"Aku sudah bilang aku tidak ingin menikah!" Suara keras Dara terdengar sampai ke kamar Shela.
Dara berusia 25 tahun, pada saat sebuah surel yang berisikan perjanjian kakeknya dengan keluarga Wijaya itu tiba-tiba masuk di email ayahnya. Surat itu berisi perjanjian nikah antara kedua belah pihak dan ada konsekuensi bagi yang melanggar perjanjian.
Dara tidak ingin menikah muda, apalagi menikah dengan orang yang tidak dikenalnya. Dara ingin menemukan takdirnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Ia berpikir bahwa pernikahan itu harus dijalani dengan orang yang benar-benar ia cintai.
"Tapi Dar, jika kau tidak mau menikah, maka ayah harus mengganti rugi dengan jumlah uang yang sungguh sangat besar!"
Perdebatan adu mulut antara Dara dan Ayahnya terjadi di ruang tamu keluarga. Ayahnya berusaha menyakinkan Dara agar ia mau menerima tawaran perjanjian itu.
"Bukankah ayah punya uang yang banyak? Gunakan saja uang ayah untuk melunasi utang kakek... Kenapa harus aku yang menanggung utang dari orang yang sudah meninggal?"
"Dar kau tak mengerti. Perusahaan ayah bisa bangkrut dalam semalam hanya untuk melunasi hutang kakekmu itu. Lagi pula keluarga Wijaya yang meminangmu, mereka keluarga yang terpandang di Surabaya dan merupakan konglomerat nomor 1 di Indonesia. Kau tak akan menderita hanya dengan menikahi salah satu anak dari keluarga Wijaya."
"Ayah, kekayaan tidak menjamin kebahagiaan... Apa ayah tidak bisa mencari solusi lain selain menikahkan aku?"
"Dara... ayah juga tidak mau melakukan ini, tapi keluarga Wijaya memiliki pengaruh yang besar di dunia bisnis. Ayah tidak bisa melawan keluarga Wijaya dengan mudah, kau bahkan tahu akan hal itu. Kalo saja perjanjian itu tidak menuliskan bahwa anak sulunglah yang akan melakukan pernikahan dengan keluarga Wijaya. Andai saja mereka tidak mencantumkan anak sulung, pastilah ayah akan mengirimkan adikmu yang tidak berguna itu!"
"Ayah, kenapa kau selalu saja mengintimidasi Shela? Baik aku atau pun Shela, kami berdua tidak akan pergi ke keluarga Wijaya apa pun yang akan terjadi. Ayah tidak akan menjual kami kan?"
Dara adalah satu-satunya keluarga yang membela Shela. Ia juga tidak mengerti kenapa ayahnya begitu tidak menyukai Shela dan sikap ibunya yang menganggap seolah-olah Shela itu tidak ada.
"Dara tentu saja ayah tidak akan menjual putri kesayangan ayah. Tapi akan lebih baik jika kita terhindar dari masalah dengan keluarga Wijaya. Kau harusnya bisa mengerti posisi ayah."
"Aku sudah bilang tidak ayah, aku tidak akan merubah keputusan ku... tidak akan berubah!"
Dara segera naik ke lantai dua dan meninggalkan ayahnya menuju ke arah kamarnya. Ia berhenti sejenak saat melihat Shela yang berdiri di depan tangga menyaksikan perdebatannya dengan ayah mereka. Terpancar sedikit kekesalan di wajah Dara, ia tidak bisa menyembunyikan apa yang ada di dalam hatinya saat berpapasan mata dengan Shela adiknya. Ia juga sedikit merasa bersalah terhadap Shela, karena lagi-lagi ayah mereka mendiskrimanasikan satu-satunya saudari yang ia sayangi. Ia Lalu melanjutkan langkahnya setelah beberapa detik saling berpandangan dengan Shela adiknya dan segera menutup pintu kamarnya dengan keras.
Shela lalu melihat ke arah kakaknya pergi dan turun ke bawah untuk berbicara dengan ayahnya. Namun sebelum itu, ia pergi ke dapur untuk menyeduh teh hijau bagi ayahnya yang terlihat kelelahan.
Saat itu ayahnya duduk di sofa dengan menunduk memegangi kepalanya, sembari berpikir bagaimana cara agar ia bisa membujuk Dara untuk menikah. Selagi ayahnya berpikir, tercium aroma teh hijau khas buatan Shela yang saat itu tepat berada di depannya.
