Chereads / Wanita Penebus Hutang / Chapter 10 - Bukan Gadis Bodoh

Chapter 10 - Bukan Gadis Bodoh

"Itu tadi sangat menjijikkan!" gumam Amira di dalam mobil.

Keduanya sudah pergi dari tempat pemotretan, dan kini mereka berjalan tanpa arah tak tahu akan ke mana.

"Tapi kamu menikmatinya!" potong Anxel.

Lagi-lagi lelaki itu menyahut ucapan Amira. Bukannya tak mau menanggapi, hanya saja Amira sudah merasa malas, jika harus berdebat dengan Anxel seperti ini terus. Ini cukup menguras emosi dan tenaganya.

"Kamu lapar?"

Perut Amira keroncongan, bukan lapar lagi. Semua ini juga karena Anxel yang terus saja menguras emosinya.

"Gak!" jawabnya beralibi.

"Bohong banget. Pantas hidungmu panjang, suka bohong," cerca Anxel.

Amira berdecak kesal.

"Hidungku panjang itu karena aku mancung! Bukan karena bohong!"

"Oh."

Sesingkat itu jawaban yang Anxel berikan padanya. Amira juga tak peduli. Satu keinginannya saat ini, pulang ke rumah. Hanya itu. Dia ingin makan!

Terdengar deringan ponsel milik Anxel, membuat kedua bola mata Amira berputar ke arah sumber suara. Tertulis sebuah nama di layar ponsel milik lelaki itu 'papa'. Amira secepat mungkin mengalihkan arah pandangnya, tak mau tatapannya bertemu dengan Anxel.

"Halo Pa, ada apa?"

"Tapi, Pa! Anxel ada meeting sore ini. Gak bisa dibatalkan begitu saja."

Amira tak mengerti apa yang dikatakan oleh Tuan Alex dari balik telepon, tapi yang dia tahu ekspresi Anxel sungguh tidak mengenakan. Diikuti dengan beberapa kali decakan terdengar dari lelaki itu.

"Ya." Jawaban singkat itu sebagai penutup percakapannya dengan Tuan Alex dari balik telepon.

Anxel menatap Amira, dalam hatinya sempat bertanya-tanya kenapa wanita itu tidak penasaran dengan yang sedang terjadi, harusnya dia bertanya kepadanya.

"Kenapa?" Dengan polosnya Amira menanyakan itu kepada Anxel yang kini masih setia menatapnya.

Satu detik, dua detik, tidak ada jawaban dari lelaki itu. Amira kembali membuka mulut.

"Oh, aku tahu pasti Tuan baru sadar kalau saya cantik, makanya lihatin sampai gitu banget," ucapnya kembali terdengar sangat pede.

Anxel memicingkan matanya mendengar ucapan itu.

"Kepedean," ejeknya dengan nada remeh.

"Halah bener, 'kan? Terus kenapa Tuan menatap saya seperti itu, coba jelaskan!" pintanya.

Wanita itu butuh kejelasan, bukan hanya omong kosong.

"Papa sudah menyiapkan tiket nonton untuk kita berdua. Dan, itu artinya sehari penuh saya harus bersama denganmu," jelasnya.

Bagus. Itu artinya dia tak punya waktu untuk wanita-wanita simpanannya itu.

"Terus?"

"Sudah itu saja, apalagi? Saya tahu pasti kamu senang mendengarnya, tapi tidak untuk saya. Saya terpaksa melakukan ini," ketus Anxel.

Dia berharap Amira sakit hati, sesakit-sakitnya dengan ucapan jahat yang setiap hari dia katakan untuk menusuk hati Amira. Tapi, Anxel tak tahu saja. Amira sudah menyiapkan hatinya sekuat baja, sejak mendengar kabar mereka akan dijodohkan. Dia sudah siap mental, hati, dan pikiran untuk menjalani semuanya, meski awalnya sedikit sakit tapi Amira tahu dia bisa. Apalagi untuk memerangi wanita-wanita simpanan Anxel yang tak terhitung, Amira sudah sangat siap!

"Anda terpaksa saya pun juga. Anda pikir saya mau? Jika bukan karena Tuan Alex, saya juga malas." Dengan santainya Amira membalas ucapan Anxel.

"Shit!! Asal kamu tahu wanita ku jauh lebih cantik dibandingkan kamu!" cetus Anxel.

"Anda pikir saya peduli?"

