Bab 6 Pesona Sang Duda
Zelin melamun di depan makanan yang sudah siap untuk diantar ke para tamu yang datang. Wajahnya agak pucat, dan tubuhnya terasa ngilu di beberapa tempat. Mungkin efek beberapa malam dirinya sulit tidur dan memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan.
"Zelin, meja nomor 9 menunggu," ucap salah satu rekannya.
"Oh, iya. Segera diantar." Zelin mendorong troli dan keluar dari dapur membawa makanan untuk meja nomor 9.
Suasana resto hotel ramai sekali hari itu. Sebenarnya selalu ramai, terutama siang dan malam hari. Selain makanannya enak, tempatnya juga bagus dan membuat nyaman. Tiba-tiba saja Zelin dikejutkan oleh suara yang bicara dengannya.
"Zel, ada yang ingin bertemu denganmu." Rekan kerja Zelin yang bernama Indah bicara dengannya.
"Siapa?"
"Temuin aja, di kamar 201."
Zelin menolak secara halus. "Maaf, Ndah. Aku nggak bisa. Apalagi tidak jelas orangnya." Zelin mendorong troli lagi dan masuk ke dalam area dapur.
Indah memutar bola matanya. "CK! Jangan belagu gitu lha. Aku tahu kamu janda." Indah bicara seolah dirinya tahu kehidupan Zelin.
Zelin menoleh dan menatap tidak suka. Memangnya kenapa dengan janda? Ada yang salah dengan status janda yang ia sandang kini?
"Terus kenapa?"
"Ya... aneh aja. Masih muda udah jadi janda. Biasanya janda cerai itu tidak terhormat. Karena alasannya pasti si perempuannya yang nggak bisa jadi istri yang baik." Indah melipat tangannya di dada dengan santai.
Zelin kesal, rekannya yang bernama Indah juga selama ini tidak pernah bicara dengannya. Kenapa sekalinya bicara mulutnya seperti kaleng rombeng. Mengesalkan. Untung saja Zelin memiliki stok sabar yang kelebihan.
"Uhm... aku memang janda cerai. Tapi, aku tidak seperti yang kamu pikirkan. Maaf ya Ndah. Aku sibuk." Zelin langsung meninggalkan Indah tanpa menoleh lagi.
Indah kesal dan langsung mengambil ponselnya dari dalam saku. Sebenarnya tidak dibenarkan memegang ponsel saat jam kerja. Tapi, Indah memang nekat.
[ Maaf Pak. Saya gagal membujuk Zelin ke kamar 201.]
Dan balasannya hanya [ oke ].
Zelin merasa semakin hari ada saja orang aneh yang datang dalam hidupnya. Dari Pak Robi, terus sekarang Indah. Entah ada angin apa, si Indah bicara dengannya dan sok akrab dengannya. Seakan tahu kehidupan pribadinya seperti apa. Bisa saja Indah mencuri dengar saat ia dan Robi sedang bicara kapan hari lalu. Zelin merasa jengah sambil memijat pelipisnya.
"Zelin, sedang apa di sini?"
Zelin menoleh dan melihat Robi sedang berjalan ke arahnya. Ia hanya tersenyum kepada pria yang sudah paruh baya itu.
"Sakit?"
"Nggak tahu, Pak. Agak greges badannya," keluh Zelin.
Robi semakin mendekat dan menyentuh kening Zelin. "Lho, kamu demam. Pergi ke ruang kesehatan aja."
Zelin memang merasa tubuhnya semakin tidak enak. Agak sempoyongan dan kepalanya semakin berat juga lemas. Padahal baru dua jam Zelin bekerja.
"Apa perlu aku antar?" Robi menawarkan diri.
Zelin menolak buru-buru, karena ia takut kalau chef di depannya ini menaruh harapan berlebih padanya. "Tidak, Pak. Tidak usah. Saya bisa sendiri. Tapi, saya boleh minta tolong?"
"Tentu. Tolong apa?"
"Bilang kepada supervisor aku izin. Nanti kalau sudah agak baikan aku kembali kerja."
"Oh, pasti itu. Nanti kalau bertemu, akan aku bilang padanya. Sekarang pergilah ke ruangan kesehatan. Minum obat dan istirahat. Wajahmu tidak enak dipandang. Pucat." Robi menunjuk wajah Zelin dengan tangannya.
Zelin hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu, berjalan melewati Robi dan beberapa rekan kerja lainnya. Sambil memijat pelipisnya, Zelin berharap semoga saja ia kuat untuk berjalan sampai ke ruangan kesehatan. Karena kakinya mulai lemas. Ruangan kesehatan sendiri ada di lantai ground. Yang berarti Zelin harus naik lift satu lantai atau meniti anak tangga. Awalnya ia berdiri di depan pintu lift, namun selalu penuh. Dari 4 lift selalu ramai. Dan itu membuat Zelin semakin lemah. Akhirnya ia memutuskan untuk naik tangga saja. Dengan langkah kaki yang mulai berat, Zelin perlahan meniti satu persatu anak tangga.
