"Tentu saja. saya memiliki beberapa hal yang akan meluluhkan hati kamu tahu. Uhm salah satu contohnya saya udah mapan. Kalau kamu sama yang seumuran, kamu pasti sedikit kesusahan, sama sayakan kamu enggak perlu pikir banyak kalau menghamburkan uang. Selain itu saya juga masih gagah. Kamu sudah membuktikannya sendiri," bisik Genta.
"Kan aku masih kecil, Om. Sekolah juga baru kelas tiga SMA. Masa disusupi sama hal yang kayak gitu sih? Enggak baik tahu dewasa sebelum waktunya." Kania berdecak.
Genta tertawa mendengar alibi isterinya itu. "Kenyataannya di masa sekarang orang tahunya kamu strata satu, Ka'."
Kania menggidikkan bahunya. "Biarin aja. kan sekarang aku cuma ngomong sama Om. Dan Om udah setengah percaya aku menjalani perjalanan waktu."
"Ka', sebenarnya saya mau ngomong serius. ini titipan dari papa." Wajah Genta berubah.
"Soal ke psikolog?" Kania sudah bisa menebak lebih dulu. "Bukannya aku enggak mau. Aku hanya kesal ketika diagnosanya salah. Dia mengiyakan saja semua perkataanku kemudian memberikan kesimpulan lain pada papa di akhir. Seolah-olah dia memang menginginkan aku memiliki gangguan mental."
"Tapi jika dilihat dari sisi lainnya, kamu bisa curhat banyak hal padanya. Mungkin ada masalah yang tidak saya pahami dari saya, dari Tara. Secara kami semua pria. Mungkin kamu butuh teman wanita."
Kania menarik nafasnya. "Ya deh, ntar dicoba."
Genta mengusap lembut pipi isterinya itu. "Saya enggak maksa. Kamu boleh menolak kalau tidak mau."
Kania memutar bola matanya. "Tapi membujuk aku untuk menyetujuikan?"
"Saya hanya tidak ingin kamu tertekan. Sejujurnya jika kamu masih bisa keberatan saya mulai memikirkan mencarikan nanny untuk Mikaela."
Kania menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak, bagaimana kalau nanny-nya menggoda Om. Aku enggak mau. Banyak cerita seperti itu. Lagipula Mikaela anak aku."
Genta tersenyum kecil. "Sekali lagi saya hanya memberikan opsi, Ka'."
"Aku menolaknya. Jangan coba untuk genit sama yang lain, Om!" Kania memberikan peringatan membuat Genta menyemburkan tawanya.
"Sama kamu enggak boleh soalnya."
"Om!" tanduk Kania benar-benar keluar yang sekali lagi berhasil membuat tawa Genta pecah.
Setelah puas mereka bertatapan. Terpesona satu sama lainnya. Genta tidak perlu ditanya bagaimana dia jatuh cinta setiap detiknya pada sang isteri. Sementara Kania, perempuan itu masih tidak tahu kepastiannya. Entah masih diambang batas sabarnya atau tidak.
Drrt, drrrt, getaran notifikasi pesan pada ponsel Kania mengalihkan dua orang itu. Kania tersenyum membaca pesan itu. Tangannya mengetikkan pesan. "Om udah selesaikan makannya?"
"Kamu memiliki janji? Katanya Abi enggak ikut," tanya Genta dengan wajah aneh penuh makna.
Kania menganggukkan kepalanya. "Sama anti Marsha. Dia udah nunggu di bawah. Kami janji mau shopping. Bolehkan?" Kania berbisik diakhir.
Genta tertawa. "Saya pikir kamu punya janji dengan Abi. Bukannya tadi kamu bilang mau ke perpus. Habis itu baru deh."
"Hehe, maksud aku habis belanja sama anti Marsha baru aku ke perpus." Kania cengengesan yang membuat Genta berdecak gemas kesekian kalinya dengan kelakuan isterinya itu. Setelahnya Kania selesai mengemas kotak makanan Genta.
"Biar saya antar ke bawah," ujar Genta sambil berdiri.
"Enggak percaya ya?" delik Kania.
"Saya percaya. Tapi saya ingin mengantar kamu."
Kania menganggukkan kepalanya. "Kalau memaksa aku bisa apa."
"Maaf, Pak. Sebentar lagi kita akan berangkat kunjungan pabrik." Tiara berdiri berkata pada atasannya tersebut.
