"Tuan terlihat sangat tampan," ucap seorang yang tengah berdiri menatap Anxel yang baru saja keluar dari ruang ganti.
"Memang!" jawabnya begitu sombong.
Lima menit kemudian.
Amira keluar dari ruang ganti, dengan sebuah gaun berwarna putih mewah yang dia kenakan, terlihat begitu cocok dengan warna kulitnya. Sangat cantik. Bahkan Anxel yang tadinya sibuk merapikan rambut kini, dirinya sampai termangu melihat sosok bidadari beridir6di hadapannya. Jika seperti ini, Amira bukan seperti yang Anxel kenal. Amira yang ini terlihat sangat anggun dan menawan, berbeda dengan biasanya. Amira yang tidak suka ditatap seperti itu, langsung menegurnya.
"Ngapain lihat-lihat?"
"Siapa yang lihatin kamu? Orang saya lihat gaunnya, cantik banget pilihan saya," jawab Anxel beralibi.
"Gaun cantik kalau orangnya biasa aja gak mungkin ditatap sampai segitunya, bilang aja kamu terpukau lihat kecantikan ku," cetus Amira.
Anxel berjalan mendekati Amira, membuat gadis ini terkejut dengan perlakuannya. Bahkan, di depan banyak orang yang kini memfokuskan pandangan ke arah keduanya.
"Jangan aneh-aneh, ini di depan umum!" ancam Amira.
Bukannya langsung menjauh, Anxel justru semakin mendekat, Amira terlihat gugup dia pikir Anxel akan melakukan hal memalukan di depan orang-orang. Ternyata dugaannya salah.
"Iya, kamu cantik, dan saya terpukau melihatnya," bisik Anxel.
Amira sangat terkejut mendengar pernyataan itu keluar langsung dari mulut calon suaminya. Ini mimpi, Amira anggap ini mimpi tidak mungkin, bahkan mustahil seorang Anxel melawan gengsi mengatakan hal itu kepadanya. Tubuhnya hanya terdiam mematung, mendengar pengakuan itu. Anxel menebar senyum manis ke arahnya, meraih tangan Amira, menggandengnya keluar dari ruangan itu untuk menuju pelaminan. Amira yang masih membeku tak bisa mengatakan apa-apa, selain menurut dengan yang dilakukan Anxel padanya.
"Ayo, para tamu sudah menunggu." Perlakuan itu terlihat sangat manis, dan baru kali ini didapat oleh Amira selama kedekatan keduanya.
Amira mengangguk ragu, dan mengikuti langkah Anxel keluar dari ruangan itu, menuruni anak tangga bersama. Semua tamu yang ada di lantai dasar, kini melihat keduanya. Mereka terlihat sangat serasi, cantik dan tampan. Bahkan, Amira bisa mendengar beberapa pujian keluar dari mulut para tamu.
"Kenapa tatapan mereka seperti itu, aku jadi merasa malu," ucap Amira.
"Karena mereka terpukau melihat kamu Amira, sama seperti aku," jawab Anxel.
"Bisa aja," jawabnya cuek.
Hanya tinggal beberapa anak tangga lagi, yang belum mereka lalui. Sampai di tangga paling akhir, tak sengaja sepatu yang Amira kenakan tergelincir membuatnya hilang keseimbangan dan hampir terjatuh. Untung saja Anxel dengan sigap menangkap tubuhnya, terlihat seperti adegan romantis yang ada di drama-drama, pandangan matanya bertemu, seolah mampu membaca pikiran satu sama lain. Begitu nyaman berada di pelukan Anxel, bahkan Amira sampai tak bisa melepas pandangannya dari mata indah milik Anxel. Mereka tak sadar berapa banyak orang yang tengah menatap keduanya. Hampir satu menit Amira bertahan pada posisi itu, sampai akhirnya dia tersadar dan melepas pelukannya.
"Makasih," ucapnya.
"Lain kali kalau jalan hati-hati, untung saja sempat menangkap tadi kalau tidak bagaimana dengan keadaan kakimu yang ada pernikahan ini batal hanya karena itu," cetus Anxel.
Melihat perdebatan keduanya, mama Anxel langsung mendekat menghampirinya keduanya.
"Kalian ngapain apa gak malu dilihat orang kayak gitu? Cepat turun," suruh mamanya.
