Chereads / Pesona Sang Duda / Chapter 4 - 4 mengamati diam-diam

Chapter 4 - 4 mengamati diam-diam

Bab 4 pesona Sang Duda

Zelin berusaha bekerja dengan sepenuh hati dan seprofesional mungkin. Berusaha mengenyampingkan perasaan tidak nyamannya setelah beberapa hari lalu melihat kalau mantan suaminya bekerja di bawah bos yang sama. Meskipun beda divisi. Tuhan memang sepertinya tidak menginginkan Zelin terlepas dengan mudahnya dari jeratan sang mantan. Tapi, anehnya perasaan Zelin tidak sama lagi. Lebih ke arah malas dan masa bodoh.

"Jadi, pria tampan yang berada di belakang bos David adalah mantan suamimu?" Tanya Robi di sela jam istirahat mereka.

"Huum," jawab Zelin, sambil mengaduk sup ikan yang ada di hadapannya.

"Janda kembang atau ada anak?"

"Kembang, Pak." Zelin menjawabnya dengan malas.

"Wow!" Seru Robi.

Zelin melirik chef resto yang cerewet itu, "berisik, Pak. Nanti jadi ramai, kan malas."

"Iya, iya, Maaf. Tapi, aku masih nggak nyangka lho. Ternyata kamu itu janda dari salah satu mantan pengusaha di Grey Tower. Harusnya kamu kan bisa kerja di tempat yang lebih baik dan maaf nih, ada harta gono-gini."

Benar-benar cerewet si chef tua itu. Ingin rasanya Zelin menyumpal mulutnya dengan kepala ikan yang ada di depannya.

"Pak, saya itu kuliah tapi nggak sampai lulus karena orang tua meninggal. Bisa aja nerusin kuliah sampai lulus, tapi saya malah memilih bekerja. Udah gitu saya lebih senang bekerja di lapangan. Maksudnya yang tidak ribet duduk dalam ruangan sambil mantengin komputer. Saya lebih senang melihat orang banyak, melayani orang banyak, ya meskipun banyak juga yang bikin susah dan ribet. Untuk harta gono-gini, saya lebih memilih tidak mau ribet dan dipermasalahkan. Kalau memang hak saya, pasti akan kembali ke saya. Sayangnya, saat itu mantan suamiku dalam keadaan yang luar biasa susah." Zelin menjelaskan panjang lebar, berharap si chef Robi itu paham dan puas.

"Terus kamu meninggalkan suamimu dalam keadaan yang sedang sulit?"

Zelin melepas sendok di atas mangkuk supnya. Hingga bunyi berdenting. "Pak Robi ini seperti ibu-ibu kompleks yang suka ghibah di tukang sayur pagi-pagi ya."

Robi agak kaget, tapi pada akhirnya mereka tertawa. Robi tidak menanggapinya dengan serius, begitu juga Zelin.

"Ya, namanya penasaran," ucap Robi salah tingkah.

"Tapi, hati-hati, Pak. Rasa penasaran bisa menyulitkan diri sendiri lho." Zelin berbisik sambil nyengir. "Saya diselingkuhi, makanya saya memilih pergi. Kalau sulit tapi dia setia, akan saya pertahankan dan bersabar. Tapi, posisinya saya diselingkuhi, sebelum tahu kalau dia menyelewengkan uang perusahaan, saya sudah mengurus cerai."

Robi shock, "kamu diselingkuhi? Padahal kamu cantik dan aku melihat kamu itu sempurna."

Zelin mengedikkan bahunya. "Cantik dan sempurna tidak menjamin pasangan akan setia. Semua tergantung dari pasangannya, mampu bersyukur atau tidak."

"Benar juga sih. Anakku saja diceraikan. Padahal dia pria yang sempurna. Tampan, mapan dan idaman wanita. Tapi, istrinya tetap tidak puas." Robi menghenyakkan diri ke punggung kursi.

