Kania berdehem kecil. Dia sekali lagi tidak tahu kalau dirinya di masa depan akan berlaku seperti itu. "Ehm … tergantung suasana hati mungkin …" Kania menjawab ambigu.
Marsha tertawa kecil. "Apaan sih? Enggak jelas banget hubungan kalian berdua. Tapi aman-aman ajakan? Jangan sungkan ngadu sama aku, Mbak. Nanti aku laporin sama mama kalau Mas Genta bertingkah."
Kania tertawa kecil. "Baik-baik aja kok."
"Eh, aku mau ganti gaya rambut. Mbak ikutan juga enggak?" Marsha memberikan ide setelah segala curhatannya tentang Genta. Kania langsung mengangguk setuju.
"Boleh deh. Udah lama enggak."
"Udah lama enggak? Bukannya rambut ini baru aja disalon dua bulan yang lalu ya?" tanya Marsha bingung.
Kania tertawa kecil. Sekali lagi dia tidak tahu. "Kan dua bulan itu bisa dikatakan lama, Anti." Semakin lama Kania berada di masa depan semakin lihai dia berbohong. Tidak, lebih tepatnya mencari alasan. Lama-lama dia akan memahir memanipulasi orang-orang sepertinya. Dia sudah lelah meyakinkan semua orang tentang lompatan waktunya. Hal yang tepat sekarang adalah berbohong agar dianggap normal seperti biasanya.
Marsha juga ikut tertawa mendengar jawaban Kania. "Mama kalau tahu aku mengajak Mbak pergi bisa habis kena ceramah nih."
"Kenapa?" tanya Kania.
"Biasa, pasti mama enggak suka aku morotin menantunya."
Kania tertawa. "Uang Om Genta juga padahal." Kania memejamkan matanya sketika dia keceplosan menyebut Om Genta. Tapi dia berusaha mempertahankan ekspresinya seolah-olah dia tidak memanggil Genta dengan sebutan Om.
***
Dua minggu tenang berjalan tanpa konflik Genta dan Kania. Tidak ada masalah apapun. Mungkin hanya sedikit protes Kania. Genta yang selalu memahami isterinya dalam banyak kondisi bersikap dalam hal apapun. Tentu saja orang yang paling banyak mengelah menyelami kondisi isterinya. Mereka bahkan sempat jalan-jalan bertiga di akhir pekan. Hanya jalan-jalan biasa memang, tapi bagus untuk Kania yang semakin bisa melihat Genta sebagai pria. Tidak ada kontak fisik berlebih selama dua minggu itu. Genta berusaha keras menahan dirinya.
Tapi hari itu …
Badan Kania panas. Bibi dan Mamang tidak ada di rumah. pekerja Kania itu sedang izin pulang kampung menziarahi makam kedua orang tuanya dari kemarin lusa. Rencananya bibi akan kembali lima hari lagi. Kania kelimpungan ketika Tara ataupun Genta tidak bisa dihubungi.
"Sabar ya sayang. Aku tidak mengerti kamu mau apa?" ucap Kania panik. Ia belum lama beradaptasi menjadi seorang ibu. Masih banyak hal yang tidak bisa Kania mengerti. walaupun pencinta anak kecil. Dia sangat tidak berpengalaman menghadapi kondisi Mikaela yang sekarang. Banyak kepanikan yang ada dalam dirinya. Akhirnya Kania memilih menekan pilihan terakhir. Mikaela semakin menangis tanpa Kania tahu kenapa. Ia terus menolak Kania beri susu.
Kania tidak punya jalan lain selain meminta bantuan Abi. Hanya butuh waktu lima belas menit bagi Abi untuk sampai di depan rumah Kania. "Maaf repotin lo, Bi!" ujar Kania ketika dia sudah berada di pintu sambil menggendong Kania.
"Lupain soal gue, tuan puteri lebih penting." Abi sikap membawa Kania dan anaknya ke dalam mobil. Kemudian melirik sebentar pada Mikaela. "Dari jam berapa dia menangis terus?"
"Dari siang. Aku udah coba nenangin tapi nihil. Udah coba juga pake petunjuk di internet tapi demamnya Mika malah belum turun. Bahkan gue rasa semakin malam semakin panas." Kania menjelaskan semuanya pada Abi.
