Dalam perjalanan pulang, Amira duduk diam di samping Anxel yang tengah mengendarai mobilnya. Wanita itu masih memegangi bunga pemberian dari Anxel sementara cokelat dan roti dari mamanya dia letakkan di dalam tas miliknya.
"Dipegangi terus bunganya, suka banget, ya?" sindir Anxel melirik ke arah bunga yang dipegang Amira.
"Sebenarnya mawar putih itu kesukaan saya, bagaimana kamu bisa tahu?"
"Apa yang tidak saya tahu? Semua tentang kamu saya tahu Amira, jangan pikir saya tidak memperhatikan kamu, bahkan setiap detik yang kamu lakukan saya tahu." Jawaban Anxel membuat Amira bergidik ngeri, jadi selama ini Anxel selalu mengawasi setiap tingkahnya.
"Buat apa sih, kayak gitu? Berlebihan banget!"
"Salah? Kamu 'kan istriku," jawabnya tanpa berpikir panjang.
Amira ingin menjawab tapi suara panggilan telepon miliknya menghentikan niatnya. Amira lihat nama yang tertera di atas layar ponsel itu, adalah nama mertuanya, Tuan Alex. Tak biasanya mertuanya menelepon dia, pasti Anxel yang dihubungi tapi kali ini kenapa malah Amira?
"Siapa? Kenapa gak diangkat itu telepon, berisik Amira, angkat cepat," suruh Anxel.
"Papa kamu," jawabnya.
"Papa! Tumben? Angkat aja."
Amira mengangguk dan mengangkat panggilan itu.
"Halo Tuan, eh Papa maksudnya," sapanya hampir salah.
Amira sudah terbiasa dengan panggilan tuan, sampai hampir lupa kalau Alex kini adalah mertuanya.
"Amira kamu di mana?"
"Ini Amira lagi keluar dari Anxel, Pa, memangnya kenapa?"
"Tanyakan ke suamimu, kenapa ponselnya mati. Papa pikir dia sengaja," suruhnya.
"Iya Pa, biar Amira tanyakan sebentar ya ...."
"Ponsel kamu kenapa mati? Papa nanyain nih," ujarnya menghadap Anxel.
Anxel merogoh ponselnya dari dalam saku, benar saja dia lihat ponselnya mati karena kehabisan baterai.
"Habis baterai, lupa gak bawa pengisinya," jawabnya.
"Oh iya Pa, katanya ponsel Anxel mati kehabisan baterai ...."
"Amira kalian ke sini sekarang ya, ada sesuatu yang ingin Papa bicarakan," suruhnya.
"Tentang apa, Pa?"
"Sudah jangan banyak tanya lebih baik kamu segera ke sini."
"Iya, Pa."
Sambungan teleponnya terputus.
"Kenapa, apa yang papa katakan tadi?"
"Kita disuruh ke rumah papa sekarang ...," jawabnya.
"Buat apa?"
"Papa gak ngasih tahu, katanya disuruh secepatnya."
Anxel hanya menghembuskan napas kesal, pasti papanya ingin meminta sesuatu darinya, firasatnya benar-benar buruk kali ini. Ada saja kelakuan papanya yang membuatnya pusing setiap hari.
"Kenapa gak kamu tolak aja tadi, bilang kita lagi sibuk gitu, pasti papa mau minta yang macem-macem ntar, ngeselin," cetusnya.
"Ya gimana, aku gatau ...."
Anxel pasrah, semua juga sudah terlanjur. Lelaki itu kembali mengendarai mobilnya menuju ke rumah papanya.
Di rumah Tuan Alex.
Lelaki itu memarkirkan mobilnya di depan rumah, dan masuk bersama Amira. Mereka lihat, Tuan Alex tengah duduk manis di ruang tengah dengan istrinya. Keduanya berjalan menghampirinya.
"Pa," sapanya.
"Duduk."
Amira menelan ludah seketika, melihat raut wajah Tuan Alex yang nampak seserius itu.
"Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba nyuruh Anxel dan Amira kemari?"
"Iya, sebenarnya Papa ingin meminta sesuatu dari kalian, mungkin ini terlalu cepat tapi, Papa harap kalian mau mewujudkannya," jawabnya.
Keduanya masih belum mengerti dengan yang papanya bicarakan.
"Minta apa?"
"Jadi, Papa pengen punya cucu secepatnya ...."
Deg!!
