"Om, lihat! Dia mencoba menantangku." Kania tidak terima. Menunjuk perempuan yang baru saja menghilang dari balik pintu itu dengan tatapan yang penuh amarah.
"Lalu kenapa?"
Kania bersungut-sungut, "lihat saja! dia pikir dia bisa mengusikku!"
Genta berdecak. Menarik isterinya itu untuk duduk di dekatnya. "Dari pada marah mending kamu makan," ujar Genta. Tidak lupa ia menyuapkan makanan pada isterinya tersebut.
Kania mengunyah makanannya dengan perasaan sakit hati. "Dia pasti meremehkan aku karena aku gendut sekarang."
"Perkara gendut itu lagi," desah Genta. Pria itu mengusap wajahnya. Ia frustasi dengan Kania yang insecure dengan perasaannya.
"Om, kenapa om lebih memilih memihak sama dia sih?" Kania protes tidak suka.
"Bukan seperti itu, Ka'."
"Om bahkan memanggil nama aku dengan nama," potong Kania cepat bahkan sebelum Genta sempat melanjutkan perkataannya pada kalimat berikutnya.
Genta tersenyum kecil. "Sayang," ralat Genta.
"Kenapa tersenyum?" balas Kania dengan nada ketus.
"Sebenarnya kamu ke kantor untuk memberikan saya makan siang atau ingin memarahi saya sih?" Genta mengelus pelan kepala isterinya itu. Pria seperti Genta tidak pernah marah tapi sangat menakutkan saat cemburu.
"Kalau aku memilih opsi kedua kenapa? Om akan mengusirku begitu?" bibir Kania maju. Perempuan itu benar-benar tidak bagus saat marah.
"sayang, kamu ini kenapa sih?" Genta tetap membalas dengan penuh kelembutan.
"Aku tidak suka kamu berdekatan dengan dia."
"Saya juga tidak kalau tidak ada kepentingan," balas Genta.
Kania masih menatap pada pintu. Seolah dia memiliki kemampuan super yang bisa menembus pintu lantas mengirimkan satu tusukan tajam melalui tatapannya itu. sementara Genta tersenyum dengan sikap isterinya.
"Kamu membuat saya …" Genta menghentikan ucapannya. "Ekhm, ayolah, Ka! Jangan seperti ini!" Genta lebih memilih kalimat lain dalam membujuk Kania. Tidak lupa Genta berdehem seolah-olah ingin menormalkan sesuatu yang mengeras pada pusat tubuhnya.
"Kamu membuat saya apa Om?" tanya Kania menyipit. Ia mengulang perkataan Genta yang tidak sempat diteruskan.
"Kamu tahu kemana arah pembicaraan saya. Lupakan saja masalah itu."
Kania yang tadinya kesal kepada Genta menjadi terenyuh. "Om takut aku kesal lagi ya?"
"Saya takut kamu tertekan lagi. Jangan pedulikan itu!" kesekian kalinya Genta meminta mereka betukar topik.
Jleb! Kania mengalihkan pandangannya dari Genta tidak ingin melirik mata laki-laki itu. "Jadi ini eksperimen kamu yang keberapa sampai bisa seenak ini?" tanya Genta tertuju pada makanan yang dihadapan mereka. Mengunyahnya dan menganggukkan kepalanya. "Atau jangan-jangan bibi yang …"
Cup! Genta terhenti ketika Kania tahu-tahu mendarat padanya. Tidak hanya berdiam, perempuan itu juga mengajaknya berperang. "Ehm, sayang …"
"Om Genta curang. Kok bisa sih membuat aku mengejar Om saat Om bersikap dingin." Kania menyuarakan isi protesnya.
"Saya tidak bersikap dingin. Maaf kalau kamu merasa seperti itu."
"Tapi berhati-hati?" ucapan Kania membuat Genta terdiam. Kania menundukkan kepalanya. "Aku labil bangat ya, Om. Kemarin aku menyuruh Om untuk tidak bersikap berlebihan. Sekarang aku sendiri yang sering mincing-mancing. Om pasti sangat kebingungan."
Genta menarik isterinya itu berada di pangkuannya. Memeluk Kania dengan perasaan sayang yang tidak dapat didefenisikan. "Saya memang sedikit bingung, tapi saya tahu kamu masih abg."
"Idih, abg. Bahasa generasi berapa tuh?" Kania mencibir membuat Genta berdecak tipis.
"Kamu tidak perlu menyindir usia saya. Sadar saya tua."
