Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Sore ini, langit begitu deras menurunkan rintik hujannya. Terlihat seorang gadis berusia 26 tahun, duduk termenung di lantai keramik, di salah satu ruangan tahanan kantor polisi. Dia bernama, Sabrina Anastasya Bramantio.
Selama 3 tahun ia menghabiskan waktu dalam masa tahanan karena kesalahan yang tak pernah ia lakukan. Fitnah kezi itu, telah menghancurkan kehidupan serta masa depan sabrina.
"Allahuakbar!"
Gemuruh petir sontak membuat sabrina terperanjat. Memegang dada yang bergetar karena suara menggelegar memecah di ruangan.
Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekati ruangan sel, tempat sabrina di kurung. Tampak seorang pria berseragam yang memiliki tubuh tegap dan wajah sangar, berdiri tepat di depan pintu jeruji besi.
"Sabrina!" Suara bariton itu seketika memecah dan membuat Sabrina tersentak begitu namanya dipanggil.
"Iya, Pak," jawab Sabrina yang sontak berdiri tegang, mendekati pengawas lapas dari dalam sel.
"Besok kebebasan kamu pukul 08.00 pagi, silahkan kemasi barang-barang kamu dari sekarang!" titah pengawas tahanan penuh penegasan dan langsung ditanggapi dengan ekspresi semringah oleh Sabrina, sebelum pengawas tahanan itu berlalu dari tempat tersebut.
Setelah 3 tahun menjalani masa hukuman, akhirnya ia mendapatkan kabar baik dan bisa bebas dari masa tahanan. Ah, rasanya ia sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara segar di luar sana.
Sesuai keputusan sidang 3 tahun lalu, yang menyatakan sabrina di vonis 5 tahun penjara. Namun, karena beberapa kali mendapat remisi, akhirnya masa tahanannya di kurangi menjadi 3 tahun.
Sampai tiba waktunya di hari esok, ia akan kembali menjalani hidup normal.
Sabrina menangis dan bersujud, tangisan kali ini sebagai tanda kebahagiaan. Esok harinya sabrina sudah berpakaian rapi, dan keluar dari dalam tahanan. Ia menghirup udara bebas.
'Setelah 3 tahun aku hidup dalam penderitaan. Yang awalnya sempat putus asa, kini dapat bangkit kembali,' batin sabrina. Perlahan, Ia mulai melangkahkan kakinya, berjalan menjauhi tempat yang telah 3 tahun ini ia tempati. Namun, di tengah perjalanan, langkah kakinya terhenti, manakala keraguan menginvasi pikirannya.
'harus kemana aku berpijak? Rasanya, tidak mungkin aku kembali ke rumah orang tuaku, yang sedari awal sudah membenciku,' Sabrina membatin di dalam hati, matanya berkaca-kaca, mengingat kejadian kelamnya 3 tahun lalu.
Sabrina terduduk kebingungan di kursi besi yang berada di trotoar jalan, dengan gembolan tas di sampingnya.
Tiba-tiba ia teringat sahabatnya di tahanan dulu, Nazwa El Zahira. Gegas Sabrina merogoh isi tas nya, mencari sebuah kertas yang dulu di berikan Nazwa sebelum ia keluar.
'Akhinya, ketemu juga,' gumamnya. Ia membuka kertas yang berisi alamat rumah Nazwa. tanpa pikir panjang, ia mencari alamat tersebut.
Setelah 2 jam lebih Sabrina berkeliling mencari alamat Nazwa. Akhirnya, dia menemukan sebuah rumah sederhana berwarna biru, alamat yang sama sesuai dengan tulisan yang tertera pada secarik kertas yang di pegangnya.
Tanpa menunggu komando, Sabrina langsung menghampiri rumah itu dan mengangkat sebelah tangannya untuk mengetuk pintu.
"Assalamualaikum" Sabrina mengucapkan salam, berharap sang penghuni rumah berada di dalam.
"Waalaikumsalam."
Sabrina menyeringai senang saat mendapat sambutan dari sang pemilik rumah.
Sabrina terperangah saat mendapati Nazwa yang berdiri tepat di depannya, begitu pintu itu terbuka.
Sebagaimana Sabrina, Nazwa pun ikut terperangah saat menyadari ternyata sahabatnya yang datang ke rumah.
Nazwa terperangah dengan mata membulat sempurna, menatap wajah Sabrina di depan matanya.
