"Cepat pergi dari sini, karena rumah ini sudah disita oleh pihak bank!" perintah salah seorang preman yang pagi-pagi sudah datang di kediaman Andrew Vernandez.
Pagi ini, dua orang preman yang mengaku suruhan dari pihak bank--tempat di mana Andrew meminjam uang demi menyelamatkan perusahaannya yang sudah berada di ambang kehancuran. Mereka datang ke rumah Andrew untuk mengusir keluarganya karena tidak sanggup membayar utangyang sudah berbulan-bulan menunggak.
"Beri saya waktu sebentar aja, Pak. Saya janji akan melunasi semua hutang-hutang suami saya," sahut Alisha Vernandez—istri Andrew.
"Tidak ada waktu lagi. Cepat pergi dari sini, atau lunasi hutang suamimu sekarang juga!" sergah preman itu.
"Ta-api kami belum punya uangnya, beri kami waktu beberapa hari lagi, saya mohon," pinta Alisha.
Percuma saja Alisha memohon, para preman itu sudah tidak mau lagi mendengarkan penjelasannya. Mereka secara paksa menerobos masuk ke dalam rumah Andrew untuk mengusir keluarganya yang ditinggalkan dengan tumpukan hutang.
Di dalam sebuah kamar yang didominasi dengan warna biru muda, seorang wanita yang tengah berlabuh di pulau kapuk merasa terganggu dengan keributan di luar dan terpaksa harus menyudahi mimpi indahnya.
"Siapa sih, berisik banget? Gak tahu apa orang lagi tidur?" kesal wanita yang terlihat cantik meskipun dengan wajah bantalnya.
Bukannya beranjak dari posisi rebahan dan keluar melihat keributan, wanita itu malah menutup telinganya menggunakan bantal, dan kembali melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu.
Namun, ternyata keributan di luar membuat wanita itu tak bisa melanjutkan tidurnya lagi. "Sial, itu suara apaan, sih!" rutuknya kesal dan turun dari tempat tidurnya. Ia berjalan keluar dari kamarnya untuk melihat keributan apa yang terjadi di depan sana sampai mengganggu tidurnya.
Brakk!!
Brakk!!!
Brakk!!
Wanita yang hanya mencepol rambutnya dengan asal, sampai terlonjak kaget mendengar dan menyaksikan keributan yang disebabkan oleh dua orang tak dikenalnya. Mereka yang berpakaian seperti preman tengah mengacak-acak seluruh isi rumahnya. Bahkan, juga membanting beberapa barang berharga yang ada di sana.
"Hey, siapa kalian?!" pekik wanita bernama lengkap Amira Vernandez.
Amira, begitu sapaan yang biasa teman-temannya gunakan untuk memanggil wanita berparas ayu itu. Sedangkan Andrew dan Alisha memanggilnya Rara—panggilan kesayangan dari mereka untuk putri satu-satunya.
Amira segera menuruni anak tangga, "Heh, kalian ngapain di rumah saya? Pakai acara rusakin barang-barang segala lagi, siapa kalian?!" gerutu Amira.
"Kau gak perlu tau siapa kami!" jawab salah satu preman. "Kau hanya perlu mengemasi barang-barngmu dan keluar dari rumah ini secepat mungkin!" imbuhnya.
"Kau gak waras, ya? Kenapa aku harus mengemasi barang-barang dan keluar dari rumahku sendiri?" Amira menyolot tak senang.
Tidak hanya Amira, siapa pun tidak akan senang jika tiba-tiba diusir dari rumah yang sudah puluhan tahun menampungnya. Menjadi saksi bisu dalam tiap kenangan yang tercipta di dalamnya.
"Rumah ini sudah dijadikan jaminan atas semua hutang-hutang papamu. Bukan hanya rumah, tetapi semua aset yang kalian miliki!"
"Hutang? Hutang apa?" tanya Amira dengan tampang tak perrcaya. "Dengar ya, papa saya itu orang kaya yang hartanya gak bakalan habis tujuh turunan sekalipun. Mana mungkin dia utang sama kalian-kalian ini," ujar Amira dengan sombongnya.
"Cih, sombong sekalih!" Preman itu berdecih sinis dengan tatapan mencomooh.
Kemudian perhatian ketiga insan itu teralihkan oleh sosok Alisha yang tengah berlari ke arah mereka dengan air mata yang membanjiri pip, dengan isak tangis yang terdengar memilukan di telinga Amira.
"Mama, kenapa Mama nangis? Sebenarnya ada apa ini? Kenapa mereka semua menghancurkan rumh kita dan mengusir kita dari sini?" cecar Amira kebingungan.
"Papa kamu punya hutang dengan pihak bank dan sudah berbulan-bulan menunggak dengan bunga yang begitu besar. Sekarang, mereka akan menyita rumah kita," jelas Alisha dengan air mata yang berlinangan membasahi pipinya.
"Apa?!" pekik Amira tak percaya. Wanita itu sampai membekap mulutnya yang sempat menganga karena kaget. "Gak mungkin, Ma. Papa itu kaya, mana mungkin berhutang sama bank," sanggah Amira.
