Chereads / Pesona Sang Duda / Chapter 2 - 2 Pria itu David Lian

Chapter 2 - 2 Pria itu David Lian

Zelin sebenarnya beberapa kali mencari tahu siapa yang tinggal di kamar 905 di hotel Queen. Kamar yang biasanya saja, namun penghuni nya tidak biasa-biasa saja. Selain tampan, juga menyebalkan. Zelin tahu pria itu hanya sedang stress atau dalam tekanan. Karena ia ingat pria itu berkata, 'supaya dia kembali padaku' yang mungkin maksudnya adalah kekasihnya atau istrinya.

"Zel, ini antarkan lagi makanannya." Seorang chef pria keluar dari dapur sambil membawa sepiring nasi goreng juga teh panas.

Zelin mengerutkan keningnya. "Tumben banget sesederhana ini." Maksudnya adalah menu makanannya.

"Iya, si bos lagi pengen makanan sederhana katanya. Dan supaya istimewa ya kamu yang antar." Chef yang bernama Robi pun tersenyum geli.

Sudah beberapa hari ini Zelin menjadi pelayan pesan antar untuk kamar 905. Rumor yang beredar, penghuni kamar itu adalah seorang pengusaha ternama. Tetapi karena kesederhanaannya lebih memilih tidur di kamar biasa.

"Kan ada yang lain, Pak. Saya itu takut kalau ke sana lagi." Zelin mencurahkan isi hatinya kepada sang chef.

"Enggak apa-apa kok. Dia orang baik. Jangan ditinggalkan di depan pintu lagi ya. Semua pekerja hotel udah denger tuh masalah kamu yang sering ninggalin troli makanan di depan kamarnya. Enggak enak kan kalau nama kamu jelek, terus resto kita juga jadi jelek. Dianggapnya kamu tidak ramah." Robi mencoba menasihati Zelin dengan sabar.

Zelin menarik napas, ingin membantah tapi ia masih butuh uang untuk Bertahan hidup. "Hmm, iya deh. Aku coba."

"Nah, gitu dong. Semangat ya Zel." Robi memberikan semangat sambil mengangkat tangannya.

Zelin hanya tersenyum paksa, lalu mendorong troli nya keluar dapur. Saat di depan resto, karyawan lain hanya menatap kasihan juga memberikan semangat. Pasalnya, pria 905 tidak akan mau makan jika makanan itu bukan Zelin yang antar. Sampai mengancam akan mengadukan resto ke food blogger karena tidak sopan kepada pelanggan. Supaya reputasi resto dan hotel itu turun dan jelek. Namun itu semua hanya akal-akalan saja.

Seminggu ini Zelin sengaja hanya mengantar makanannya sampai di depan pintu saja. Ketika pintu terbuka, Zelin buru-buru lari dan meninggalkan troli. Ia sangat menghindari bertatap mata dengan pria 905 itu.

Saat sudah di depan pintu kamar 905, Zelin ragu. Apakah ia akan mengetuk pintu, atau memanfaatkan interkom kamar. Untuk melakukan keduanya, ia butuh mental yang kuat. Akhirnya ia memutuskan untuk menarik napas sejenak sambil menutup mata.

Akhirnya Zelin membuka mata, tepat saat itu juga pintu kamar 905 terbuka. Dan menampakkan pria dengan brewok tipis, memakai kemeja yang digulung bagian lengan. Lalu kancing dilepas sampai ke tiga bagian. Nampak dadanya yang bidang membuat Zelin kesulitan menelan salivanya sendiri.

"Aku sudah menunggu dari tadi, ayo masuk," ucap pria itu. Membuka pintu lebar-lebar supaya Zelin bisa masuk sambil mendorong troli makanannya.

Zelin pun masuk dengan jantung yang berdebar tak menentu. Bahkan rasanya ia bisa mendengar bagaimana bunyi detak jantungnya sendiri karena gugup dan takut. Bukan takut hal yang sama akan terulang. Tetapi takut dengan matanya yang selalu melihat pemandangan seksi. Ingat, Zelin adalah seorang janda. Setahun sudah kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi. Jadi wajar ketika melihat pria yang bisa dikatakan hampir sempurna ada di hadapannya.

