuka dan saling komunikasi. Aku tidak ingin salah paham, jika Kevin mendekatimu. Begitupun sebaliknya, aku akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak kontak fisik kepada Friska. Apapun itu harus dibicarakan. Tapi, percayalah padaku, aku tidak akan melakukannya kepadamu. Karena aku mencintaimu."
----> Bersambung