Acara berjalan dengan lancar, para tamu undangan juga sudah keluar dari gedung itu, hanya ada beberapa orang saja yang tinggal di sana, yaitu saudara juga keluarga yang masih dianggap dekat dengan kedua mempelai. Amira turun dari pelaminan, terdengar suara perutnya yang terus berbunyi meminta makan sejak tadi. Amira duduk di salah satu kursi tamu, mengambil beberapa makanan yang masih terhidang di atas meja, sementara Anxel sibuk ngobrol dengan keluarga dari pihaknya. Melihat Amira tengah makan dengan lahap, sendirian, Dion yang hendak pamit pulang langsung menghampiri wanita itu.
Dion harus lebih menjaga batasan dengan Amira, apalagi sekarang status yang disandang oleh wanita itu adalah istri orang. Bagaimana pun, Anxel adalah suaminya dan kewajiban Dion adalah menghormatinya.
"Mir, sendirian aja kenapa gak ikutan kumpul di sana?" Dion yang baru saja datang, langsung duduk bergabung dengan Amira.
"Huum, tahulah, aku malu dengan keluarga Anxel, kita beda haha," jawabnya sambil menelan makanan yang masih dia kunyah di dalam mulut.
"Tapi kamu sudah menjadi bagian dari mereka," potong Dion.
"Oh iya, mama ke mana? Dari tadi aku gak lihat dia?" Amira berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Ke toilet sebentar tadi."
"Oh, kamu gak makan?"
"Udah, aku mau pamit pulang Mir," jawabnya.
"Sekarang?"
Dion menganggukkan kepalanya. Amira diam, tak menjawab lagi dengan kedua mata yang dia lemparkan ke arah Dion, begitu tajamnya. Dion hafal betul, Amira mungkin tak setuju dengan niatnya ini.
"Aku ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," jelasnya.
"Udah datang telat, pulangnya cepet pula, kamu kenapa sih sebenarnya? Ini bukan Dion yang aku kenal, mana Dion yang dulu selalu ada buat aku?" tuntut Amira.
Dion tak menjawab, lelaki itu hanya tertunduk diam sampai akhirnya mama Amira datang, menghampiri keduanya.
"Ini kenapa pada diam?"
"Tanya aja ke Dion," jawab Amira ketus.
"Dion?" Mamanya mengangkat satu alis menatap ke arah lelaki itu.
"Dion mau pamit pulang Tante, ada pekerjaan yang harus diselesaikan tapi gak dibolehin sama Amira," jawabnya terus terang.
"Amira hanya ngerasa Dion berubah, Ma! Dion yang dulu gak ini, tadi aja dia telat datang ke acara penting Amira, dan sekarang dia mau pulang cepet pula?"
Kedua bola mata gadis itu mulai berkaca-kaca, belum sampai menumpahkan air mata segera dia usap dengan satu tangannya.
"Sudahlah, jangan seperti anak kecil, kalian ini sudah dewasa gak bisa apa sekali-kali akur gitu." Mamanya berdecak kesal melihat kelakuan dua orang yang ada di hadapannya kini.
"Amira, kamu tetap di sini, mulai hari ini kamu ikut pulang bersama Tuan Anxel dan keluarganya."
Amira tersedak mendengar ucapan itu.
"Ma! Kenapa gitu, terus siapa yang nanti menemani Mama di rumah?"
"Ada Dion, dia bakalan sering-sering datang ke rumah benar 'kan Dion?"
"Iya, Tante."
"Mama jahat, Amira gak mau tinggal sama keluarga mereka, Amira gak mau Ma," rengeknya.
"Mulai detik ini kamu sudah menjadi bagian dari mereka, Nak, Mama harap kamu bisa ikhlas menerima semua ini," lanjut sang mama.
Amira tak bisa berkata-kata lagi, hembusan napasnya sampai terdengar di telinga Dion, wanita itu merasa sangat kesal menganggap takdir benar-benar tak adil kepadanya.
"Kalau kayak ini apa gunanya rumah pemberian Tuan Alex, aku pikir setelah menikah kita bakalan tetep tinggal di sana, rupanya aku salah, ngeselin!" umpatnya dalam hati.