Namun, Zelin merasa jika dirinya lagi-lagi sedang diikuti seseorang di belakangnya. Ia perlahan menoleh, rasa kagetnya membuatnya hampir terjatuh. Untung saja orang itu sudah siap dengan segala kemungkinan.
"Zelin, hati-hati." Seorang pria yang sudah menahan tubuh Zelin supaya tidak jatuh.
"Sedang apa kamu di sini?" Zelin berusaha melepaskan pelukannya dari seorang pria yang ternyata adalah Kevin.
"Zelin, jangan marah dulu. Kamu sakit. Ayo aku antar ke ruangan medis," ucap Kevin. Pria itu tidak peduli dengan penolakan yang dilakukan Zelin. Yang penting baginya, Zelin baik-baik saja.
Zelin kesal karena harus bertemu dengan Kevin dalam situasi yang seperti ini. Ingin menolak, tetapi kondisinya terlalu lemah. Jadi, ia menurut dulu saja hingga sampai ke ruangan medis. Zelin, merasakan dekapan dari Kevin. Tubuh yang pernah ia rindukan. Tapi, kini rasanya berbeda bagi Zelin. Asing.
Akhirnya mereka sampai di depan ruangan yang di depan pintunya tertulis medical room. Ruangan yang memang diperuntukkan bagi pegawai atau karyawan hotel dan resto yang sakit. Serta ada dokter juga di sana.
Kevin mengetuk pintu dan ada suara dari dalam untuk menyuruh mereka masuk. Kevin dengan sigap membantu Zelin masuk ke dalam ruangan.
"Ada apa?" Tanya seorang dokter perempuan bernama Nora.
"Tolong, sepertinya istriku sakit." Kevin memapah Zelin sampai ke ranjang.
Zelin sudah mulai tidak sadarkan diri. Tapi, ia masih bisa mendengar kata 'istri' dari mulut Kevin. Ingin rasanya Zelin menampik. Tapi, tubuhnya yang semakin lemas dan lemah, membuat ia semakin kehilangan kesadaran.
"Zelin!"
Suara itu pun hilang dan gelap.
•°•°•°•°•°•
David pulang meeting dengan klien, sengaja ingin makan di resto hotel. Intinya ia ingin bertemu Zelin. Sayangnya, sampai di resto ia tidak menemukan Wanita yang ia cari. Ketika yang melayani dirinya karyawan lain, Davin pun celingukan.
"Uhm, maaf, boleh tanya?" Kata David pada Indah.
"Iya, Pak. Silakan."
"Zelin kemana? Kenapa tidak kelihatan?" Mata David masih menelisik sekitar.
Indah merasa tidak suka, karena sejak pagi semua orang peduli kepada Zelin. "Sakit. Sejam lalu dibawa ke medical room."
David merasa ada yang tidak beres dengan jawaban Indah. "Baiklah, terimakasih."
Tanpa pamit Indah berjalan meninggalkan meja David. Dan dia pun mendumal, "apa istimewanya si Zelin sih. Janda gatel."
David mendengar itu, tapi ia terus melanjutkan makannya. Meskipun rasanya sudah tidak selera dan ingin buru-buru ke medical room. Rasanya tidak nyaman, tapi dia tetap menelan makanannya yang sudah pasti dimasak oleh ayahnya, Robi.
Akhirnya David menyelesaikan makannya. Lantas, ia bicara pada Johan, sekretarisnya. "Kita ke medical room dulu."
Johan hanya mengangguk pelan.
David pun beranjak dari kursinya dan menoleh sebentar ke arah resto. Untuk melihat apakah Robi melihatnya. Tapi, ternyata tidak ada. Jadi, David melanjutkan perjalanannya menuju tangga.
"Pak, tidak naik lift?" Tawar Johan.
David menggeleng, "pencernaanku agak sakit. Jadi, harus dilemaskan dulu." Sambil menunjuk tangga di depannya.
Johan kembali mengangguk tidak bisa berbuat apa-apa, jika atasannya sudah mengatakan seperti itu. Menaiki anak tangga yang sebenarnya hanya sekitar lima belas anak tangga, membuat jantung David berdebar cepat. Entah karena lelah atau memang gugup akan menemui Zelin? Rasanya semuanya sama bagi David.
Setelah sampai, David melihat seseorang keluar dari medical room. David pun menghentikan langkahnya. Zelin keluar dari pintu itu, tetapi diikuti seseorang lainnya dari dalam.
"Biar aku antar," Kevin menawarkan diri. Namun mendapatkan perlawanan dari Zelin.
"Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Tolong, jangan ganggu aku." Zelin merintih dan menepis tangan Kevin.
David melihat Zelin diperlakukan seperti itu, membuat David emosi. Pria itu mengepalkan tangannya.