Anxel benar-benar darah tinggi lama-lama, jika harus menghadapi Amira terus-terusan seperti ini. Anxel berhenti di sebuah pom, untuk mengisi bahan bakar mobilnya. Tak sengaja, kedua bola mata Amira mengarah tajam ke arah seorang lelaki yang tengah duduk di atas motornya tak jauh dari tempat pengisian bahan bakar.

"Dion," gumamnya.

Mumpung Anxel juga tengah ke kamar mandi sekejap, Amira turun dari mobil menghampiri Dion di ujung sana.

"Dion," panggilnya dari kejauhan.

Dion menoleh, sempat terkejut melihat keberadaan Amira. Tapi, dengan keberadaan mobil Anxel yang tak jauh dari wanita itu, kini Dion paham.

"Hai, Mir ngapain di sini?"

"Hem, biasalah. Kamu ngapain di sini? Sendirian?" Amira terlihat mengamati sekitar Dion, tapi tidak ada siapapun di sana.

"Iya sendiri, sama siapa lagi coba, 'kan jomblo," jawabnya terkekeh.

Amira memasang senyum lebar mendengar jawaban Dion.

"Dion, aku boleh ikut kamu pulang nggak?"

Pertanyaan itu membuat Dion mengernyitkan dahinya.

"Bukannya kamu sama Tuan Anxel?"

"Kamu tahu, aku gak nyaman jalan sama dia. Bawa aku pergi, sekali ini aja ya, janji deh sekali doang, soalnya Tuan Alex nyuruh kita nonton bareng dan itu artinya aku bakalan habiskan hari sama Anxel, aku gak mau, Dion!"

"Kamu gak boleh gitu, Mir, jangan buat masalah lagi, yang penting dia gak ngapa-ngapain kamu," tutur Dion.

Entah mengapa, Amira selalu merasa tenang setiap menceritakan masalahnya dengan Dion. Lelaki itu sudah dia anggap tempat pulang kedua, setelah ibunya. Amira terdiam, mendengar nasehat dari Dion, tak lama setelahnya lelaki yang ada di hadapannya kembali membuka suara.

"Mau pakai jalan lain?"

"Maksudnya?"

"Aku ikut kalian nonton, gimana? Jadi, kamu bisa ngobrol sama aku nanti, gak perlu merasa gak nyaman sama keberadaan Anxel," jawab Dion.

Itu bukannya ide yang bagus? Dengan begitu, Amira bisa melakukan dua pembalasan sekaligus. Pertama, mencuekkan Anxel. Kedua, membuat lelaki itu panas. Yah, sama persis dengan apa yang dia lakukan kepada Amira jauh-jauh hari. Bukan hanya sekali dia melakukan itu, jadi tidak ada salahnya jika Amira balas sekali saja, 'kan?

"Setuju!" jawabannya bersemangat.

Anxel yang baru saja kembali setelah beberapa menit pergi ke kamar mandi, lelaki itu melihat Amira masih berbicara asik dengan Dion di seberang sana.

"Lelaki itu lagi," gumamnya berdecak kesal.

Entah mengapa, setiap kali melihat wajah Dion, emosi Anxel selalu melunjak. Apalagi setiap lelaki itu ikut campur masalahnya dengan Amira.

"Ayo pergi." Anxel menarik paksa tangan Amira agar ikut dengannya.

"Jangan kasar, dong! Sakit tahu!" pekik Amira.

"Saya tidak akan kasar, kalau kamu tidak kelewatan."

"Apa yang saya lakukan masih dalam batas wajar," jawab Amira lantang.

"Sudahlah, saya malas berdebat cepat ikut saya." Anxel terus memaksa gadis itu agar kembali dengannya.

Amira berpura-pura menurut dengannya, sambil mengedipkan matanya ke arah Dion, memberikan isyarat agar lelaki itu segera mengikuti keduanya ke tempat nonton yang sudah Anxel pesan. Amira tak mau kalah cerdas, dengan pria licik seperti Anxel ini. Jangan pikir dia gadis bodoh, apalagi ada Dion yang selalu membantunya, selagi ada Dion, tak ada yang Amira takuti kini dari Anxel, kecuali satu hal, kuasa Tuan Alex. Itu adalah hal yang sangat ditentang pastinya, mengingat banyaknya hutang yang belum terlunasi dulu.

"Aku bisa saja menyesuaikan kondisi, tergantung lawan mainku seperti apa, Anxel. Lihat saja bagaimana reaksi kamu setelah melihat keberadaan Dion di tengah-tengah kita nanti."

Bersambung ....