"Ayah... Ini diminum dulu..." Ujar Shela menyodorkan teh hijau hangat ke atas meja, di depan ayahnya duduk.
"Apa tidak ada yang bisa saya lakukan untuk ayah?" Tanya Shela sambil duduk di sofa dekat ayahnya berada.
"Kau tidak usa pedulikan urusan keluarga." Jawab ayahnya datar.
Semua orang yang berada di kediaman rumah itu tahu, bagaimana sikap kepala keluarga terhadap anak bungsunya tersebut. Shela hanyalah anak yang dianggap sebagai seseorang yang seharusnya tidak pernah dilahirkan.
"Aku bisa menggantikan kakak, jika ayah mau!" Shela membuat pernyataan tiba-tiba. Bahkan ia sendiri rela untuk menggantikan posisi Dara apapun yang terjadi.
Ayahnya terkejut. "Ah, seandainya bisa... aku pasti akan mengirimmu ke keluarga Wijaya. Andai saja Dara mau, aku tidak akan sesulit sekarang!" Kata Ayahnya.
"Ayah bisa membalas surel email itu dengan bernegosiasi. Katakan pada mereka bahwa kalian akan mengirimkan saya sebagai ganti kakak, dengan alasan kakak telah memiliki tunangan. Ini bisa saja terjadi karena keluarga Wijaya tidak memberitahukan hal ini dari awal!" Kata Shela penuh pertimbangan.
Sedari awal Shela adalah anak yang cerdas. Tidak perlu diragukan lagi, ia bahkan selalu menempati posisi pertama di kelasnya. Ia berpikir, dengan membawa pulang lapor dengan nilai yang sempurna, kedua orangtuanya akan mengakuinya sebagai anak.
Sayangnya apapun yang ia lakukan, perlakuan kedua orangtuanya masih tetap sama saja. Ia terus-menerus diabaikan.
Wajah ayahnya tampak kembali bersemangat. Matanya berbinar memikirkan bahwa ia tidak perlu mengirim anak kesayangannya kepada keluarga yang tidak diinginkan putri sulungnya itu.
'Kenapa aku tidak bisa memikirkan ide ini dari awal! Jika saja aku kepikiran, aku tidak akan berdebat dengan putri kesayanganku dan membuat hatinya terluka. Untung saja anak tidak tahu diri ini memiliki pemikiran yang cepat tanggap.' Pikir ayahnya. Ia tersenyum di dalam hatinya. Akhirnya, ia bisa membuat putri bungsunya keluar dari rumah kediaman mereka!
"Idemu sangat bagus. Ingat, setelah keluarga Wijaya setuju... kau tidak boleh menarik kata-katamu kembali!" Ujar ayahnya dengan senyuman yang hanya mementingkan anak sulungnya.
Terlihat sangat jelas bahwa ia memuji Shela dengan bersungut-sungut. Namun Shela yang mendambakan kehangatan ayahnya, melihat hal itu dengan rasa syukur karena ia sedikit bisa membantu ayahnya. Walaupun sebenarnya hatinya sangatlah gusar!
Walaupun cerdas, hati shela sangatlah rapuh. Sebenarnya ia hanya menginginkan kasih sayang dari ayah dan ibunya.
"Baik, ayah..." Shela tersenyum lembut disaat hatinya merasa tercabik-cabik. Iya menyembunyikan rasa sakitnya dengan sangat baik, guna mendapatkan pengakuan dari ayahnya.
Ayahnya yang kembali bersemangat itu kemudian menyeruput teh hijau buatan Shela dengan nafas yang lega. Ia bersandar pada kursi sofanya dengan tersenyam-senyum bahagia. Itu karena beban hutang yang mungkin dibayarkan dengan mempertaruhkan perusahaannya kini bisa terselesaikan.
Tenggelam dengan pemikiran yang melegakan, ia berharap keluarga Wijaya akan setuju untuk menerima Shela menggantikan Dara.
"Saya kembali ke kamar dulu ayah..." Kata Shela dengan hormat.
"Ya sudah, pergilah..." Jawab ayahnya tanpa melihat wajah anaknya yang dengan berbaik hati ingin menolongnya. Ia hanya mengibaskan tangannya dan tak peduli dengan apakah Shela akan terus duduk bersamanya atau pergi.
~To be continued