Laki-laki itu mengangguk. "Kita akan cari rute yang tidak macet," ujar Abi mengambil jalan memutar. Kania hanya pasrah dengan keputusan laki-laki itu. Benaknya hanya tertuju pada Mikaela. Bagaimana caranya bayi dua bulan yang sudah berbagi hidup dengannya itu bisa sembuh. Minimal bisa tenang dengan panas badan yang semakin menurun.
Mikaela langsung ditangani saat sampai di rumah sakit. Syukurnya dokter mengatakan Mikaela hanya demam biasa. Dia diberi beberapa saran dan Kania bisa sedikit lega. Lutut perempuan itu lemas membuat Abi harus menopang agar perempuan itu tidak jauh.
"lo baik-baik aja?" tanya Abi.
"Enggak tahu. Gue panik bangat," ujar Kania mengungkapkan isi hatinya dengan lemah. Abi masih berusaha menopang tubuh perempuan itu agar tidak jatuh.
"Tidak apa-apa! tuan puteri pasti akan baik-baik saja." merangkul tubuh Kania hanya untuk menenangkan perempuan itu dan memberikan sedikit kekuatannya pada ibu satu anak itu. tidak pernah berfikir ada maksud lebih.
Bugh! Baru selesai Abi bicara satu pukulan melayang pada laki-laki itu. Secepat kilat dalam hal yang tidak dapat Kania perhitungkan dirinya sudah berganti dalam pelukan Genta. "Om Genta! Ini tidak seperti yang Om bayangkan."
"Tidak seperti yang aku bayangkan atau bukan, seharusnya dia bisa menjaga tangannya dengan lebih baik!" tandas Genta tajam. Wajah Genta tampak memerah dengan sorot hitam. Belum pernah Kania melihat Genta berada dalam posisi seperti itu.
"Tidak ini …" Kania berusaha menjelaskan situasinya pada sang suami. Kania berhenti sebentar. "Ngomong-ngomong kenapa Om disini? Aku belum mengabari Om."
Genta mengusap kepalanya. "Mila butuh bantuanku. Anaknya sedang sakit. Jadi tadi aku membawa anaknya ke rumah sakit dulu. Saat akan pulang aku melihat kalian disini."
Kania menganggukkan kepalanya. "Begitu," ujarnya dengan wajah yang berubah.
"Hm? Kalian sedang apa?" tanya Genta.
Kania menarik nafasnya. "Ayah anakku mengurusi orang lain saat anaknya sendiri yang sakit. Pantas tidak bisa dihubungi. Pergi dengan mantan ternyata." Ucapan Kania terkesan begitu sakartis membuat Genta terbelalak.
"Mikaela sakit?" tanya laki-laki itu memastikan.
"Tidak perlu pura-pura peduli." Kania kemudian membuka pintu ruangan rawat anaknya. Ia berniat menghampiri puterinya. Sementara di luar Genta menghembuskan dia tidak tahu sama sekali anaknya sakit. Dia mengumpati dirinya sendiri ketika dia memeriksa ponsel panggilan dari Kania banyak sekali masuk.
Abi yang masih memeriksa rahangnya yang terasa sedikit bergeser itu menghampiri Genta. "Kania tadi panik sekali. Sepertinya saya pilihan terakhirnya. Matanya sangat putus asa saat saya datang. Wajar lututnya lemas saat mendengar kondisi anak-anaknya baik saja. saya hanya membantunya tetap berdiri. Maaf kalau tindakan itu saya lancang. Tapi … tidak ada lain kali jika Om terlalu sering mengabaikan Kania. Berikan sama saya Om! Sudah terlalu sering seperti ini. Tidak saat kalian pacaran, tidak saat kalian menikah."
Setelah mengatakan hal itu pada Genta, Abi pergi dari rumah sakit itu. Tidak ada dendam dari mata laki-laki itu. Tapi Genta jelas sekali merasa bersalah. Ia menunduk. Menyandarkan kepalanya pada pintu. Seharusnya dia tidak langsung mengamuk seperti itu. Bukan salah Abi berdiri disana. salahnya Genta yang tidak mengangkat panggilan isterinya.
Kania membuka pintu kemudian dengan mengangkat Mikaela. Dia masih menatap Genta dengan pandangan kecewanya. Genta tahu itu. maka dia membiarkan Kania diam selama perjalanan pulang. Ia mengerti kenapa Kania tidak ingin bicara dengannya.
***