"Zelin, jangan keras kepala. Kamu itu tidak punya siapa-siapa selain aku!"
Zelin dengan sekuat tenaganya menyalang ke arah Kevin. Ia tidak peduli seberapa lama ia pernah tidur bersama Kevin. Namun, perlakuan Kevin kepadanya itu sangat menyakitinya. "Jangan merasa dirimu paling tahu hidupku, Kevin. Menjauh lah dariku." Zelin melangkah berusaha pergi dari Kevin. Baru dua langkah, sudah sempoyongan dan hampir jatuh.
Kevin sudah hampir menangkap Zelin. Namun, tangan kekar lainnya sudah lebih dulu menangkapnya. David, sudah mendekapnya.
Zelin membuka matanya dan kaget melihat David sedekat itu. Sedangkan Kevin kembali memposisikan tubuhnya dengan hati kecewa.
"Aku ada disini, kamu baik-baik saja?" Tanya David cemas.
Zelin memaksakan senyumnya tapi bagi David itu cantik.
"Aku antar kamu pulang!" David mengatakannya dengan lembut nan tegas untuk Zelin. Dan menatap tajam ke arah Kevin, berharap Kevin mendengar ucapannya dan meninggalkan Zelin bersamanya.
"Biar saya saja, dia istriku," ucap Kevin. Menatap tidak suka kepada David. Meskipun David adalah bosnya saat ini, tapi jika menyangkut urusan Zelin dia tidak peduli.
David kaget. Lalu menatap Zelin minta pembenaran. Tapi, Zelin menggelengkan kepalanya.
"Bukan," ucapnya dengan sangat pelan. Suara itu hanya bisa didengar oleh David.
Kevin sudah maju selangkah untuk menyentuh Zelin. Tetapi, David lebih percaya ucapan Zelin dan menjauhkan tubuh Zelin dari Kevin. "Aku akan mengantarnya pulang. Kembalilah bekerja," titah David kepada Kevin. Dan langsung menggendong Zelin ala bridal style.
Tangan Kevin seakan hanya menggapai angin, dan langkahnya terhenti. Mendapatkan perintah langsung dari atasannya dan melihat mantan istrinya digendong oleh pria lain. Sesak melandanya, hingga akhirnya ia hanya bisa mengepalkan tangan menahan amarah.
Semua mata tertuju pada pasangan yang kini sedang menunggu lift. Johan masih mengekor di belakang David dan Zelin yang masih berada dalam gendongannya.
"Pak, turunkan saya. Malu," desisnya.
David melirik Zelin sesaat lalu menatap tajam ke arah pintu lift yang terbuka. "Aku akan lebih malu jika kamu berjalan sempoyongan disampingku."
Dengan posisi seperti ini, Zelin bisa melihat lebih dekat wajah David yang bersih dan rahangnya yang tegas. Bahkan, rambut yang baru saja tumbuh di sekitar dagu hingga jambangnya, membuat pria yang kini sedang menggendongnya terlihat seksi. Membuat Zelin berdebar.
"Jo, siapkan mobil dan reschedule ulang jadwal hari ini. Aku akan mengantarkan wanita ini sampai rumahnya. Kamu urus semua urusan di sini," titah David.
Johan hanya mengangguk untuk menjalankan perintah. Dan menelepon seseorang untuk meminta menyiapkan mobil di depan lobby.
Semua mata tertuju pada David dan Zelin. Namun, dengan tegasnya David terus berjalan tidak peduli dengan tatapan dan bisikan yang ada. Hingga sampai di depan mobil Mercedes Benz berwarna putih sudah menunggu mereka. Dengan perlahan David menurunkan Zelin dan membantunya masuk ke dalam.
Zelin seperti mayat hidup yang hanya menurut saja, tanpa menoleh ke belakang lagi. Setelah mereka sudah duduk di dalam mobil, Zelin baru ingat kalau barang-barangnya masih berada di loker.
"Tasku!"
David menatap Zelin. Lalu menelepon seseorang, "tolong bawakan tasnya."
Zelin takjub dan malu dalam waktu yang bersamaan. Ia tidak sanggup menatap mata pria yang berkharisma yang saat ini duduk di sampingnya. Hingga seseorang mengetuk jendela dan memberikan tasnya.
"Terima Kasih," ucap Zelin pelan. Dan David hanya tersenyum.
"Dimana rumahmu?" Tanya David.
"Kalibata. Uhm- rusun kalibata," ucap Zelin gugup.
David mengangguk lalu gerakan matanya seperti menatap spion di depannya. Supir mengangguk dan mobil pun melaju.
Zelin bingung harus berbuat apa, untung saja ia dalam kondisi sakit. Jadi, tidak perlu banyak bicara atau mencari percakapan. David pun diam saja, hanya beberapa kali meliriknya.
'Sepertinya aku akan sakit parah, karena jantungku berdebar cepat.'
----> Bersambung