Bab 5 Pesona Sang Duda
Zelin memandangi kelap kelip lampu kota dari balkon kamar rusunnya. Malam itu ditemani hujan dengan intensitas sedang sejak sore. Dengan secangkir coklat hangat menemani malamnya yang dingin. Zelin si wanita yang kini rambutnya mulai panjang, memikirkan banyak hal dibenaknya. Salah satunya adalah pertemuannya yang tidak pernah dia sangka dengan mantan suaminya, Kevin.
Zelin menyesap coklat hangatnya lalu menggenggam cangkir yang hangat itu. "Kenapa harus bertemu lagi?" ucapnya pada dirinya sendiri. Dia tahu tidak akan ada yang bisa menjawabnya juga.
"Rasanya seperti sia-sia saja setahun lebih aku berusaha menghindarinya. Justru takdir mempertemukanku kembali di tempat yang tidak pernah kuduga." Zelin memejamkan matanya. "Lukaku kapan sembuhnya jika harus bertemunya lagi." Dia memegangi dadanya yang terasa nyeri kembali. Ingatan - ingatan perselingkuhan mantan suaminya dan mantan sahabatnya kembali hadir seperti tayangan film dokumenter di kepalanya.
Rasa sakit itu belum pernah sekalipun hilang dari pikiran Zelin. Bahkan setiap malam, ia sering terbangun karena tiba-tiba teringat kisah menyakitkan itu. Meskipun ia telah memberikan maaf untuk mantan suaminya. Tetapi, bayangan luka itu terus saja hadir dan sulit sekali untuk dilupakan.
Banyak orang bilang luka akan sembuh seiring berjalannya waktu. Tapi, bagi Zelin itu sangat menyiksa. Sudah tidak bersama, tapi rasa sakitnya masih saja terus terasa. Seperti ada lubang yang menganga di dalam dadanya. Dan itu sangat sakit sekali. Membuat ia sering sekali tanpa sadar memegangi dadanya. Jika saja orang tuanya belum meninggal atau ia memiliki saudara, pasti ia tidak akan merasakan sedih karena kesepian seperti ini.
"Apa aku harus berhenti bekerja dan mencari pekerjaan baru lagi?" Zelin menghembuskan nafasnya pelan. "Tidak, tidak. Enak saja. Aku tidak boleh lari dari kenyataan. Aku akan buktikan padanya aku bisa hidup tanpanya. Dan bahagia tanpa dirinya."
Semangat itu tidak berkobar sepenuhnya. Karena ada keraguan yang ia rasakan. Pasalnya, setiap teringat namanya saja, nyeri di dadanya begitu nyata. Padahal ia tahu itu hanya bagian dari ilusinya saja. Namun, saat melihatnya dalam barisan iringan para petinggi kemarin. Membuatnya hampir pingsan. Ada sesuatu yang berdenyut hebat dan itu bukan debaran. Tapi lebih seperti luka menganga yang diperas oleh air garam. Berdenyut menyakitkan.
"Ya Tuhan, memikirkan namanya saja aku sakit. Begitu dalam cintaku padanya, hingga berdampak parah pada diri sendiri. Keterlaluan." Zelin mengusap air matanya yang turun ke pipinya.
"Bodoh, jangan menangis Zelin Maheswari," ucapnya pada diri sendiri.
Hujan mulai deras dan tampias air hujan mulai mengenai kakinya yang telanjang. Zelin memutuskan masuk kembali dan menutup pintunya. Entah mengapa kakinya membawanya ke depan cermin yang menempel di lemari pakaiannya. Ia berdiri lama, memperhatikan pantulan wanita yang sedang memakai kaos putih kebesaran dan celana pendek yang tidak terlihat. Seakan ia tidak memakai celana. Kakinya yang jenjang, menambah kesan seksi pada tubuhnya.
"Lihat Zelin, kamu itu cantik," pujinya pada diri sendiri. "Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik darinya. Buat dia menyesal karena telah mengkhianatimu. Buat dia menyesal karena tidak bersyukur memiliki wanita sebaik dirimu. Buat dia bertekuk lutut dan mengemis cintanya lagi padamu. Dan saat itu terjadi, hempaskan dia ke dalam jurang gelap. Supaya dia tidak naik lagi kepermukaan dan merusak pemandanganmu yang indah. Ayo, Zelin... kamu bisa." Zelin menyemangati dirinya sendiri.