"Apa kamu baik-baik saja?" Tanya pria itu kepada Zelin, ketika pria itu melihat Zelin menatapnya tanpa kedip.

"Ah-eh, maaf saya tidak sopan." Zelin menunduk sambil memindahkan piring dan cangkir teh ke meja.

Zelin merasakan pria itu masih menatapnya. Namun kali ini ia tidak mau kalah hanya dengan tatapannya saja. "Silakan dimakan Pak hidangannya," ucap Zelin dengan sesopan mungkin. Lalu izin pamit untuk keluar dari kamar.

Hal itu pun terjadi lagi, Zelin tertahan oleh tangan kekar milik si pria brewok ittu. "Jangan pergi dulu. Aku -ada yang ingin aku bicarakan. Please, dengarkan."

Zelin tidak punya pilihan selain balik menatap dengan tajam. "Tolong jangan hambat saya dalam bekerja."

"Apa kamu gak nyaman sama saya?"

"Iya, saya tidak nyaman selalu disuruh mengantarkan makanan Anda ke kamar. Anda masih sehat, memiliki dua kaki utuh, wajah yang tampan, kenapa tidak Anda manfaatkan saja tubuh Anda untuk turun ke resto dan makan di sana. Kalau memang tidak mau repot silakan pesan, tapi jangan saya yang harus mengantarkan untuk Anda. Yang lain banyak." Zelin akhirnya mengutarakan kekesalannya selama seminggu lebih.

Pria itu bukannya marah malah tersenyum ketika mendengar unek-unek Zelin. Dan spontan menggaruk tengkuknya, lalu mengusap bibirnya. Bagi Zelin pamandangan yang ia lihat sangat seksi.

"Zelin, terimakasih akhirnya kamu mengeluarkan unek-unek mu. Hari ini terakhir, aku janji. Tetapi, aku ingin sebelumnya meminta maaf untuk kejadian awal kita bertemu. Bukan soal ciumannya." Pria itu melihat Zelin salah tingkah tapi terus mengatakan hal lain. "Aku ingin mengucapkan terimakasih dan maaf. Tapi jujur saja aku senang. Kamu mengubah hari-hari ku, Zel. Sebelum bertemu denganmu aku... Boleh kita berkenalan dengan benar?" Pria itu memutuskan untuk tidak bicara lebih jauh soal pribadinya. Dan memilih untuk berkenalan dengan benar dan sopan. Hingga mengulurkan tangan lebih dulu.

Zelin sendiri sebenarnya bingung dengan perasaannya saat ini. Pertemuan mereka di awal yang kurang baik, memang membuat Zelin sedikit kepikiran setiap malamnya. Selalu terbayang rasa kecapan manis dari bibir pria di depannya sulit dilupakan. Namun akhirnya ia menanggapi uluran tangan itu. "Baiklah, aku Zelin."

Pria itu tersenyum begitu tulus, matanya lebih cerah daripada pertemuan pertama mereka. "Aku David. David Lian."

*****

Malam itu Zelin sudah siap tidur di kasurnya yang berukuran 120x200. Pas untuk Zelin yang tinggal sendiri di rumah susun. Rusun tersebut terdiri dari ruang tamu, ruang kamar dan dapur yang merangkap ada kamar mandinya. Juga ada balkon berukuran 2 meter untuk menjemur pakaian. Zelin membeli rusun itu memakai uang deposit yang ia miliki. Cuaca di luar hujan, membuat suhu di dalam kamar menjadi lebih dingin. Zelin menarik selimutnya lebih erat lagi untuk menutupi seluruh tubuhnya.

"David Lian! Kenapa aku seperti tidak asing dengan nama itu ya?" Zelin berusaha mengingat dimana dia pernah mendengar nama itu. Namun, bukannya ia mengingatkan nama, tetapi justru pertemuan pertama dirinya dengan David kembali hadir. Zelin teringat sorot mata sedih dan kekecewaan ada di dalam mata pria itu. Tetapi tadi siang, mata itu begitu cerah meski ada sedikit entah itu rasa takut atau ragu, tetapi Zelin melihat lebih bersinar.