"Sabrina?" Nazwa secepat kilat merangkul tubuh Sabrina dan memeluknya erat. Ia tidak pernah menyangka, akhirnya bertemu kembali dengan sahabatnya itu. Mereka berdua masuk ke dalam rumah, serta duduk di sofa berwarna abu-abu yang sudah sedikit lapuk, tetapi masih layak pakai.
"Maaf, Naz, aku tidak tahu harus pergi kemana lagi. Aku hanya mengingat, kertas yang dulu kau berikan untukku," lirih Sabrina.
Sepasang manik cokelat itu tampak basah, hampir mengeluarkan cairan bening, tetapi berusaha ia bendung.
"Rin, aku seneng bisa ketemu kamu lagi. Sudahlah, tinggal di sini bersamaku. Aku hidup hanya seorang diri di sini," balas Nazwa yang seketika mengusap punggung Sabrina, berusaha menguatkan.
Sabrina pun tinggal di rumah nazwa, untuk sementara waktu.
***
Hidup sebagai pengangguran membuat ekonomi mereka semakin tercekik. Mereka berdua tak gentar mencari pekerjaan keliling kota Jakarta.
Setelah satu minggu berlalu, tak jua mendapatkan pekerjaan.
Namun, tak mengurangi semangat kedua wanita itu untuk tetap berusaha, meskipun kemungkinan besar tidak ada perusahaan yang mau menerima kariyawan mantan narapidana.
Setelah seharian berjalan, Nazwa dan Sabrina yang kelelahan, berniat beristirahat di kursi besi berwarna hitam, yang terpasang di pinggir jalan.
Tiba-tiba, tampak sebuah mobil berwarna merah berhenti tepat di depan sabrina duduk, "Itu seperti mobil milikku dulu," desis Sabrina seraya mengamati mobil yang di maksud.
Bersamaan dengan itu, sosok wanita berpakaian seksi keluar dari mobil merah itu dan langsung menghampiri Sabrina.
Dalam hitungan detik, sebuah tamparan keras melayang di pipi Sabrina, hingga membuat wajah cantiknya terbuang ke arah kanan, karena hantaman keras yang di berikan wanita yang sudah berdiri di depannya.
"Hei!!! Apa-apan ini?" Dengan sigap Nazwa membentak wanita yang sudah menampar sahabatnya, lalu sontak mendorong tubuh wanita itu bergeser ke samping.
"Heh, lo jangan ikut campur, ya!" wanita itu berbalas mendorong Nazwa, dengan posisi telunjuk mengarah kedepan mata Nazwa
"Cukup, cukup!" teriak Sabrina yang tak mampu menbendung air matanya
"Lo dengar ya, Kak. Jangan pikir bebas dari penjara, lo bisa hidup bahagia. gue akan pastikan, hidup lo lebih menderita dari sebelumnya," murka wanita itu, setelah wajah ketus dan jarinya menunjuk mata Sabrina. Ia lekas berjalan masuk ke dalam mobil, kemudian pergi melajukan mobil itu dan membelah jalan raya yang tampak sibuk dengan lalu lalang kendaraan.
Air mata Sabrina pun semakin luruh mengalir deras di pipinya. bukan karena takut pada wanita itu. Namun, masa lalunya yang pedih terlalu sakit untuk diingat kembali.
"Siapa wanita itu, Rin. kenapa ia begitu murka terhadapmu?" tanya Nazwa penuh heran dan kebingungan
Bukannya menjawab, Sabrina justru menangis sekuat-kuatnya, menyandarkan badan kepada Nazwa seolah-olah tak ada lagi pegangan hidup.
Peristiwa di masa lalu yang sudah merampas seluruh kebahagiannya tidak ingin diingat. Namun, entah kenapa tiba-tiba kedatangan wanita itu justru membuka kembali kisah kelamnya.
Memorinya seolah-olah memutar kembali reka adegan kejadian 3 tahun yang lalu. Betapa hancur perasaannya saat mengingat kembali hari-hari yang terlampau menyakitinya.
"Kita pulang saja ya, Rin."
Sabrina mengangguk, mengiakan ajakan Nazwa. Mereka pun pulang tanpa melanjutkan kembali niat mencari pekerjaan.
Sabrina memang belum menceritakan kisah kelamnya pada Nazwa. Karena, Nazwa hanya tinggal beberapa bulan saja di dalam pernjara