Kania bergerak sedikit. Merubah posisinya menjadi bisa sedikit berhadapan dengan Genta. "Om," bisik Kania kecil.
"Hm?" tanya Genta dengan sebelah alis terangkat. Dua anak manusia itu bertatapan dengan bulir-bulir cinta dari mata masing-masing.
"Aku dalam masa bulanan."
"Ka' …." Genta protes. Pria itu kemudian melirik ponsel dan berhasil membuatnya berdecak kecil. Memang benar, siklus Kania memang berada di tanggal itu. Genta memang menghapal siklus isterinya. Pasti tahu sendiri alasannya untik apa. "Kamu curang," protes Genta lagi.
Kania tertawa kecil. "Maaf, tadi aku kan juga enggak niat ganggu Om. Cuma niatnya ngantar makanan doang. Habisnya Om bikin aku kesal, sih." Kania mengakui kesalahannya sekaligus membela dirinya dalam waktu yang hampir berdekatan.
"Kamu benar-benar paling bisa," geram Genta gemas.
"Tapi tahu enggak sih, Om. Kok rasanya enggak sakit ya? Biasanya hari pertama langsung sakit."
Genta menaikkan alisnya. "Oh ya?"
"Ehm, biasanya aku akan guling-guling di tempat tidur seharian. Tapi kemarin enggak tuh." Kania curhat perihal siklusnya pada Genta. Anehnya Genta juga menyimak dengan baik.
Genta mengerutkan keningnya. "Tapi setahu saya kamu memang tidak pernah mengeluhkan akan hal itu sebelumnya."
"Oh ya?"
Genta menganggukkan kepalanya. "Apa karena kita sudah pernah melakukan itu? Jadi enggak berasa lagi?"
Genta mengerutkan keningnya. "Apa teorinya ada yang mengatakan seperti itu?"
"Sebenarnya tidak om. Aku hanya mendengar gosip-gosip."
Genta tersenyum gemas mendengar perkataan isterinya itu. Mencubit pipi Kania sebanyak yang dia bisa. "Ingin saya belikan coklat?"
"Ehm aku mau banget. Tapi aku enggak mau gendut." Kania sekian kalinya membahas kata gendut yang membuat Genta benar-benar frustasi dengan kekeras kepalaan isterinya. "Yang, kamu coba dengarin lagi tulus tukar jiwa deh."
Kania tertawa kecil. "Om bisa juga habis kesabaran ya? Tapi kok enggak bentak aku sih?"
"Memangnya mau saya bentak? Kamu dibentak Tara aja nangis." Genta mencibir isterinya itu. sementara Kania berdecak malu.
"Habisin makanannya Om. Aku mau pulang." Kania mengalihkan topik.
"Kamu tidak ingin menunggu saya?"
Kania berdecak. "Enggaklah. Aku mau ke perpus habis ini. Otakku jadi beku enggak pernah baca buku lagi habis sampai di masa depan."
Genta menatap isterinya itu ragu-ragu. "Apa kamu pergi bersama Abi?"
Kania mengeluarkan keluhannya. "Aku udah ajak Abi tapi dia bilang dia sibuk. Sok sibuk aja palingan. Nyebelin." Kania tidak tahu kalau Genta berusaha meredam api cemburu mendengar perkataan isterinya.
"Mau saya yang temanin?"
Kania menggelengkan kepalanya tegas. "Enggak mau! Kalau aku pergi sama Om, yang ada bukannya aku fokus baca buku malah aku berisik di dalam perpus. Enggak ah."
"Ya deh. Hati-hati ya sayang. Kalau ada apa-apa jangan lupa telepon saya." Genta mencubit gemas pipi isterinya.
"Om juga jangan centil sama perempuan itu ya? Awas aja kalau terjadi sesuatu! Aku akan memberikan om ini." Kania memperlihatkan tinjunya di depan wajah Genta yang membuat laki-laki itu tertawa.
"Ngomong-ngomong kamu cemburuan kayak gini karena kamu mulai jatuh hati sama saya ya? Ka', apa saya bukan Om lagi?"
Senyum Kania luntur. "Idih, Om Genta gr. Aku hanya menjaga apa yang aku punya gitu aja." Kania menganggukkan kepalanya berkali-kali meyakinkan.
Genta berdecak kecil. "Ya sudah. Siapa tahu bulan depan kamu udah cinta sama saya."
"Idih, Om genta terlalu percaya diri!"