Chereads / Wanita Penebus Hutang / Chapter 19 - Kembalinya Sang Papa

Chapter 19 - Kembalinya Sang Papa

"Ayo masuk, jangan bengong terus!"

Lagi-lagi Amira tersentak dengan suara itu, wanita itu langsung mengikuti langkah suaminya kembali. Berada di tengah kerumunan banyaknya orang, ditambah lagi cuaca yang begitu panas membuat Amira merasa letih. Matanya melihat sekitar, mencari penjual minuman dingin yang tak kunjung dia temui.

Ditambah lagi, langkah Anxel yang semakin cepat saja melaju menjauh darinya. Amira merasa sudah tak kuat, dia menghentikan langkah sejenak, satu hal yang membuatnya terkejut. Seseorang secara tiba-tiba menyodorkan botol minuman untuknya membuatnya langsung mengalihkan pandangan ke arah samping melihat siapa yang melakukan hal itu.

"Dion?" Lagi-lagi wanita itu bertemu dengan sahabatnya.

Baru sehari dia meninggalkan rumah, rasanya rindu dalam hatinya sudah tak bisa dia tahan lagi, reflek tubuh mungilnya memeluk erat lelaki yang kini berdiri di hadapannya.

"Kangen banget gila!" celetuknya.

"Baru juga sehari, aneh!"

"Serius, kangen banget aku sama kamu dan mama. Oh iya, mama gimana sehat?"

"Tenang, ada aku pasti mama kamu baik-baik saja," jawabnya.

Lega rasanya mendengar jawaban itu keluar dari mulut Dion.

"Oh iya, kamu sendirian ke sini?"

"Sama Anxel lah," jawabnya acuh.

"Di mana?"

Telunjuknya menunjuk ke arah depan, yang sudah tak melihatkan punggung sang suami. Anxel benar-benar meninggalkan dirinya.

"Gak ada tuh!"

"Udah duluan," sambungnya.

Dion mengangguk-angguk paham.

"Sebenarnya ada sesuatu yang mau aku sampaikan ke kamu, ini masalah papa kamu." Ucapan Dion berhasil menarik perhatian Amira.

Dalam hatinya bertanya-tanya mengapa Dion tiba-tiba ingin bicara masalah papanya, orang yang sudah Amira anggap hilang dari hidupnya, orang yang sudah dianggap mati dari dunia ini. Orang jahat, yang membuat Amira harus menjalani penderitaan ini. Sebenci apapun dirinya, rasa seorang anak kepada sang ayah tetaplah terasa, meski hanya seujung kuku, jika ayahnya mau kembali Amira akan berpikir lagi mungkin untuk memaafkannya.

"Kenapa sama dia?"

"Duduk dulu," ajak Dion.

Amira menurut mengikuti Dion duduk di salah satu bangku taman itu.

"Ada apa sebenarnya, Dion?"

"Aku bilang ini, tapi kamu jangan marah ya atau ngadu ke mama kamu kalau yang cerita aku," sahutnya.

Bukan apa-apa, dia hanya tak mau Amira malah merasa terbebani karena cerita darinya atau justru akan menimbulkan masalah baru nanti.

"Iya santai, cepat cerita!" tuntutnya.

"Tadi papa kamu datang ke rumah mama kamu, waktu aku nganterin makanan ke sana," ucap Dion.

Amira membulatkan kedua bola matanya mendengar hal itu, dia pikir setelah memberikan beban yang begitu berat papanya tidak akan pernah berani lagi muncul di hadapannya dan mamanya, tapi kini lelaki itu kembali kemari?

"Kamu gak bohong, 'kan?"

"Ngapain coba aku bohong gak ada untungnya juga buat aku," jawab Dion.

Amira menelan salivanya sejenak, mencoba mencerna kenyataan ini.

"Tapi, mama gak kenapa-kenapa, 'kan?"

"Gak kok, dia cuma minta maaf ke mama kamu sama ngucapin selamat. Sebenarnya yang dicari kamu, karena papa kamu merasa bersalah setelah semua yang terjadi ke kamu Mir, tapi kamu udah pindah ke rumah Anxel dia belum berani menampakkan wajahnya di hadapanmu," jawab Dion.

"Kenapa?"

Dion menggelengkan kepalanya.

"Kalau memang dia minta maaf, pastinya bakalan aku maafin Dion! Meskipun rasanya masih belum terima dengan semua ini, tapi bagaimana pun juga dia papaku," sambung Amira.

