Pagi hari.
Amira sudah bangun sejak pagi, wanita itu mengenakan dress yang hanya sepanjang lutut saja, dan berjalan menuruni tangga. Melihat sang mama tengah menyiapkannya sarapan untuknya, terselip beberapa memori kenangannya dulu ketika papanya masih ada bersama mereka. Meski kini keadaan sudah berbeda, Amira masih berharap semua bisa kembali seperti dulu lagi. Walau mustahil rasanya.
"Ma, masak apa? Baunya enak." Dirinya berjalan mendekat ke meja makan.
"Makanan kesukaan kamu. Amira semalam Tuan Alex menghubungi Mama," ucapnya.
"Masalah perjodohan lagi?"
Mamanya mengangguk. Amira sudah tak heran, tapi ini harus dia jalani, mungkin semua ini takdir. Sebisa mungkin, dia mencoba menerimanya. Gadis itu terlihat menghela napas panjang, wajahnya datar tanpa ekspresi.
"Amira gak masalah Ma, kapan pun Amira siap. Ini sudah menjadi resiko yang harus Amira tanggung," jelasnya.
"Maafkan papa kamu, Ra," lirih mamanya.
"Jangan bahas ini lagi, Amira mohon. Amira hanya tak mau rasa benci itu kembali muncul, Ma," pintanya.
Amira menatap lekat-lekat ke arah sang mama, memohon denga penuh, sebagai pengungkapan isi hatinya terlihat begitu dalam.
"Mama paham, Nak." Mamanya menepuk pundak Amira, seolah menyalurkan energi agar gadis itu kuat menjalani semua ini.
Sarapan mereka terganggu, baru saja duduk mengistirahatkan kakinya, sebuah mobil terdengar memasuki halaman rumahnya.
"Siapa yang datang sepagi ini?" Amira terlihat sangat penasaran.
"Tuan Alex, mungkin ...." Mamanya dengan ragu menjawab hal itu.
"Sepagi ini?"
"Dia bilang ada meeting siang nanti, jadi kalian langsung diajak ke butik untuk mempersiapkan baju pernikahan kalian," jawab mamanya.
Terdengar suara ketukan pintu dari luar, Amira tak ingin membukanya, dia membiarkan mamanya yang membukakan pintu itu. Dua orang lelaki datang, masuk ke dalam rumahnya aroma maskulin yang sangat jelas menyengat hidungnya membuat Amira merasa nyaman. Gadis itu benar-benar terlihat pasrah dengan keadaan. Bahkan dia pasrah jika harus dinikahkan hanya sebagai penebus hutang sang ayah.
"Pagi Amira, bagaimana kabarnya?" Alex datang menyapa gadis itu.
"Baik, Om," jawabnya berjabat tangan.
"Silahkan duduk, biar saya buatkan minum ...."
"Tidak perlu. Saya hanya sebentar kemari, untuk menyampaikan beberapa hal penting mengenai rencana pernikahan Amira dan Anxel," ucap Alex.
"Baik Tuan, saya sudah siap kapan pun." Dengan mantap Amira memotong ucapan Tuan Alex.
Anxel sempat terkejut mendengar keputusan itu, bagaimana mungkin Amira menyetujui pernikahan mereka secepat itu. Padahal dia tahu betul, Amira terpaksa menjalaninya. Apa semua ini karena rumah yang papanya berikan kepada Amira? Sebuah tuduhan buruk mulai muncul dalam benak Anxel.
"Bagus. Pagi ini kalian ke butik, mempersiapkan pakaian pernikahan untuk kalian berdua. Papa sudah atur semua kalian tinggal datang saja ke sana," jelasnya.
"Kalau begitu, Anxel kamu bawa mobil Papa, biar nanti Papa naik taksi ke kantor," imbuhnya.
Tuan Alex melempar kunci mobil kepada putranya, setelah berpamitan kepada mamanya Amira. Canggung rasanya, tanpa rasa bersama orang asing yang sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupnya. Seumur hidup, mungkin. Meski belum muncul benih-benih cinta dalam diri keduanya, tapi Amira memegang prinsip hanya setia pada satu lelaki saja setelah menikah nanti. Dan, Anxel adalah orangnya.
Sekuat tenaga dia akan mempertahankan pernikahan ini, meski dia sudah tahu akan ada banyak gejolak nantinya menerpa hubungan mereka.