Zelin mengenal Robi saat dia baru mulai bekerja di resto itu. Namun, tidak banyak yang wanita itu ketahui tentang Robi. Usianya sudah hampir 65 tahun. Tapi masih memilih untuk bekerja di dapur.

"Pak Robi, kenapa Bapak masih bertahan di resto ini? Sejak kapan Bapak bekerja di resto?" Zelin penasaran.

Namun, Robi tidak menyangka ada yang peduli dan ingin tahu kehidupan pribadinya.

"Uhm… aku senang memasak. Namun, sejak istriku meninggal dunia, aku kesepian. Dan tidak ada lagi yang memuji atau mengkritik masakanku. Makanya aku memutuskan untuk bekerja di sini."

Zelin mengangguk, "Sebelumnya Pak Robi bekerja dimana?"

"Ah, itu aku ngurus ini dan itu saja. Sampai akhirnya anakku yang mengurus. Tidak terlalu menarik," ungkap Robi dengan senyumnya yang hangat. "Kamu sudah punya pacar, Zel?"

Zelin yang sedang minum teh manisnya kaget mendapatkan pertanyaan seperti itu. Buru-buru ia menggelengkan kepala. "Tidak ada. Aku masih agak trauma. Entah lah."

"Trauma menikah atau trauma didekati pria?" Robi bertanya lagi.

Zelin agak jengkel karena pak tua di depannya terus saja bertanya yang tidak-tidak. "Entahlah," jawab Zelin sekenanya. "Oya, jam istirahatku sudah hampir habis. Aku mau ke toilet dulu. Pamit duluan ya Pak." Zelin beranjak dan meninggalkan Pak Robi tanpa menunggu jawabannya.

Robi si pria tua itu hanya melihat dan mengagumi punggung Zelin yang pergi menjauh dan menghilang di ujung koridor.

"Sepertinya dia wanita yang tepat," ujar Robi sambil memegangi jenggot yang mulai memutih.

•°•°•°•°•

Zelin masuk ke dalam toilet dan masuk ke dalam bilik untuk panggilan alam sebelum dia kembali bekerja. Saat sedang duduk di closet, Zelin menopang dagunya.

"Pak Robi itu kenapa menjadi menakutkan setelah tahu statusku."

Setelah selesai Zelin keluar dari bilik dan bercermin untuk melihat penampilannya. Ternyata masih terlihat baik. Hanya tinggal memoles gincu sedikit agar terlihat segar, karena sempat memudar karena sehabis makan.

Saat keluar dari toilet, Zelin hendak kembali bekerja namun seseorang memanggilnya. Dan ia pun menoleh.

"Zelin!"

"Iya!" Ucap Zelin dan dia terkejut. "P-pak David," ucap Zelin tergagap.

"Hai, apa kabar?" David tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi.

"Baik, Bapak apa kabar?" Zelin salah tingkah dibuatnya.

"Aku baik setelah melihatmu." David kaget sendiri karena mengutarakan perasaannya secara terang-terangan. Padahal David bukan orang yang seperti itu.

Zelin tertawa canggung karena salah tingkah. Ia juga harus sadar, bahwa pertemuan mereka ini akan menimbulkan rumor.

"Zelin, aku senang bertemu denganmu. Uhm… boleh minta tolong?"

Oh, jadi dia memanggilku karena ada maunya. Batin Zelin.

"Boleh Pak, silakan," kata Zelin sopan.

"Tolong antarkan makanan ke ruangan saya, bisa? Karena saya ingin makanan resto. Oh, dan menunya seperti biasa saja."

"Baiklah, Pak. Saya akan antar segera. Apa ada lagi yang dibutuhkan?" Tanya Zelin.

David seperti sedang berpikir, kira-kira apa lagi yang ingin dia makan. "Uhm, untuk sementara itu saja."

"Baik, Pak. Kalau begitu saya kembali ke resto." Zelin pamitan dengan sopan.

David pun kembali menuju ruangan kerjanya. Namun, ada seseorang yang sedang mengamati kedekatan David dan Zelin secara diam-diam.

