Sesampainya di rumah, Sabrina pun menceritakan Kisah kelam 3 tahun lalu.
Kala itu awan kelabu terlihat menghiasi cakrawala, pertanda akan segera turun hujan. Sepasang kekasih tampak duduk bersebelahan di sebuah bangku besi berwarna putih yang berada di taman kota. Bahkan mereka tidak peduli dengan langit yang makin terlihat kelam, tertutup awan hitam.
"Kok, kamu ngajak ketemuan di sini, sih? Engak biasanya, deh?" tanya Sabrina heran seraya memegang tangan Reyno sangat erat.
"Ada yang harus aku bicarakan sama kamu, serius," jawab Reyno seraya melepaskan tangan Sabrina. Dia sedikit memiringkan posisi duduknya, menghadap sang kekasih, melemparkan tatapan nanar yang membuat Sabrina merasa heran.
"Apa?" Sabrina menatap Reyno penuh selidik, seolah-olah sudah menaruh rasa curiga pada pria itu.
"Aku rasa, semakin ke sini hubungan kita semakin hambar," lirih Reyno, tanpa ada senyuman sedikitpun yang terukir di wajahnya.
"Maksud kamu apa? Kamu lagi cape bukan, sih? Ada masalah di kantor kamu?" Sabrina menghela napas pendek, berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Reyno.
Ada apa dengannya? Kenapa Reyno tiba-tiba berubah menjadi aneh seperti itu? gumam Sabrina dalam hati.
"Sabrina, maaf, sepertinya aku tidak bisa melanjutkan komitmen kita. Aku rasa hubungan kita hanya cukup sampai di sini saja." Reyno menundukan wajahnya ke arah bawah, seolah-olah sudah tidak sudi lagi bertatapan dengan Sabrina.
"Kenapa, Ren? Kayaknya kamu kecapean, deh. Kamu kok tiba-tiba ngelantur kayak gini? Kamu gak serius, kan?" Sederet pertanyaan yang dilontarkan Sabrina, berhasil membuat Reyno tertegun tidak bisa menjawab.
"Aku tahu, kamu lagi bercanda, kan? Ayolah, Ren ... bercandamu enggak lucu tahu!" gerutu Sabrina sambil menggoyang-goyangkan lengan Reyno.
"Cukup, Rin! Enggak ada yang bercanda! Aku serius dengan apa yang aku ucapkan. Sekali lagi maaf, aku harus pergi. Semoga kamu bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik daripada aku." Reyno berdiri, hendak melangkah meninggalkan Sabrina. Namun, terpaksa dia urungkan saat tangan wanita itu menarik lengannya.
"Tapi kenapa, Ren? Kamu harus jelasin dulu sama aku alasannya, jangan main pergi saja, aku butuh penjelasan!" rengek Sabrina masih memegang erat lengan Reyno.
"Tidak ada alasan lain, selain yang aku bilang barusan. Kita emang udah enggak cocok!" tegas Reyno berusaha menepis tangannya dari Sabrina. Namun, ternyata Sabrina cukup kuat untuk dikalahkan.
"Tidak, Ren! Aku enggak ngerti sama kamu, apa alasannya?" Wanita yang kerap di panggil Rina itu makin mempererat genggamannya, seolah-olah tidak rela jika Reyno pergi begitu saja.
Tanpa disadari, cairan bening tampak sudah menganak sungai di pipi wanita itu. Menumpah ruah tanpa bisa lagi dicegah. Dalam waktu sepersekian detik, hatinya bak hancur berkeping-keping. Pernyataan Reyno yang tiba-tiba, sungguh terlalu menyakitkan untuk didengar dengan telinga terbuka.
"Cukup! Aku capek menjalin hubungan di atas kepura-puraan! Nyatanya aku emang udah enggak nyaman sama kamu!" tukas Reyno seraya mengentakkan tangannya dengan begitu kuat hingga terlepas dari genggaman Sabrina.
Luka karena sayatan pisau, nyatanya tidak sebanding dengan rasa sakit yang tengah dirasakannnya saat ini. Sakit tak berdarah, jelas tidak akan sembuh dengan hanya ditetesi obat merah. Lantas, ke mana dia harus mencari pelipur lara? Mengikis semua duka yang tengah dideritanya?