"Itulah kenyataannya, Sayang," sahut Alisha mencoba memberikan pengertian pada putrinya. "Sebenarnyaa, bisnis papa kamu udah hampir bangkrut, dan papamu terpaksa mengambil pinjaman ke bank untuk mempertahankan bisnisnya itu. Dan sekarang, papa kamu gak bisa membayar utangnya," jelas Alisha.
"Gak mungkin, Rara gak percaya!" Amira menolak mempercayai ucapan mamanya.
"Kalian berdua, pergi dari rumah saya. Ini rumah saya, kalian gak berhak mengusir saya dan mama saya dari sini!" bentak Amira kepada dua orang preman yang masih setia menunggu Amira dan Alisha keluar dari besar yang sudah menjadi bagian dalam hidup mereka.
"Kalian yang harusnya pergi dari rumah ini, cepat kemasi barang-barang kalian dan segera tinggalkan rumah ini, atau ...."
"Atau apa? Saya tidak takut dengan kalian semua," tukas Amira.
"Wah, berani sekali kamu. Sudah punya utang, gak mampu bayar, dan sekarang malah nyuruh kami pergi dari sini. Sepertinya kalian tidak bisa dikasih hati," ucap preman itu dengan senyum miring. "Baiklah, jangan salahkan kami jika bersikap kasar!" peringatnya.
Kemudian, preman itu memberi kode pada temannya hanya dengan gelengan kepala. "Seret mereka!"
Kedua preman itu masuk ke dalam kamar dan mengambil koper milik Alisha dan Amira. Kemudian, mereka langsung membuang koper itu keluar rumah dan segera menyeret kedua wanita yang menolak pergi.
"Pergi kalian!"
Alisha terjatuh di lantai, "Auh!!" rintihnya.
Amira tidakterima melihat mamanya kesakitan begitu, "Santai dong, jangan kasar sama wanita!" ketusnya memberontak.
"Kalau gak mau kami bersikap kasar, pergi dari sini!" sahut preman itu.
Amira dengan geram menendang tulang kering si preman yang masih mencoba menarik tangannya, hingga lelaki itu merintih dan melepaskan tangan Amira.
"Dengar ya! Dengar baik-baik, kupingnya dipake. Kalian boleh kasar sama saya, tapi jangan pernah sekali-kali kalian menyakiti mama saya. Paham!" gertak Amira.
"Terus kenapa? Kamu gak terima?" tanya temannya menantang.
"Saya tidak akan tinggal diam, kalau kalian berani-beraninya menyakiti mama saya, ingat itu!" tegas Amira.
Amira menghampiri dan membantu mamanya berdiri "Ayo Ma, kita pergi dari rumah ini," ajaknya.
"Tapi, kita akan ke mana? Mama sudah tak punya uang lagi untuk mencari tempat tinggal lain," sahut Alisha.
Amira diam sesaat, wanita itu juga tidak tau harus ke mana. Uangnya juga sudah tidak ada lagi karena keborosan yang dilakukannya selama ini. Tau akan hidup melarat seperti ini, Amira tidak akan membelanjakan uang bulanannya untuk hal-hal yang tida terlalu diperlukan.
"Mama tenang aja, Amira masih ada kalung. Kita bisa jual ini untuk sewa kontrakan. Sementara itu, Rara akan cari pekerjaan untuk menyambung hidup kita," ucap Rara menenangkan mamanya.
"Tapi, itu kalung pemberian papa saat kamu ulang tahun dulu, apa kamu rela menjual itu?" tanya Alisha.
"Gapapa Ma, uang bisa dicari nanti," sahut Amira.
Meski Amira juga sebenarnya merasakan kebimbangan untuk kehidupan selanjutnya. Entah untuk kebutuhan sehari-hari atau pun untuk tempat tinggal yang harus dibayar per bulannya. Akan tetapi, Amira tidak mau memperlihatkan itu di depan mamanya. Biarlah dirinya yang memendam rasa itu sendiri dan menutupi itu dari sang mama.
Sampai di depan gerbang rumahnya, Amira menoleh kembali ke arah rumahnya. Ia seperti mengingat semua kenangan yang ada di rumah itu. Kenangan penuh kebahagiaan bersama mama dan papanya. Tapi sekarang, rumah itu sudah tidak bisa ia tempati dan menciptakan kenangan lagi di dalamnya.
Hati Amira sakit, apalagi melihat ada tulisan 'RUMAH INI DISITA!' rasanya seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya hingga ia merasakan sesak.
Namun, Amira berjanji di dalam hatinya … ketika sukses nanti, ia akan membeli kembali rumahnya. Menurutnya, kenangan yang ada di dalam rumah itu sangatlah berarti. Dan Amira tak rela melepas semua kenangan yang ada di sana.
"Ma, kita jalan kaki aja dulu, ke tempat penjualan emasnya, ya. Kalau kita naik taxi, Rara gak ada uanganya." ucap Amira.
"Gapapa sayang, Mama ngerti," jawab Alisha dngan senyuman yang selallu berhasil menenangkan kegundahan Amira.
"Maafin Rara, Ma," ucap Rara lagi.
Alisha tersenyum dan memeluk putrinya, "Gak papa, Sayang."
Di saat tengah berpelukan, tiba-tiba ada sebuah mobilk mewah yang berhenti di dekat Alisha dan Amira.
Keduanya melerai pelukan dan serentak melihat ke arah mobil itu untuk mengetahui pemiliknya.