Chereads / Pesona Sang Duda / Chapter 12 - 12 tamu tak diundang

Chapter 12 - 12 tamu tak diundang

Tidak bisa tidur, gelisah, namun bukan gelisah karena hati tidak tenang. Tapi gelisah karena senang. Mengingat bagaimana semalam David membuat pengakuan bahwa dirinya duda. Dan wanita yang memeluknya adalah mantan istrinya. Apa artinya ini semua?

Apakah David memiliki perasaan yang sama dengannya?

Entahlah, Zelin benar-benar tidak bisa tidur memikirkannya. Sentuhan tangan David yang mendarat di lengannya, rasanya masih menyisakan hangat di tempatnya. Sorot pupil yang coklat tajam nan hangat, rasanya bisa menembus sampai ke dalam isi kepalanya. Sungguh luar biasa, perasaan ini kembali hadir setelah bertahun-tahun lamanya. Tidak. Beda. Perasaan kali ini jauh lebih hangat dan candu.

Zelin melihat jam digital pada ponselnya, yang ternyata sudah pukul 4 subuh. Luar biasa, Zelin sama sekali belum tidur sejak semalam. Sedangkan ia harus bekerja pagi.

"Ya Tuhan, kenapa jadi sulit tidur begini sih!" Di barengi oleh Zelin yang menguap. "Bisakah aku tidur sebentar," gumamnya sambil memejamkan mata. Rasanya nyaman sekali ketika memejam. Ia pun terlelap dalam mimpi indahnya.

Ponselnya bergetar terus, tidak terasa sudah sejam berlalu Zelin tertidur. Ia terbangun karena ponselnya yang menuntut untuk dijawab. Dengan berat hati Zelin menyambar ponselnya dan menjawab panggilannya tanpa membuka mata terlebih dahulu seperti biasanya karena terlalu mengantuk.

"Halo!" Jawab Zelin dengan suara serak khas orang bangun tidur.

'Selamat pagi, Zel. Kamu masih tidur?'

"Siapa ini?"

'Aku Kevin. Tidak kusangka begitu cepatnya kamu melupakanku.'

Mendengar nama Kevin, mata Zelin sontak terbuka. Ia menelan salivanya pelan. Mencerna kembali apa yang barusan ia dengar. Ia takut hanya mimpi.

'Halo, Zelin! Kamu masih mendengarkan?'

Zelin mengerjapkan matanya berusaha untuk tetap sadar dan waras. "Kevin?"

'Iya, aku. Kenapa kaget begitu? Aku ada di depan unit rusunmu. Bisakah kamu buka pintu? Ada yang ingin aku bicarakan.'

"Tunggu! Kamu bilang dimana?"

'Ya Tuhan…'

Bunyi ketukan pada pintu unit rusunnya. Zelin langsung menoleh dengan cepat dan segera berdiri. Tidak lupa ia memutuskan panggilannya dengan Kevin.

"Tahu darimana dia tempat tinggalku?" Zelin berjalan pelan menghampiri pintu unitnya. Ia mengintip dari lubang yang ada di pintu. Ternyata sosok Kevin si mantan suaminya terlihat tampan dan lelah.

Zelin membuka pintu dan membuat celah, "Tahu darimana tempat ini?" Mata Zelin mengering pada Kevin.

"Ya ampun, hal seperti itu aja masih ditanyakan sih. Aku ini mantan suamimu, tidak sulit mendapatkan apa yang aku inginkan." Kevin bicara terus terang sekali.

Zelin menghembuskan nafas lelah, dan masih membiarkan Kevin berdiri pada tempatnya. "Mau apa kamu kesini? Jika hal seperti tempo hari terjadi lebih baik kamu pergi." Zelin hampir menutup pintunya dan ditahan oleh jemarinya Kevin.

"Tunggu! Tidak akan. Aku datang ingin meminta maaf padamu, Zel. Izinkan aku masuk. Aku ingin bicara denganmu serius." Wajah Kevin memelas. "Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi."

Dengan berat hati, akhirnya Zelin membuka pintunya lebar-lebar dan membiarkan Kevin masuk ke unitnya. Kevin terlihat lesu saat berjalan melewatinya. Wanita itu bisa melihat kalau Kevin tidak seperti dulu saat masih berstatus suaminya. Sekarang terlihat nampak 'tua'.

Kevin duduk di kursi dekat meja makan. Sambil menelisik seluruh ruangan yang ada. Agak menyedihkan karena sang mantan istri harus tinggal sendirian di rusun. Tapi, Kevin bersyukur ternyata mantan istrinya masih bisa hidup dengan layak. Beda dengan dirinya saat ini.

"Kamu beneran baru bangun tidur?" Tanya Kevin melihat tanda kehitaman di bawah mata Zelin.

Zelin hanya mengangguk lalu melipat tangannya ke dada. "Kamu mau bicara apa? Setelah itu cepat pergi."

