Chereads / Wanita Penebus Hutang / Chapter 20 - Dia Lebih Berhak

Chapter 20 - Dia Lebih Berhak

Tubuh mungil Amira memeluk erat seorang lelaki yang kini duduk di sampingnya. Dia tak peduli siapa orang yang ada di sampingnya kini, yang dibutuhkan saat ini adalah kehangatan, Amira butuh seorang yang bisa memeluknya disaat dirinya terpuruk. Biasanya Dion yang ada di sampingnya, tapi kini Anxel yang menjadi penggantinya. Terasa asing tapi nyaman, rasa ini sama persis dengan pelukan yang Dion berikan padanya.

"Maaf ...." Amira merenggangkan pelukannya.

"Saya paham, sudah baikan?"

Amira melepas penuh pelukan itu dan sedikit menganggukkan kepalanya.

"Bagaimana kalau kita makan? Di seberang sana ada restoran yang cukup baik," ajaknya.

Lagi-lagi Amira mengangguk. Lelaki itu menggandeng tangan Amira mengajaknya berjalan menyebrangi jalan untuk menuju ke sebuah restoran yang kini akan mereka tuju. Terdengar suara klakson begitu keras diikuti teriakan beberapa orang di sekitar jalan itu membuat keduanya terkejut sontak kedua bola matanya menoleh ke arah sumber suara yang tak lain adalah suara klakson sebuah mobil yang begitu kencangnya hendak melaju ke arah mereka. Kedua tangan Anxel dengan lihai menarik Amira ke pelukannya mencoba untuk menghindari mobil itu. Keduanya terjatuh bertubrukan ke lantai pinggir jalan, hampir saja nyawa Amira melayang karena kejadian ini.

"Aaaa!!!"

Tangan Anxel dengan cepat menghalangi kepala Amira yang hampir saja terbentur trotoar jalan.

Brukk!!!

"Anxel, kamu gapapa?"

Beberapa orang di sekitar berlarian menuju ke arah keduanya dengan wajah cemas melihat keadaan keduanya.

"Tanganku sedikit terkilir, tapi tidak apa. Bagaimana dengan keadaanmu?"

"Aku gapapa jangan khawatir, lebih baik sekarang kita ke dokter aku takut tanganmu kenapa-kenapa," jawab Amira.

"Tidak, ini hanya sedikit sakit nanti juga sembuh," tolaknya.

Beberapa orang yang tadinya berlari kini berkerumun melihat keduanya masih terduduk di tempat.

"Jangan bandel deh, kita ke dokter sekarang aku gak mau terjadi apa-apa, tolong turuti ucapan saya kali ini," tegasnya.

Anxel tak melawan, Amira lihat lelaki itu berkali-kali mendesis kesakitan sembari memegang lengannya. Amira tak kuasa melihat itu, apalagi Anxel seperti itu karena menyelamatkan dirinya dari maut. Wanita itu meminta tolong ke beberapa orang untuk membantu Anxel masuk ke dalam mobil. Kali ini dirinya yang akan membawa Anxel sendiri ke rumah sakit.

"Amira pelan-pelan!"

"Tenang saja ini sudah pelan kok, bentar lagi sampai rumah sakit tahan dulu ya," jawabnya.

"Amira!! Tolong sedikit pelan saya tidak apa-apa menahan sakit tapi saya takut kalau terjadi apa-apa sama kita dan mobil ini," sahutnya cemas.

"Astaga Anxel, disaat seperti ini masih sempatnya kamu mikirin mobil. Iya, saya tahu ini mobil baru tapi kesehatan kamu itu jauh lebih penting," oceh Amira.

Anxel semakin tak habis pikir dengan jalan pikiran sang istri. Bukan masalah mobil baru atau apalah itu, bahkan Anxel justru tak peduli akan hal itu. Tapi, ini masalah keselamatan mereka berdua apalagi Amira mengendarai mobil itu asal-asalan.

"Ini bukan masalah mobil baru, Amira! Ini masalah keselamatan kita kamu sadar gak kalau cara kamu mengendarai mobil itu gak benar?" Nada Anxel semakin meninggi.

"Terus yang bener seperti apa?" Amira justru balik bertanya.

Wanita itu seolah menghina ucapan Anxel, dan justru memainkan setir mobil seenaknya seperti hilang kendali untuk menakuti Anxel. Hal ini semakin membuat Anxel geram dan ketakutan karena tingkah nekat yang istrinya lakukan.