"Jangan mendendam Zelin. Biarkan tangan Tuhan yang bekerja. Kamu cukup mencintai dirimu sendiri. Ah... sudahlah. Aku bicara apa sih. Tidur saja lha." Zelin merasa bodoh karena sejak tadi bicara sendiri. Akhirnya ia memutuskan untuk naik ke atas kasurnya yang empuk dan merebahkan tubuhnya yang lelah.
"Semoga malam ini aku bisa bermimpi indah." Zelin memejamkan mata. Namun sialnya bayangan David mengusiknya.
"David itu apa benar ya CEO? Atau dia hanya orang beruntung yang diangakt jadi CEO?" matanya menatap langit kamar. "Ah, pikiran apa lagi ini. Ya Tuhan... apa aku harus minta libur beberapa hari saja ya, biar bisa menenangkan pikiran dan hatiku?" Zelin larut dalam pikirannya hingga lelah menghampiri dan ia pun tertidur.
^^^^^^
Dua pria sedang duduk bersama dalam satu ruangan rumah mewah bergaya elegan. Satu pria sudah berusia lebih tua, rambutnya juga sudah ditumbuhi uban namun tidak banyak. Memakai kaos putih dan sarung karena baru selesai ibadah sholat isya. Sedangkan pria yang satu lebih muda, dengan rahang tegas, tubuh tegap dan atletis. Mereka berdua mirip bila dicermati dari wajahnya. Hanya saja tubuh mereka yang membedakannya.
"Ada apa Ayah menyuruhku datang kesini?" tanya pria yang lebih muda. Tidak ada emosi dalam nada suaranya.
Pria yang memakai sarung pun mengerutkan keningnya, merasa heran dengan putra semata-wayangnya. "Boy, aku ini masih ayahmu. Harusnya kamu lebih sering mengunjungi aku. Atau, pulang sajalah. Kembali kita tinggal bersama."
Pria yang dipanggil boy itu terkekeh. Boy hanyalah nama panggilan sang ayah padanya. Bukan nama sebenarnya."Tidak, Yah. Tidak sekarang."
"Kapan?"
"Entahlah," jawab si anak dengan malas lalu menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa.
"Boy, bagaimana perasaanmu saat ini? Apa sudah bisa membuka hati atau masih bertahan dalam kebodohan?" tanya ayah penasaran.
"Entahlah. Aku masih merenunginya. Sejujurnya aku sedang kebingungan pada perasaanku sendiri, Yah."
"Ada apa? Kamu bertemu wanita yang membuat hatimu berdebar?" goda sang ayah.
"Auuh... Please, Yah. Jangan mengucapkan kata-kata yang menggelikan seperti itu." mereka berdua tertawa.
Si Ayah membenarkan posisi duduknya supaya lebih tegak dan bisa lebih dekat dengan putranya. "Dengar, aku punya kandidat. Uhm... dia janda." Mendengar kata janda, respon si anak matanya membulat. Tapi ayah melanjutkan. "Tenang, tenang. Dia janda kembang, cantik dan cerdas. Gimana? Kenalan aja dulu."
"Kenapa nggak Ayah aja sih yang dekatin dia? Kenapa harus aku?"
"Ya, karena kamu anakku. Kamu yang lebih pantas dengannya. Kalau aku lebih pantas jadi ayahnya. Ayolah, Boy. Aku sudah tua. Ingin sekali rumah ini ramai dengan celoteh anak keturunanmu. Cucuku." ada suara sedih yang terdengar.
Si anak menghela nafas panjang. "Aku belum tahu, Yah. Kenapa Ayah tidak menikah lagi saja?"
Mendapatkan pertanyaan itu, sang ayah tersenyum sendu. Perlahan matanya menyusuri setiap sudut ruangan itu. Dan berhenti pada satu figura besar yang dipajang di dinding. Figura itu berisi foto ayah dan istrinya yang telah meninggal lebih dulu.