•°•°•°•°•°•

Zelin menyampaikan pesanan David kepada chef. Dan segera saja para chef bergegas membuatkan apa saja yang diinginkan David. Biasanya David akan makan siang dengan pasta dan steak. Juga air mineral.

"Zelin, sudah siap. Silakan diantar," perintah Robi sambil menata semua pesanan David di atas trolli.

Zelin mengangguk dan menghampiri trolli yang siap diantarkan. "Satu steak, satu pasta dan air mineral." Zelin menyebutkan satu persatu supaya tidak ada yang tertinggal.

"Benar."

"Baiklah, aku antar ya." Zelin mendorong troli dan menjauh dari resto menuju ruangan CEO David Lian.

Entah mengapa ada perasaan berbeda kali ini yang dirasakan Zelin saat mengantarkan makanan untuk David. Berdebar karena gugup, takut, malu dan senang. Tak sadar jika dirinya selalu tersenyum.

Saat sampai Zelin mengetuk pintu dengan gugup. Jantungnya berdebar cepat. Rasanya seperti sedang jatuh cinta. Seseorang membuka pintu dan ternyata asisten dari David.

"Oh, silakan masuk. Sudah ditunggu," ucap pria berkacamata.

Zelin mengangguk sopan dan mendorong troli ke dalam ruangan. Dan ia seperti terhipnotis melihat kharisma yang terpancar dari seorang David. Biasanya Zelin selalu melihat David yang hanya memakai kaos. Tapi, kali ini berbeda. Auranya kuat sekali, bahkan Zelin bisa menghirup pheromone milik pria itu dalam jarak lima meter.

"Zelin, ada apa? Kenapa diam dan berdiri di sana?" David melihat Zelin terpaku tidak jauh dari pintu kantornya.

Zelin tersadar dan mengerjapkan mata beberapa kali. "Oh, maaf." Zelin mendorong dan mendekati David. Lalu meletakkan semua makanan di meja. "Silakan dan selamat makan." Zelin mundur beberapa langkah.

"Temani aku,"pinta David.

"Ya, maaf?" Zelin memastikan pendengarannya.

"Temani aku sampai makananku habis. Tidak keberatan kan?"David menatap Zelin lekat.

Ditatap seperti itu Zelin menelan salivanya pelan. "Tapi saya harus kembali bekerja."

"Saya bosnya."

"Baiklah." Zelin memilih mengalah. Daripada dia membantah lalu dipecat lebih repot lagi.

Zelin dipersilakan duduk. Rasanya tidak enak sekali dalam situasi seperti itu. Beberapa kali Zelin harus celingak-celinguk untuk memastikan kalau tidak ada yang melihat dirinya. Tapi, rasanya tidak mungkin, karena sekretaris David sendiri yang menyuruhnya masuk.

"Kamu sudah makan, Zel?"

"Sudah, Pak."

"Jangan panggil Pak kalau sedang berdua," ucap David lagi.

"Ta-tapi saya tidak berani." Zelin menjawabnya dengan gugup.

'sebenarnya apa yang diinginkan David sih? Hari ini kenapa banyak yang  agak menyebalkan.' batinnya.

"Tidak apa-apa, kalau berdua saja. Aku sudah selesai makannya. Steaknya enak. Terimakasih sudah mau mengantar dan menemaniku." David mengucapkan dengan sungguh-sungguh.

Zelin merapikan kembali piring kotor ke atas troli. "Sama-sama, Pak." Hanya itu yang bisa Zelin katakan. Dia tidak ingin berlebihan dalam menanggapi pria terutama bosnya itu.

David sumringah dan melihat kepergian Zelin dengan hati yang senang, perut pun kenyang.

Zelin mendorong troli keluar dari ruangan CEO tanpa menoleh kebelakang hingga dia tidak menyadari kalau seseorang sedang mengamati dirinya.

"Aku menemukannya dan ternyata sangat dekat."

----> Bersambung