"Amira saya mohon, jangan lakukan itu atau kamu dalam masalah besar!" ancamnya.

"Lihatlah ini sangat menyenangkan, kita bisa sampai rumah sakit dengan cepat," jawabnya tiada dosa.

"Amira!!!" geramnya semakin menjadi.

Amira sadar bahwa suaminya sudah berada di puncak kemarahan, ditambah lagi suara desisan yang semakin terdengar karena menahan rasa sakit di tangannya. Wanita itu kembali mengendarai mobilnya seperti semula membuat Anxel menghela napas lega.

"Nah, gini 'kan enak. Jangan aneh-aneh lagi kamu bikin jantung saya deg-degan saja," omelnya.

"Iya, itu rumah sakit ada di depan tanganmu masih terasa sakit?"

"Sedikit, bagian sini ...."

"Nanti biar ditangani dokter, ayo turun!" Wanita itu membantu Anxel keluar dari mobil dan menuntunnya masuk ke dalam rumah sakit.

"Maaf, jika saya merepotkan kamu."

"Ini sudah menjadi tugas saya, karena kamu suamiku, lagipula anggap saja ini sebagai balas budi karena tadi kamu sudah menyelamatkan nyawa saya," jelas Amira.

"Jadi, hanya karena balas budi? Bukan karena kamu tulus ingin menolong saya?"

"Saya sudah bilang, ini tugas saya karena kamu suamiku, Tuan Anxel. Sudahlah jangan banyak bicara cepat masuk supaya tanganmu bisa segera sembuh," tutur Amira.

Entah naluri apalagi yang membuat Anxel merasakan kebahagiaan mendengar jawaban yang Amira berikan, seolah dia benar dicintai dengan tulus oleh wanita yang ada di hadapannya kini. Terukir sedikit senyum di sudut bibir lelaki itu, sebelum akhirnya dia masuk ke dalam ruang periksa. Amira tidak ikut masuk ke dalam, dia menunggu sang suami di bangku depan ruangan.

Beberapa saat setelahnya, diperkirakan hampir 15 menit Anxel berada di dalam ruang periksa itu. Kini lelaki itu membuka pintu ruang periksa dan keluar menemui Amira.

"Bagaimana kata dokter? Tanganmu tidak apa-apa, 'kan?"

"Wajahmu terlihat sangat cemas," jawab Anxel.

"Saya serius, tanganmu tidak apa, 'kan? Tidak ada masalah serius, 'kan?"

"Tidak apa, saya bilang ini hanya terkilir saja nanti juga sembuh. Temani saya menebus obat ini di rumah sakit ya," pintanya.

"Iya, ayo!"

Amira menerima ajakan Anxel dengan senyuman penuh semangat, ini justru membuat Anxel semakin merasa diistimewakan olehnya.

"Masih jauh?"

"Depan sana," jawab Anxel.

"Saya masih asing dengan rumah sakit ini, biasanya jika ada keluarga yang sakit dulu kami punya dokter pribadi," ucap Amira menceritakan dirinya yang dulu.

"Tadi kamu kenapa?"

Pertanyaan itu membuat Amira kembali terdiam. Anxel mengingatkan masalah yang berusaha Amira lupakan sejak tadi. Masalah apalagi yang membuatnya terpukul jika bukan keluarganya. Amira benar-benar belum siap menceritakan ini jika tidak mood baiknya akan berubah lagi nanti.

"Gapapa," jawabnya singkat.

"Gak mungkin gak kenapa-kenapa, kalau gak mau cerita gapapa," sahut Anxel acuh.

"Bukan begitu, maaf ...." Kata itu berhasil keluar dari mulut Amira.

"Tak apa, memang Dion jauh lebih berhak tahu semuanya daripada saya," sindirnya.

"Bukan seperti itu Anxel—"

"Kenyataannya begitu, di sini suamimu saya atau Dion?"

Amira merasa bingung, sekaligus tak enak hati mendengar ucapan Anxel barusan. Tapi, mau bagaimana lagi tak bisa dia bohongi bahwa Dion masih menjadi tempat pertamanya untuk menumpahkan semua masalah dalam hidupnya. Amira tak bisa membohongi dirinya sendiri. Dirinya dan Anxel masih terasa asing, hatinya masih belum bisa menyatu meski keduanya sudah disatukan dalam satu ikatan pernikahan.

Bersambung ....