"Ma, Amira berangkat dulu ya," pamitnya.
"Kamu gak sarapan dulu, ini sudah Mama masakin ...."
"Nggak Ma, Amira gak enak sama Tuan Anxel yang sudah menunggu," sahutnya.
Yah, bagaimana dia merasa tidak enak. Anxel saja hanya diam sedari tadi, bersikap sangat cuek dan bodoamat, bahkan dia pun tak melihat keberadaan Amira di hadapannya. Fokusnya hanya ada pada layar ponsel yang menyala di hadapannya.
"Baiklah," jawab mamanya pasrah.
Amira segera mungkin mengambil tas dari dalam kamarnya, dan segera kembali menemui Anxel.
"Tuan, ayo saya sudah siap," ajaknya.
Fokusnya teralihkan mendengar ucapan Amira barusan. Lelaki itu menatap Amira dari ujung rambut sampai kaki. Penampilan Amira terlihat sederhana, tapi enak dipandang, rapi, dan elegan serta sopan.
Anxel berpamitan kepada mama Amira, dan berjalan keluar dari rumah itu tanpa menunggu calon istrinya. Mereka masuk ke sebuah mobil sport berwarna kuning, terlihat sangat mewah. Amira merasa sedikit insecure, berada di dalam sana, dia merasa tak pantas duduk di mobil semewah itu apalagi di samping Anxel.
***
"Loh, Tuan bukannya arah butik ke kanan kenapa kita lurus?" Amira terlihat panik mendapati Anxel salah mengarahkan mobilnya.
"Tuan, kita mau ke mana? Tuan bukan mau jual saya, 'kan?" Amira benar-benar sudah gila pasti ini karena dia kebanyakan nonton film penculikan, jadi semua dia kaitkan seperti ini.
Anxel berusaha menahan tawanya, dia tetap menahan bibirnya agar tidak merekah. Gadis di sampingnya ini benar-benar aneh, batinnya.
"Tuan, kita—"
"Diam." Satu kata yang ampuh dan mematikan.
Setiap kata itu keluar dari mulut Anxel, siapa pun yang ada di depannya tak bisa berkutik, apalagi dengan nada yang sedikit ditekankan. Amira hanya bisa menelan salivanya, tak bisa apa-apa selain pasrah dengan apa yang akan terjadi setelah ini.
Rupanya mobil yang dia naiki justru berhenti di depan sebuah restoran mewah. Amira benar-benar tak paham, bukannya mereka harus ke butik, tapi kenapa sekarang dia dan Anxel justru berada di depan restoran?
"Tuan—"
"Kamu belum sarapan, 'kan? Kita sarapan bareng," potongnya.
Kedua bola mata Amira membulat mendengar jawaban itu. Tidak salah 'kah apa yang dia dengar barusan? Lelaki kejam dan tampak galak seperti Anxel ini, punya sisi lembut juga? Amira bingung apa yang harus dia rasakan sekarang, bukan sedih bukan bahagia hanya saja hatinya terasa nyaman ketika bersama Anxel meski mereka baru kenal.
Mereka berdua melangkah masuk ke dalam restoran itu. Sepagi ini, pengunjung pun masih sangat sepi. Hanya ada Amira dan Anxel, juga beberapa pembeli lain yang bisa dihubungi dengan jari.
Lagi-lagi, Amira merasa sangat canggung. Padahal sedari tadi Anxel fokus pada ponselnya. Entah hal menarik apa yang membuatnya mencuekkan Amira seperti ini.
"Uhuk, uhuk!!!!"
Amira tersedak, tanpa sengaja. Gadis itu ingin meraih segelas air yang ada di hadapannya sedikit jauh dari tubuhnya, alhasil Anxel sendiri yang menyodorkan minuman itu kepada Amira. Tapi, fokusnya masih tak lepas dari ponsel yang tengah di pegang.
"Terima kasih, Tuan," ucap Amira.
"Hm."
'Pasti papa salah orang dulu, masa iya anak gadisnya mau dinikahkan sama kulkas lima pintu kayak gini, yang ada dikacangin mulu aku' umpatnya dalam hati.
Mana berani Amira mengatakan langsung di depan orangnya, yang ada kelar hidupnya sekarang juga. Mengingat selain Anxel punya sisi lembut, tetap saja sisi arogan yang dia miliki jauh lebih besar.
Bersambung ....