Kevin tersenyum sedih. "Sepertinya kamu sangat membenciku ya," ucapnya lesu.

Zelin mengerutkan keningnya lagi lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak! Itu hanya asumsimu saja. Aku tidak membencimu, hanya saja aku tidak ingin berhubungan lagi denganmu. Apapun bentuk hubungan itu, aku tidak mau."

"Jahat sekali, Kamu. Apa kamu sudah punya kekasih? Ah… benar juga. Apa sekarang kamu berpacaran dengan David?"

"Bukan urusanmu, Kevin. Cepatlah pergi kalau tidak ada yang penting untuk dibahas," ucap Zelin tegas dan melangkah ke arah pintu. Namun, tangannya ditahan Kevin.

"Tunggu, tunggu dulu! Jangan begitu, Zel. Aku benar-benar ingin mengatakan sesuatu padamu." Kevin melepaskan pegangannya pada Zelin. "Duduklah, aku ingin bicara."

Zelin menurut dan duduk berhadapan. Zelin melihat kalau Kevin serius ingin mengatakan sesuatu padanya. Jadi ia menurunkan egonya.

"Maafkan aku soal tempo hari lalu. Aku benar-benar tidak bisa mengontrol diriku. Aku merasa kalau diriku rindu sekali denganmu, hingga aku lupa kalau kamu bukan lagi istriku. Maafkan aku, Zelin." Kevin menatap wanita di depannya dengan tatapan lembut dan memohon.

Zelin mengangguk pelan, "ku maafkan."

Kevin seperti sedang menimbang dan mencari kata-kata yang baik untuk diucapkan. Tapi, ia tidak menemukannya sama sekali. Kevin hanya berharap apa yang ia katakan saat ini bisa menjadi pertimbangan bagi Zelin.

"Ada apa lagi? Aku harus pergi bekerja." Zelin melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Ia juga mengambil ponselnya untuk meminta izin karena terlambat.

"Aku ingin rujuk, Zelin."

Zelin tidak salah dengar. Tangannya yang sedang memegang ponsel seketika rasanya tak bertulang. Zelin menatap ponselnya yang tergelincir dan jatuh. Lalu, Kevin mengambilnya dan memberikan kepadanya lagi.

"Zelin, kamu tidak apa-apa?" Kevin kaget melihat respon Zelin yang tiba-tiba seperti tidak bernyawa. "Maafkan aku jika ini mengejutkanmu, Zel. Tapi, aku sungguh-sungguh ingin rujuk. Aku menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Zelin?"

Zelin menatap Kevin dengan tatapan tajam. "Kamu sudah gila?" Suaranya seperti mendesis karena menahan amarah. Zelin tidak suka dengan apa yang dilontarkannya. Seperti tidak berdosa dan tidak pernah terjadi apapun padanya. Zelin murka karena selama ini ia mencoba menyembuhkan trauma nya sendirian. Dan kini pria itu datang tanpa rasa malu mengajak rujuk.

Kevin agak takut mendapatkan ekspresi seperti dari Zelin.

"Kamu tahu berapa lama aku harus menyembuhkan lukaku karenamu? Kamu tahu berapa lama aku harus tetap waras untuk tetap bertahan hidup, dengan angan dan harapan yang sudah kamu hancurkan? Kamu tahu–"

"Iya, aku tahu semuanya," jawab Kevin ikut emosi. "Tapi, tidak bisakah kamu beri aku kesempatan–"

"Kesempatan apa, Hah? Kesempatan untuk mengulanginya lagi? Idiot." Zelin maraht sambil mengepalkan tangannya. Ia rasanya ingin sekali memukul Kevin. "Sudahlah,Kev. Jangan ganggu aku. Ini masih pagi, dan jangan merusak hariku dengan omong kosong mu."

"Omong kosong? Kamu bilang omong kosong? Kamu yang bodoh, Zel. Tidak bisa menghargai usahaku," timpalnya.

Zelin menarik napas panjang lalu menghembuskan lagi. Supaya emosinya mereda. "Aku memang bodoh, masih meladeni orang sepertimu. Usahamu sungguh luar biasa. Pergilah." Zelin mengusir Kevin dengan tegas.

Kevin agaknya menyesali perbuatannya karena sudah membodohi Zelin karena terbawa emosi. Harusnya ia bisa lebih sabar untuk mendapatkan Zelin kembali.

"Pergi!" Kali ini dengan tatapan mata Zelin yang tajam.

"Zelin, aku yakin kamu akan menyesal," ucap Kevin akhirnya dan ia keluar dari unit rusun Zelin.

Zelin bernafas lega ketika akhirnya Kevin pergi dari situ. Ia memegangi dadanya yang berdebar sangat cepat, mengatur nafas karena emosinya yang hampir meledak, dan ia menangis.

"Hari sial apa lagi ini!"