Amira ingin menolak, tapi percuma semuanya sudah terlambat. Mau tidak mau, dia harus tinggal mengikuti suaminya.
"Jangan khawatir, kamu masih bisa main ke rumah kalau kangen sama Mama, lagian jaraknya juga gak terlalu jauh," ucap mamanya.
Amira hanya membalasnya dengan anggukan kecil. Mamanya memeluk erat tubuh mungil itu, sebuah kehangatan yang sangat dirindukan olehnya, terakhir kali dia dapatkan ini saat kepergian papanya, meninggalkan beban begitu banyak untuknya dan sang mama.
"Kamu jaga diri baik-baik ya, Mama pamit dulu," bisik mamanya.
"Aku antar mama kamu ya Mir, jaga diri baik-baik kalau ada apa-apa hubungi aku saja, pasti aku akan datang buat kamu," sahut Dion.
Amira hanya membalasnya dengan senyum kecil. Mereka pergi menjauh dari Amira, untuk berpamitan kepada anggota keluarga yang lainnya. Sementara Amira, dia masih duduk termenung sendiri, entah mengapa rasanya dia tak semangat sama sekali untuk menjalani harinya, padahal ini adalah hari bahagia dan paling bersejarah dalam hidupnya.
Amira hanya duduk, diam, dengan pandangan kosong yang dia lemparkan ke sembarang arah, tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya. Wanita itu dikejutkan oleh kedatangan Anxel yang tiba-tiba duduk di hadapannya sembari memakan sepotong kue yang dia bawa dari meja sebelah. Lelaki itu duduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dengan pandangan yang dia lemparkan begitu dalam menatap ke arah Amira yang tengah sibuk memainkan ponsel.
Amira yang merasa dirinya tengah diperhatikan sedemikian rupa, langsung menatap balik ke arah Anxel hingga kedua mata mereka saling bertemu.
"Apa?"
"Apanya?"
"Tuan kenapa menatap saya seperti itu?"
"Siapa yang menatap kamu?"
"Tuan, 'kan?"
"Dasar kepedean, itu ada makanan di bibir kamu, kayak anak kecil," cetus Anxel.
Amira langsung mengusap sekitar bibirnya yang dirasa ada sisa makanan masih menempel di sekitar sana.
"Nah, gitu 'kan cantik," sambung Anxel.
"Tuan, apa boleh malam ini saya tidur di rumah mama?" Pertanyaan itu membuat Anxel kembali menatapnya.
"Kenapa kamu tidak ikut pulang ke rumah bersama saya? Apa kamu takut dengan saya?"
"Bukan seperti itu Tuan, tapi saya hanya merasa belum siap untuk tinggal bersama di keluarga Tuan," jawab Amira sopan.
"Kamu istriku, kamu punya hak atas apa yang saya miliki, paham?"
"Tapi—"
"Tidak ada penolakan!" tegas Anxel.
Amira terdiam, mendengar penegasan itu. Mau bagaimana lagi, ini takdirnya sebagai seorang penebus hutang yang harus dia jalani. Ibarat tubuhnya sudah menjadi milik Anxel selamanya sebagai penukar uang yang dibawa kabur oleh papanya. Sungguh mengenaskan, nasib malang yang harus dia jalani.
Tak lama setelah perbincangan keduanya, kedua orang tua Anxel datang menghampiri mereka.
"Malam ini kalian tidur di hotel yang sudah papa sewakan, bersenang-senanglah di sana," ucap papanya.
"Iya, Pa."
"Anxel, jaga istri kamu jangan sampai dia kenapa-kenapa, Mama pulang dulu," sahut sang mama.
Anxel hanya melirik ke arah Amira, begitu pun sebaliknya, dua orang ini dibawa keluar dari gedung itu dengan sebuah mobil pengantin yang sangat mewah sudah menunggu di depan sana.
"Hati-hati di jalan." Papanya menepuk pundak Anxel sebelum akhirnya dia masuk ke dalam mobil lain bersama sang mama.
Hanya tinggal Anxel dan Amira yang tersisa, dan sebuah mobil yang siap menumpang keduanya menuju sebuah hotel yang sudah dipesankan oleh papa Anxel, Tuan Alex.
Bersambung ....