"Boy, ibumu itu wanita yang setia, baik dan penuh kasih sayang. Aku tidak pernah menyesal saat aku memilihnya sebagai pasangan hidupku. Ibumu itu cerewet, tapi cerewetnya itu untuk memberikan aku peringatan atau untuk mengingatkan. Setelah dia pergi, tidak ada yang cerewet hidupku hampa. Kosong karena tidak ada lagi yang bawelin. Tapi, Tuhan lebih sayang padanya. Semua kondisiku sejak dari nol hingga aku menjadi seperti ini, di semua kondisi sulit hingga mencapai kesuksesan, ibumu selalu menemaniku dengan sabar. Setiap sudut rumah ini, ada sentuhan tangan ibumu. Jika aku lelah, ibumu tidak memaksaku untuk terus mengejar. Justru ibumu yang mengingatkan, ' jika lelah istirahat. Karena apa yang kamu capai selelah apapun hasilnya tidak akan kamu bawa mati.' dan aku paham maksud ibumu.
Jadi, rasanya tidak pantas saja jika aku menikah lagi. Menggantikan semua kenangan ini dengan hal baru yang belum tentu bisa lebih baik dari apa yang pernah ibumu berikan. Karena wanita yang baru itu hanya akan berada di atas awan. Hanya menikmati apa yang telah ibumu capai selama hidupnya. Tidak, Boy. Tidak sebanding. Aku masih mencintainya."
Penjelasan sang ayah yang panjang lebar, membuat si anak merasa bersyukur karena akhirnya dia bisa mempercayai apa itu cinta sejati. Dia juga menyadari jika dirinya dan ayahnya memiliki kesamaan, yaitu jika sudah cinta sulit pindah ke lain hati. Sayangnya dia tidak seberuntung sang ayah. Dia bercerai karena mantan istrinya tidak bisa bersabar saat dirinya mengalami kebangkrutan. Ralat, hampir bangkrut. Dan yang lebih menyakitkan lagi, mantan istrinya justru menikah dengan rival bisninya yang kaya raya.
"Jadi, bagaimana harimu sebagai CEO?" sang ayah membuyarkan lamunan putranya.
Ah, pintar sekali ayahnya membaca situasi dan mengganti topik di saat yang tepat. "Lumayan. Tidak ada bedanya dengan bisnisku yang lain. Tapi, aku lebih menikmati menjadi tamu di kamar biasa. Dari pada harus duduk di balik meja dengan ukiran nama akrilik yang estetik dan ruangan yang mewah. Lebih bisa berbaur dengan lingkungan dan orang sekitar ," jelasnya sambil tertawa puas.
Ayahnya pun ikut tertawa puas mendengarnya. Karena selama ini putranya menolak untuk mengelola hotel dan beberapa bisnis lainnya. Karena putranya juga sebelumnya sudah memiliki bisnis sendiri di bidang manufaktur. Lebih spesifiknya di bisang tekstil dan garment.
"Baguslah. Aku percaya hotel akan lebih maju jika kamu kelola dengan baik."
"Bagaimana dengan Ayah? Sampai kapan Ayah akan terus di sana dan memanipulasi banyak orang?"
Ayah tekejut dengan kata manipulasi. "Boy, itu jahat. Aku tidak seperti itu. Aku hanya sedang menikmati sisa hidupku yang mulai renta."
"Renta? Hah... memasak makanan enak dan lezat untuk banyak orang setiap hari selama kurang lebih delapan jam. Itu Ayah bilang renta! Jangan bercanda, Yah."
Mereka tertawa bersama.
"Benar yang kamu bilang, Boy. Aku bisa lebih bersyukur saat aku mendapatkan gajiku sebagai koki. Karena aku bisa merasakan ternyata apa yang dihasilkan tidak sepadan dengan kerja kerasnya. Dan aku lebih bisa bergaul dengan banyak kalangan tanpa ada rasa kesenjangan sosial. Mereka menghormatiku karena usiaku, bukan jabatanku. Aku dan kamu terlahir dengan titipan Tuhan yang berbentuk harta. Dan ingat Boy, di harta itu ada hak-hak yang wajib kita berikan dan tuntaskan."
Si anakpun mengerti dan memahami hal itu. Karena sejak kecil, agama, dan berbagai ilmu serta adab telah diajarkan padanya. Saat mereka sedang asyik bicara, tiba-tiba datanglah seorang asisten rumah tangga dari arah dapur.
"Pak Robi dan Mas David, makan malamnya sudah siap."
----> Bersambung