"Undur sebentar. Saya ingin mengantar isteri saya dulu!" Genta memberikan titah yang membuat Kania tersenyum senang yang mencemooh Tiara. Kania tidak lupa merangkulkan lengan Genta pada dirinya pertanda kepemilikan. Hal yang membuat Tiara panas.
"Tuh dengar! Undur dulu!" ujarnya.
"Kamu ini," decak Genta yang mengerti dengan sikap isterinya.
"Biar dia tahu posisinya," ujar Kania.
Begitu mereka sampai pada lantai dasar, Marsha sudah menunggu di dalam mobil. Dia reflek memutar bola matanya melihat pasangan itu. "Ampun deh, Mas. semua orang di perusahaan ini juga tahu kali Kania milik, Mas. enggak usah ditunjukkin juga pakai rangkulan itu lagi."
Genta tersenyum kecil pada adiknya. "Kamu tidak pernah mengerti."
"Apa yang tidak aku mengerti dari Mas?" decak perempuan itu. Genta tidak berkata lagi membukakan pintu untuk Kania kemudian menuntun isterinya itu masuk sehati-hati mungkin. Setelahnya Genta tidak langsung berbalik ke kantornya. Melainkan dia berdiri dulu. Menyuruh Marsha menurunkan kaca.
"Apalagi, Mas?" tanya adiknya yang nomor dua itu.
"Kalian akan pulang jam berapa nanti?" tanya Genta.
Mata Marsha spontan membola. "Kami bukan anak kecil lagi, Mas."
"Pastikan ponsel kamu aktif, Marsha. Jangan ajak Kania menonaktifkan ponselnya juga."
"Om, maksudku Mas, Aku dan Anti akan baik-baik aja, kok. Lagipula aku memang berencana akan menghasut anti Marsha buat nonaktifin ponsel. Healing itu butuh konsentrasi om." Kania nyengir dengan wajah innocentnya pada sang suami.
Kening Genta mengkerut. "Bukannya tadi kamu bilang mau belanja?"
"Shoping itu juga bisa jadi healing, Mas!" ucap mereka berdua kompak berhasil membuat Genta berdecak.
"Baiklah, bersenang-senang. Jangan macam-macam!" ujar Genta kemudian.
"Mbak, tolong kasih sesuatu sama Mas Genta agar dia segera pergi atau dia akan nangkring disitu terus." Marsha menginstruksi sesuatu pada Kania.
"Hah?" tanya Kania mengekrutkan keningnya.
"Itu lho jurus yang biasa …" ujar Marsha memberikan Kania kode.
Perempuan itu memerah. Ia mendekatkan wajahnya pada Genta lantas memberikan kecupan singkat. "Dorong, Mbak!" perintah Marsha lagi. ia mendorong Genta menuruti perintah iparnya itu. Marsha segera memanfaatkan momentum untuk segera kabur dari sana.
***
Pergi berbelanja dengan Marsha pengalaman pertama bagi Kania. Tapi dalam memori Marsha sudah menjadi pengalaman yang kelima. Semenjak Kania menjadi isteri abangnya, mereka beberapa kali memutuskan untuk menghabiskan uang laki-laki itu. Genta tidak pernah protes lagi pula.
"Ini nih yang paling aku suka kalau belanja sama Mbak." Marsha memberikan komentarnya disela-sela kegiatan belanja mereka.
Kania menaikkan alisnya. "Apa?"
"Kita tidak pernah tanggung-tanggung dalam menghabiskan uang Mas Genta."
Kania tertawa kecil. "Kan Mas Genta tetap baik sama Anti."
"Baik apanya. Nyebelin iya. Mana selalu banyak aturan sama dia tadi. Lihatkan, masa tadi kita belum juga pergi udah ditanya kapan pulangnya." Marsha memutar bola matanya. Cukup jengah dengan kelakuan abangnya yang tidak pernah berhenti overprotektif sedari dulu. Seolah Marsha masih anak kecil. Padahal perempuan itu sudah menikah dan memiliki anak.
Kania juga ikut tertawa mendengar perkataan Marsha. Mengiyakan perempuan itu ada benarnya. Tiga bulan ini dia merasakan hal yang sama dengan yang Marsha rasakan. "Memang Mas Genta selalu gitu enggak sih sama adik-adiknya? Kenapa ya?"
Marsha menganggukkan kepalanya. "Tahu tuh. Bilangin Mbak, jangan terlalu anggap kami masih kecillah! Mentang-mentang Mas Genta jadi tulang punggung pengganti Bapak. Eh, tapi tumben Mbak nanyain itu. Biasanya kalau curhat gini selalu bela Mas Genta."