Tidak menyangka jika pertemuannya dengan Reyno kali ini, justru akan menciptakan duka yang begitu mendalam. Andai bisa menerawang masa depan, pasti dia akan menolak ajakan Reyno hari ini. Menghindari semua rasa sakit yang akan menghujam jantungnya.
Nyatanya, hubungan percintaan yang berlangsung lama, tidak menjamin seseorang dapat memahami pasangannya. Tidak menjamin pula bahwa orang tersebut yang akan menjadi jodoh kita.
Sabrina menarik napas panjang, berusaha menetralkan perasaan, meski dadanya masih terasa begitu sesak. Disekanya air mata itu dengan kasar, mencoba untuk tetap terlihat tegar, meski nyatanya itu sulit sekali untuk dia lakukan.
Ah, dia baru sadar kalau ternyata cuaca mendung kali ini bukan karena pertanda akan hujan, melainkan turut berduka atas apa yang baru saja dia alami. Ya, dia rasa memang begitu.
Sesampainya di rumah sabrina tetap berusaha tegar, dia memang wanita yang selalu energik, tidak mudah lemah dan tidak pernah menunjukan kesusahan maupun kesedihannya kepada orang lain.
"Hai, kak!. Aku lagi seneng banget, Kak," ucap Cantika dengan wajah yang semringah dan begitu antusias ingin bercerita pada Sabrina, kakaknya. Meskipun mereka sodara tiri, tetapi mereka sudah bersama sejak kecil, sangat akrab dan saling menyayangi satu sama lain.
"Oh ya? Ada apa ini adik kakak yang centil ini sampai-sampai sebahagia ini mukanya," sahut Sabrina. selepas mandi dan ganti baju, Sabrina sampai kaget tiba-tiba adiknya masuk ke kamar dengan membawa senyum kebahagiaan. Ia membungkus erat-erat kesedihannya seolah tidak mau ada satu orang pun yang tahu tentang kisah cintanya yang kandas di tengah jalan.
Memang selama 3 tahun berpacaran Sabrina & Reyno tidak pernah saling memperkenalkan kepada keluarga masing-masing tentang hubungan mereka, berniat untuk menunggu waktu yang tepat, saat mereka hendak melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius lagi.
Saat itu mereka ingin berkomintem sama-sama fokus kerja untuk masa depan mereka agar tidak bergantung pada kekayaan orang tua. Intinya, mereka ingin mandiri namun ternyata tidak sesuai ekspektasi.
Cantika memeluk Sabrina, begitu terasa kebahagiaan pada wajahnya sampai-sampai kesedihan Sabrina pun sejenak terlupakan.
"Bentar deh, Kakak jadi penasaran nih kabar bahagia apa yang kamu punya, cerita dong udah gak sabar nih," lanjut Sabrina kepada Cantika.
"Pacar aku, kak! Besok lusa mau datang menemui ayah, dia mau melamar aku," balas cantika. Ia menjawab pertanyaan kakaknya dengan wajah semringah dan antusias sembari memegang keras tangan Sabrina.
Dua kakak beradik itu tampak bahagia, berpelukan erat, Cantika melepaskan rasa bahagia itu pada kakaknya. Sementara dengan Sabrina, dia menangis bukan karena malihat Cantika saja, tetapi teringat lagi dengan kisahnya yang sudah berakhir dan akan di langkahin adiknya.
Keluarga Bramantio berkumpul di ruangan tengah untuk berdiskusi. Sabrina sama sekali tidak menampakan wajah sedih. Kesedihannya seolah-olah terkalahkan oleh kebahagiaan yang akan di raih Cantika.
"Jadi, besok lusa pacarnya cantika, si Tio, mau bawa keluarganya katanya ke rumah kita, ayah sih belum tau mau melamar atau bukannya, yang jelas akan ada pertemuan keluarga dahulu. Perkenalan keluarga dulu kayanya," ucap Bramantio, membuka perbincangan dengan menyampaikan kabar bahagia tentang Cantika. "Kamu tuh kayanya belum lama deh pacaran sama dia, udah mau serius aja," lanjut laki-laki paruh baya itu, sambil menoleh ke arah cantika seraya bertanya "emang kamu yakin sama pria itu?" Mata bramantio melirik tajam ke arah Cantika putri tirinya.
"Ayah kok gitu sih ngomongnya, enggak enak di denger deh, Yah," sahut Mesya, ibu tiri Sabrina.