Mamanya ini memang terkenal sebagai pribadi yang tegas dalam hal mendidik putranya. Keduanya langsung bergegas turun menuju ke pelaminan. Acara demi acara dimulai, tapi Amira belum melihat keberadaan Dion di sana. Pandangannya menatap ke seluruh penjuru ruangan, mencari sebuah wajah yang sangat dia harapkan, tapi tetap saja gadis itu belum menemukannya. Anxel yang melihat kelakuan Amira, langsung menegur gadis itu.
"Cari siapa?"
"Dion," jawabnya.
"Mungkin masih di jalan, biasanya macet jam segini." Anxel berusaha memberikan masukan positif kepada Amira.
"Acara sudah dimulai sejak tadi, harusnya dia sudah datang," potong Amira mulai resah.
"Dia pasti datang, percaya sama saya." Berkali-kali Anxel mencoba untuk menenangkan Amira.
Acara demi acara terlaksana, kini saatnya acara puncak, di mana pertukaran cincin keduanya sekaligus ijab qobul. Tapi, Amira belum menemukan keberadaan Dion juga.
"Kamu di mana Dion? Kenapa kamu gak datang?" tanyanya dalam hati penuh kekecewaan.
Penghulu sudah berada di depan kedua insan yang kini akan segera menjadi sepasang suami istri. Anxel bersiap mengucapkan kalimat yang sudah dia pelajari beberapa hari lalu, diucapkannya dengan lantang, mulus tanpa kendala.
"Bagaimana para saksi?"
"SAH!!!!"
Satu tetes air mata Amira terjatuh, jika ditanya bahagia tentu Amira belum bisa menjawab iya, karena dia belum tahu apa yang akan terjadi setelah pernikahan ini. Masih banyak rintangan yang harus dia lalui tentunya.
Seorang laki-laki, dengan topi hitam dan maskernya, kini tengah berdiri memperhatikan setiap gerak-gerik Amira. Dia adalah Dion, lelaki itu memilih untuk tidak menunjukkan dirinya di depan Amira, karena dia takut hatinya tak kuat menyaksikan momen ini. Melihatnya dari kejauhan saja, rasanya sudah tak sanggup, Dion akan menampakkan dirinya, tapi nanti setelah acara ijab qobul ini selesai.
"Baiklah, acara selanjutnya pertukaran cincin, bagi kedua mempelai dipersilahkan ...."
Amira mengenakan cincin di jari manis Anxel, begitu pun sebaliknya, keduanya mendapat tepuk tangan yang begitu meriah dari para tamu undangan. Acara selanjutnya kini makan-makan, sudah tersedia banyak makanan di sana, tamu undangan bebas memilih makanan apa pun. Pernikahan seorang Don Juan, tak mungkin dilaksanakan kecil-kecilan. Bahkan, entah berapa ratus juta yang papanya keluarkan untuk acara ini. Uang segitu tak ada artinya untuk keluarga Anxel, hartanya jika dihitung mungkin tujuh turunan tidak habis.
Amira dan Anxel kembali duduk di pelaminan, wajah risau Amira bisa terlihat jelas oleh Anxel. Rupanya gadis itu masih belum bisa menemukan keberadaan Dion.
"Dion, kamu ke mana sih, kenapa belum datang?" gumamnya.
Anxel hanya diam, kedua matanya melihat kedatangan seorang lelaki dari arah pintu.
"Itu dia."
Amira langsung menoleh, benar saja Dion ada, dia hadir di sana. Hatinya sangat senang melihat kedatangan Dion saat itu. Amira ingin berlari menghampiri Dion, tapi tidak mungkin karena banyak tamu undangan di sana. Untung Dion langsung naik ke atas pelaminan, mengucapkan selamat kepadanya.
"Selamat ya, semoga kalian bahagia selalu, Anxel aku titip Amira jaga dia, jangan pernah buat dia nangis," ucap Dion.
"Tenang saja."
"Dion, kamu dari mana saja? Kenapa baru datang? Dari tadi aku cari kamu tahu nggak!" cetus Amira kesal.
"Hehe, maaf ya, tadi jalanan macet banget, mana disuruh nganter ibu ke pasar dulu," jawabnya beralasan.
"Gak sekalian nunggu acara selesai baru datang?" sindir Amira.
Dion hanya melukis senyum mendengar hal itu.
Bersambung ....