"Iya Mir, cobalah pahami posisi papamu juga mungkin dia masih malu, tapi ada hal mengejutkan juga," sahutnya.

"Apa lagi?"

"Ada kabar duka buat kamu dan mama kamu," jawabnya.

Amira semakin tak paham dengan ucapan Dion.

"Kalau bicara yang jelas, langsung aja ada apa sebenarnya jangan bikin pusing deh!" cetusnya.

"Papa kamu menggugat cerai mama kamu."

Deg!

Deg!!

Ini bukan hal yang bisa dia terima lagi. Kalau pun penderitaan itu dirasakan olehnya, mungkin Amira anggap itu sebagai takdir hidupnya, tapi kini justru mamanya yang harus ikut menanggung. Kenapa mamanya harus diceraikan? Sementara Amira sudah dijadikan penebus hutang oleh sang papa, harusnya beban papanya sudah hilang, mengapa papanya tidak meminta maaf dan kembali saja bersama dengan Amira berkumpul bersama lagi? Pertanyaan demi pertanyaan seolah memenuhi isi kepala Amira membuat gadis itu memegangi kepalanya yang terasa begitu pusing.

"Mir, kamu gapapa?"

"Iya, santai aku gapapa kok," jawabnya.

Dion tak berani berucap lagi, dia takut kondisi Amira malah semakin drop nantinya. Tak lama kedatangan Anxel membuat Dion yang semula duduk di samping Amira langsung berdiri seketika seolah memberikan tempat untuknya. Anxel yang semula ingin marah karena sedari tadi dia mencari Amira dan ternyata malah berduaan bersama dengan Dion, terpaksa dia tahan karena melihat Amira yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.

"Mir, kayaknya aku pamit dulu ya," ucapnya merasa tak enak dengan keberadaan Anxel.

Dia pikir sudah ada Anxel di sana yang mungkin bisa menenangkan Amira, mau tidak mau Amira harus membiasakan hal itu apalagi Anxel adalah suaminya saat ini.

"Ya, sana pergi Amira biar sama saya," jawab Anxel menyahut.

"Jaga Amira, dia lagi sedih hibur dia." Setelah mengatakan hal itu barulah Dion pergi meninggalkan keduanya.

Anxel yang masih bingung dengan masalah yang terjadi, tak mungkin bertanya langsung dengan Amira jika tidak mau kondisi wanitanya semakin buruk.

"Kamu suka es krim?"

Amira menggeleng.

"Suka lolipop?"

Lagi-lagi Amira menggeleng.

"Balon?"

Amira yang kesal langsung menyahut ucapan Anxel.

"Anxel. Aku ini bukan anak kecil, pakai ditawari balon segala," cetusnya kesal.

"Siapa tahu, lagian kamu masih kayak anak kecil, manja, cengeng lagi," ejeknya.

Amira tak terima mendapat penghinaan itu.

"Jangan asal ngomong ya, kamu!"

"Lah bener, itu nangis apa coba namanya kalau enggak cengeng?"

"Gak usah sok tahu, kamu gak bakalan paham apa yang saya rasakan," jawabnya.

Benar kata orang mulut bisa saja menolak, tapi mata tidak bisa berbohong. Anxel melihat jelas ada sejuta kesedihan dalam diri gadis itu hanya saja selalu dia tutupi. Amira tidak pernah sekali pun menceritakan masalah pribadinya kepada Anxel, kalau tidak dipaksa.

"Makanya kasih tahu, biar saya gak sok tau," sahutnya.

"Memangnya kalau saya kasih tahu, bisa mengembalikan keadaan? Gak juga, 'kan?"

"Saya sudah berusaha baik sama kamu, tapi sudahlah sepertinya niat baik saya tidak kamu hargai." Anxel merajuk layaknya seorang anak kecil yang tidak dibelikan permen ibunya.

Bukannya tambah kesal, tingkahnya justru membuat rasa sedih Amira semakin reda. Amira sedikit tertawa melihat tingkah lucu Anxel.

"Ngapain sih ketawa?"

"Makasih ya, berkat kamu aku bisa merasakan kebahagiaan meski sejenak lamanya. Boleh minta sesuatu?"

"Apa?"

"Kayak gini terus ya, jangan galak-galak biar aku bisa belajar mencintaimu ...."

Anxel ternganga mendengar ucapan yang keluar dari mulut istrinya.

Bersambung ....