Amira sempat terkejut mendengarnya, bagaimana mungkin itu adalah permintaan yang sulit untuk dia dan Anxel kabulkan, jangankan berhubungan, berbicara saja kalau tidak karena ada sesuatu yang penting keduanya lebih memilih diam.
"Papa gak salah minta gituan, yang bener aja kita haru aja menikah kemaren loh," sahut Anxel mengelak.
"Makanya itu, kalian usaha dulu, buat Papa. Apa kamu gak kasihan setiap kali kumpul sama temen-temen Papa, mereka pada pamer ceritain cucunya, dan Papa cuma bisa diam menyimak saja," jelas Tuan Alex.
"Cuma karena itu, Papa jadi pengen cucu? Pa, gak ada permintaan yang lain apa?"
"Anxel, kamu ini bagaimana sih, kalian juga sudah menikah apa salahnya coba dengan permintaan itu, bukankah itu yang diinginkan orang-orang ketika sudah menikah?"
"Tapi, Ma—"
"Papa tidak menerima alasan apapun Anxel, itu kewajiban kamu dan Amira sebagian suami istri," potong Alex.
Seperti biasa, tak ada yang bisa menolak permintaan Tuan Alex bahkan putranya sekalipun. Anxel lebih memilih diam, dan mengiyakan permintaan itu darpada masalah menjadi semakin rumit nantinya.
"Iya, Anxel rembukan dulu sama Amira," jawabnya.
"Nah, gitu dong."
Papanya terlihat sangat puas dengan jawaban yang Anxel berikan. Berbanding terbalik dengan Anxel yang tampak tak tenang dengan semua ini.
"Kalau gitu kami pamit dulu, soalnya Amira katanya mau masak buat Anxel tadi," ucapnya beralasan.
"Benar itu Amira?"
Satu kedipan mata dengan cepat dia arahkan kepada sang istri, agar dia mengiyakan pertanyaan dari Tuan Alex.
"Eh, iya Pa, soalnya tadi Amira sudah beli bahan-bahan takut layu kalau tak segera dimasak," jawabnya.
"Baguslah, kalian yang akur di hotel, pokoknya Papa tunggu kabar baiknya nanti."
"Papa tenang saja ...." Anxel beranjak bangun dan langsung berjalan menuju pintu keluar diikuti oleh Amira di belakangnya.
Di teras rumah.
"Benar yang saya bilang, pasti papa mau minta yang aneh-aneh," cetusnya kesal.
"Iya, terus sekarang kita harus gimana?" Pertanyaan konyol itu malah keluar dari mulut Amira.
"Gimana apanya? Kamu emangnya mau bikin cucu buat papa?"
Deg!!
Amira tak bisa menjawab pertanyaan itu, mau bilang iya tapi dia takut sekaligus malu, mau bilang tidak dia takut Tuan Alex marah padanya. Berada di posisi serba salah memang sangat melelahkan untuk semua orang bukan hanya Amira saja.
"Kenapa diam?"
"Bingung mau jawab apa," jelasnya dengan nada pelan.
"Saya sudah pernah bilang, saya tidak akan menyentuh kamu sebelum kamu siap, saya gak mau kamu terpaksa melakukannya," sahut Anxel.
"Iya, aku juga paham ...."
"Baguslah kalau gitu!"
"Tapi, bagaimana dengan permintaan dari papa kamu, jujur aku takut Anxel ...," ucapnya penuh kejujuran.
Anxel bisa membaca raut wajah Amira yang tak berbohong dengannya.
"Nanti biar saya pikirkan solusinya, jangan takut." Lelaki itu menyentuh puncak kepala Amira, seolah memberikan perhatian kecil yang membuat jantung Amira tak terkendali.
Jantungnya berdetak begitu kencang, melebihi yang biasa dia rasakan.
'Tuhan, ada apa denganku, apa benar aku sudah mulai menyimpan rasa dengan Anxel' batinnya dalam hati.
"Ayo pulang." Lelaki itu juga menggandeng tangan Amira mengajaknya masuk ke dalam mobil.
Amira benar-benar tak bisa mengendalikan dirinya, dia tak tahu apa yang dirasakan kini. Mungkinkah dia benar sudah mulai mencintai Anxel? Inikah yang dinamakan cinta? Amira tak menyangka akan merasakan hal ini lagi setelah perpisahannya dengan mantan kekasih yang sangat dia cintai dulu.
Sejujurnya Amira pun tak menyangka akan merasakan rasa ini lagi, apalagi orang itu adalah Anxel, suami yang terpaksa menikahinya sebagai penebus hutang sang ayah.
Bersambung ....