"Apa dia buronan ya? Mafia? Yang sedang dicari polisi, terus sembunyi di kamar 905. Aku lihat dia enggak pernah keluar dari kamar. Bahkan makan saja harus diantar. Aku yakin dia pria kaya raya. Bisa terlihat dari ketampanannya, kulitnya yang bersih, tubuhnya yang kekar dan bulu dadanya yang terlihat seksi. Lho, kok ke bulu dada!" Zelin menepuk keningnya dan tertawa sendiri. "Please Zelin jangan mesum. Tapi bulu dadanya seksi banget." Kembali ia menepuk keningnya. Dan merasakan wajahnya merona dan panas.

Sesekali Zelin mengingatkan pada dirinya sendiri untuk tidak terburu-buru membuka hati untuk pria. "Rasanya luka ini masih terasa sakit. Bisa-bisanya Kevin dan Sely selingkuh. Bukan aku yang banyak kurangnya. Tetapi memang Kevin yang tidak bersyukur atas keberadaan ku. Aku ini wanita sehat, subur dan sempurna. Aku juga cantik, lebih cantik dari Sely. Ya jadi wajar saja kalau Kevin mau sama Sely. Karena dia wanita murahan. Ya Tuhan... Kenapa aku harus terus teringat mereka sih. Tolong aku untuk melupakannya."Zelin mengusap wajahnya lalu gantian mengusap dadanya. Berharap seiring berjalannya waktu, ia bisa sembuh dari luka yang telah ditorehkan sang mantan suami juga sahabatnya.

"Apa aku boleh berharap dengan David Lian." Sebisa mungkin malam itu Zelin mengalihkan pikirannya dari hal yang pernah menyakiti nya. Kembali ia memikirkan ciuman tak terduga dari seorang David. Hingga akhirnya rasa ngantuk menghampiri dan ia pun tertidur.

-----

Zelin lebih bersemangat keesokan harinya. Selama seharian bekerja, ia tidak sekalipun merasa kesusahan lagi. Namun, rasanya malah jadi kosong dan aneh.

"Kok ngelamun, Zel?" Robi melihat Zelin yang melamun di dapur.

"Siapa yang ngelamun. Lagi ngerasa sepi aja hari ini. Iya kan?"

Robi terkekeh sambil melepaskan baju chef-nya. "Memang sih hari ini agak sepi karena weekday. Tapi menurut aku sih bukan itu yang bikin kamu ngerasa sepi."

Zelin mengerutkan keningnya, "maksudnya?"

"Maksudnya kamu itu ngerasa sepi karena si bos 905 udah gak ganggu kamu lagi. Dia udah cek-out semalam."

"Kok kamu tahu kalau orang itu udah pergi?"

"Ya jelas aku tahu. Orang dia itu anu, uhm...." Robi ingat kalau dia tidak boleh membocorkan siapa sebenarnya si David.

"Anu apa? Yang jelas kalau bicara, Pak." Zelin menelisik Robi dengan memicingkan matanya.

"Tamu VVIP di hotel ini." Robi kehabisan akal.

Zelin merasa ada yang aneh. "Kok di kamar biasa?"

Robi mengatupkan bibirnya, takut kalau kebohongannya bisa tercium oleh Zelin. "Ya suka-suka dia lah. Mau di kamar mana aja, duitnya kan duit dia. Udahlah aku mau istirahat dulu ya. Bye." Robi buru-buru keluar dari dapur untuk istirahat dan keluar dari pintu samping resto.

Zelin tidak mau ambil pusing apa yang dibicarakan Robi padanya. Namun, sekeras apapun ia mengalihkan pikirannya dan berusaha menyibukkan dirinya. Wajah David terus saja menghantui isi kepalanya.

"Jangan jatuh cinta, please. Jangan."

---> Bersambung